by pandu pramudita
L'Origine du Monde
Gustave Courbet
1866
Oil on canvas
46 cm x 55 cm
Sebuah karya lukis dari Gustave Courbet seorang pelukis dari Prancis yang berjudul “Asal-muasal Dunia”, menunjukkan sepotong tubuh wanita telanjang dengan posisi tidur dan paha yang membuka memperlihatkan bagian vulva dengan hiasan rambut kemaluan yang hitam, terbaring dalam selimut putih dengan bagian dada sedikit tertutupi selimut itu meski masih terlihat puting yang memerah. Bercerita bahwa “manusia yang membentuk dunia ini, menjalankan sebuah sistem kemasyarakatan, membentuk pengetahuan-pengetahuan, adalah tidak lain berasal dari sebuah lubang yang tidak lebih lebar dari jari telunjuk manusia dewasa. Seberapapun besarnya manusia itu, mereka hanya akan muncul dari lubang yang dikenal sebagai vulva.” Pertanyaannya adalah, siapa yang bercerita seperti itu? Apakah Coubert sang pelukis L'Origine du Monde? Atau wanita telanjang sepotong itu? Bukan, cerita itu berasal dari saya sendiri. Jadi apakah saya salah dalam menceritakan lukisan itu? Tidak sepenuhnya salah dan tidak juga sepenuhnya benar.
Kematian Sang Pengarang
Kemunculan si pengarang adalah bagian dari mempertunjukkan diri dalam sebuah prestise modern dimana karya intelektualnya akan dipahami sebagai miliknya. Sepertihalnya lukisan L'Origine du Monde, dimana Coubert menunjukkan dirinya pada dunia bahwa dia memiliki pemikiran mengenai asal muasal dunia dengan lukisan seorang wanita sepotong telanjang dengan fokus pada vulvanya. Sudah pasti, bahwa Coubert memiliki sebuah pengetahuan yang ingin ia sampaikan kepada orang lain, dan pengetahuan itu memiliki penjelasan dalam bentuk deskripsi dan narasi di balik lukisan L'Origine du Monde itu. Dalam sebuah lukisan, akan sangat jarang teks (dalam arti simbol huruf), bahkan tidak ada sama sekali, tertera dalam lukisan, sehingga apa yang dibaca oleh orang lain tidak lain hanya sebuah visual. Oleh sebab itu, seorang pembaca akan memberikan interpretasinya atau menarik pemaknaan mengenai lukisan dari pengetahuan yang dia miliki saat itu. Semakin luas pengetahuan yang dimiliki si pembaca maka akan semakin banyak juga penjelasan yang dapat ia ungkapkan dari melihat karya si pengarang. Dan hal ini berlaku sebaliknya. Dalam hal ini, si pembaca dengan si pengarang terjadi ketika mereka terpisah.
Lalu apa yang memisahkan mereka? Tidak lain adalah karya itu sendiri. Sebelum L'Origine du Monde itu muncul dalam lukisan, konsep itu dimiliki seutuhnya oleh Coubert dalam benaknya. Namun ketika L'Origine du Monde menjadi material (benda yang dapat diinderawi) sebagai lukisan, maka material itu sudah keluar dari dirinya. Ini yang oleh Roland Barthes, bahwa pengarang menghadapi kematiannya. Kematian Sang Pengarang, dalam pandangan Barthes itu mengungkapkan bahwa, sebuah karya akan dengan bebas diterjemahkan oleh pembaca dalam rangkaian narasinya, sedang si pengarang pada waktu itu sudah dianggap mati. Mungkin mati dalam arti sebenarnya, tetapi “mati” disini diartikan bahwa sesungguhnya pemaknaan karya terletak pada pembaca karya itu. Sedang si pembaca bukan berarti mereka memiliki kebenaran dalam pemaknaan karya, tetapi sesungguhnya pembaca hanya mengada. Mengada dalam hal ini bukan karena pembaca “asal” (dalam bahasa Jawa, ngawur) tapi pembaca memiliki, yang oleh Hegel disebut pra-persepsi, dimana hal yang dibaca adalah material-material yang melekat pada objek dan dihubungkan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca. Lalu, apakah pengarang harus melawan pembaca dengan cara terus-menerus menarasikan karyanya?
Suatu ketika, pengarangpun juga akan mati dalam arti sesungguhnya, sedang pembaca akan selalu bermunculan dalam rentan waktu sepanjang karya itu masih ada. Sudah barang tentu Coubert itu sudah mati, tetapi karyanya itu masih ada, dapat saya indera, dan kemudian saya mengada dengan narasi yang saya bangun mengenai L'Origine du Monde itu. Meskipun pada satu kesempatan yang masih tersisa si pengarang membuat sebuah narasi tertulis, bukan berarti itu juga akan menjadi narasi tunggal, bisa jadi narasi itu akan dimusnahkan dan tak dianggap oleh pembaca. Lalu, apakah nasib pengarang hanya akan “dibuang” oleh zaman?
Pendidikan Masyarakat
Karya adalah sebuah bentuk material pengetahuan yang disajikan oleh pengarangnya. Berbagai karya itu muncul dalam masyarakat yang berjalan secara fungsional maupun estetika. Baik itu fungsional maupun estetika, pengetahuan adalah hal yang utama yang ingin pengarang sampaikan kepada pembaca karya-karyanya. Dalam hal ini, pengarang telah menyususn sebuah narasi panjang di balik karyanya, yaitu pengetahuan yang ingin disampaikan oleh para pembaca. Tetapi, narasi itu bukanlah sebuah penceritaan ulang karya. Pengetahuan yang Coubert sampaikan bukan ketika Coubert menceritakan L'Origine du Monde. Jika itu terjadi, justru Coubert pada saat itu tidak lagi sebagai si pengarang tapi berubah menjadi si pembaca. Sebagai si pengarang, yang dilakukan oleh Coubert adalah memberikan pengetahuan bagi calon-calon pembaca karyanya, khususnya L'Origine du Monde, mengenai dunia, manusia, feminisme, ataupun seksualitas.
Hal yang dapat dilakukan oleh pengarang untuk menepis kematiannya adalah memberikan pengetahuan yang dimilikinya kepada calon-calon pembaca. Sehingga, apa yang dibaca oleh pembaca akan sedikit-banyak seperti apa yang disampaikan oleh pengarang dalam karyanya. Reinkarnasi si pengarang adalah terletak pada bagaimana pembaca dapat mengerti dan atau memahami pengetahuan yang pengarang sampaikan. Pada waktu itu sudah pasti pengarang sudah mati, hanya pembaca jugalah yang dapat menghidupkan mereka kembali dengan dapat menggali apa pengetahuan dibalik hasil karya. Sangat penting bahwa si pengarang setelah ataupun sebelum memunculkan karyanya, mempersiapkan pembaca-pembaca karyanya. Apalah arti jika karya itu hanyalah sebagai “ornamen” sampingan dalam tata ruang yang estetis maupun fungsional. Baik sebagai karya estetis maupun fungsional, hanya akan berarti sejauh karya itu menyajikan sebuah pengetahuan dalam kehadirannya di dalam tata ruang.
Mempersiapkan pembaca adalah bagian dari tindakan, yaitu mengenai pendidikan masyarakat. Paulo Friere mengatakan, bahwa “dalam pemikiran dialektis, dunia dan tindakan adalah dua hal yang saling berkait satu sama lain. Tetapi tindakan hanya manusiawi jika ia bukan semata-mata sebuah pekerjaan rutin tetapi juga merupakan suatu perenungan yang mendalam, yakni bila ia tidak dibedakan secara dikotomis (terpisah) dari refleksi.” Dalam dunia ideologi, lukisan itu hanyalah sebatas karya, sedang tindakannya adalah menyampaikan pengetahuan yang tersirat dalam karya itu dengan narasi yang sama ketika membangun lukisan itu. Sudah barang tentu, sebelum pelukis menggoreskan cat-cat berwarna dalam kain kanvas, narasi sebuah masyarakat dibangun dalam benaknya, sedang komposisi warna yang membentuk sebuah objek adalah media yang akan menyimpan pengetahuannya secara estetis. Sedangkan, apa yang disampaikan kepada masyarakat bukan lukisan hasil karyanya, tetapi justru narasi yang dibangunnya itu. Lukisan itu adalah sebuah refleksi antara dunia dan tindakan. Artinya, lukisan tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan yang membangunnya dengan kewajiban penyampaian pengetahuan tersebut kepada masyarakat.
II.
Antara (Aku) Ada dan Tiada
Seorang makhluk gua suatu hari menyalakan api di dalam gua. Ketika dia menengok ke belakang, dia melihat sosok hitam tinggi besar. Tapi ketika dia perhatikan betul, sosok itu tidak bergerak sama sekali. Dan dia terkaget ketika justru dia bergerak, sosok hitam besar itu juga bergerak. Lalu ia berusaha mendekati sosok itu, tapi yang terjadi sosok itu malah mengecil hingga tidak tampak seiring gelapnya gua. Ia pun kembali ke sumber api itu dan sosok itu kembali menjadi besar. Kemudian dia tersadar bahwa sosok itu adalah bayangannya sendiri. Namun dia menjadi bertanya-tanya, “jika sosok itu adalah aku, jadi aku yang sebenarnya apakah badan ini, bayangan itu, atau api ini?
Fenomenologi
Di atas adalah gambaran garis besar dari pemikiran Plato mengenai “Manusia Gua” yang menjelaskan gagasannya mengenai “ide”, bahwa dunia itu berpusat pada pikiran manusia. Gagasan Plato tentang ide ini kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes ketika dia mempertanyakan tentang keber-ada-an, apakah dirinya itu sungguh-sungguh nyata ada di dunia ini atau hanyalah bayangan dari skenario ilahi. Sebuah kalimat yang tidak asing mengenai gagasannya berbunyi “Cogito ergo Sum” yang artinya “Aku berpikir maka Aku ada”. Letak keber-ada-an manusia adalah pada kesadaran atau cogito, yaitu ketika manusia berpikir maka saat itu juga dia akan meyakini bahwa dirinya nyata di dunia ini. Namun demikian, pemikiran Descartes ini dibawa secara radikal oleh Edmund Husserl, dimana dia menyangkal mengenai gagasan Descartes. Menurut Husserl, kesadaran yang dijelaskan di dalam cogito ergo sum Descartes itu masih pada taraf kesadaran tertutup. Bagi Husserl bahwa kesadaran itu pasti terhadap sesuatu, jadi manusia itu tidak hanya berpikir, tetapi juga ada sesuatu yang dipikirkannya, suatu objek. Dalam cogito ergo sum, Husserl menjelaskannya bahwa aku berpikir mengenai pikirannya itu sendiri. Aku yang sedang berpikir adalah kesadaran subjek, sedang mengenai pikiran yang sedang dipikirkan itu adalah kesadaran objek. Kita tidak mungkin memikirkan tanpa ada objeknya, pasti ada sesuatu yang dipikirkan.
Kesadaran adalah kunci dari keber-ada-an diri di dalam dunia ini. Aku ada karena aku berpikir, sedang kesadaran itu pasti terhadap sesuatu. Manusia selalu mencari-cari tentang keber-ada-an dirinya, yaitu mengenal dirinya dari objek-objek yang mampu dia masukkan ke dalam kesadarannya. Misalnya, kain kanvas dan cat-cat warna adalah bagian dari hidupku karena aku adalah seorang pelukis. Namun demikian, mencapai kesadaran itu tidak kemudian datang dengan semena-mena. Di dalamnya terdapat suatu penundaan atau epoche, yaitu sebuah refleksi diri mengenai objek yang dipikirkannya itu. Penundaan ini terjadi karena pada dasarnya objek telah memiliki sebuah makna yang dipahami oleh khalayak umum. Misal, kain kanvas itu adalah media lukis sedang cat dan kua adalah bahan utama untuk bervisualisasi. Setelah ada makna umum itu, sebagai seorang pelukis yang tidak dapat bekerja ketika tidak ada hal-hal itu maka dia memaknai bahwa kanvas, cat, dan kuas adalah bagian dari kehidupannya, karena tanpa itu dia tidak dapat memvisualisasikan apa yang ada di benaknya.
Di atas adalah gambaran garis besar dari pemikiran Plato mengenai “Manusia Gua” yang menjelaskan gagasannya mengenai “ide”, bahwa dunia itu berpusat pada pikiran manusia. Gagasan Plato tentang ide ini kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes ketika dia mempertanyakan tentang keber-ada-an, apakah dirinya itu sungguh-sungguh nyata ada di dunia ini atau hanyalah bayangan dari skenario ilahi. Sebuah kalimat yang tidak asing mengenai gagasannya berbunyi “Cogito ergo Sum” yang artinya “Aku berpikir maka Aku ada”. Letak keber-ada-an manusia adalah pada kesadaran atau cogito, yaitu ketika manusia berpikir maka saat itu juga dia akan meyakini bahwa dirinya nyata di dunia ini. Namun demikian, pemikiran Descartes ini dibawa secara radikal oleh Edmund Husserl, dimana dia menyangkal mengenai gagasan Descartes. Menurut Husserl, kesadaran yang dijelaskan di dalam cogito ergo sum Descartes itu masih pada taraf kesadaran tertutup. Bagi Husserl bahwa kesadaran itu pasti terhadap sesuatu, jadi manusia itu tidak hanya berpikir, tetapi juga ada sesuatu yang dipikirkannya, suatu objek. Dalam cogito ergo sum, Husserl menjelaskannya bahwa aku berpikir mengenai pikirannya itu sendiri. Aku yang sedang berpikir adalah kesadaran subjek, sedang mengenai pikiran yang sedang dipikirkan itu adalah kesadaran objek. Kita tidak mungkin memikirkan tanpa ada objeknya, pasti ada sesuatu yang dipikirkan.
Kesadaran adalah kunci dari keber-ada-an diri di dalam dunia ini. Aku ada karena aku berpikir, sedang kesadaran itu pasti terhadap sesuatu. Manusia selalu mencari-cari tentang keber-ada-an dirinya, yaitu mengenal dirinya dari objek-objek yang mampu dia masukkan ke dalam kesadarannya. Misalnya, kain kanvas dan cat-cat warna adalah bagian dari hidupku karena aku adalah seorang pelukis. Namun demikian, mencapai kesadaran itu tidak kemudian datang dengan semena-mena. Di dalamnya terdapat suatu penundaan atau epoche, yaitu sebuah refleksi diri mengenai objek yang dipikirkannya itu. Penundaan ini terjadi karena pada dasarnya objek telah memiliki sebuah makna yang dipahami oleh khalayak umum. Misal, kain kanvas itu adalah media lukis sedang cat dan kua adalah bahan utama untuk bervisualisasi. Setelah ada makna umum itu, sebagai seorang pelukis yang tidak dapat bekerja ketika tidak ada hal-hal itu maka dia memaknai bahwa kanvas, cat, dan kuas adalah bagian dari kehidupannya, karena tanpa itu dia tidak dapat memvisualisasikan apa yang ada di benaknya.
Eksistensialisme
Fokus eksistensialisme tidak jauh berbeda dengan fenomenologi, karena Jean Paul Sartre, yang mengemukakan tentang pandangan ini juga berawal dari fenomenologi. Eksistensialisme juga mengemukakan mengenai keber-ada-an dan kenyataan. Hal yang ditekankan dalam eksistensialisme Sartre adalah mengenai dua hal, esensi dan eksistensi, lebih khususnya dia memandang bahwa eksistensi mendahului esensi. Apa itu eksistensi dan esensi? Esensi biasa dijelaskan dengan hakekat, definisi, sifat, ide, fungsi, yang muncul dari benak manusia, sedang eksistensi adalah bentuk material. Pada awalnya, esensi itu mendahului eksistensi, seperti sebelum adanya sebuah benda yang namanya “kuas”, pelukis memikirkan sesuatu hal yang dapat menjadi medianya untuk mengambil warna dan memoles-moleskan, digunakan dengan mudah dan praktis, maka terciptalah sesuatu yang berbentuk batang dengan ujung yang berserabut yang disebut dengan kuas. Namun, setelah ada kuas itu, si pencipta tidak akan terus-menerus memertahankan esensi itu dengan hukum dan aturan yang ketat yang akan mengenakan sanksi pada setiap pemakai yang membuat esensi baru dari kuas. Sebaliknya, bahwa eksistensi kuas itu akan tetap, dimana benda itu dapat dengan mudah dibuat atau dicari di toko-toko. Di saat itulah esensi dari kuas akan beraneka ragam. Bagi seorang pedagang, kuas itu adalah barang dagangan yang dapat menghasilkan uang, namun bagi pelukis, kuas itu adalah bagian mediasi dari inspirasinya. Oleh sebab itu, eksistensi itu mendahului esensi.
Tidak juga jauh dari pemikiran Sartre dan Husserl, Martin Heidegger juga berpikiran mengenai fenomenologi dan eksistensialisme. Pandangan Heidegger memfokuskan pada “Yang ADA”. “Ada” (selalu dengan huruf besar) merupakan syarat awal atau dasar yang memungkinkan segala sesuatu “yang lain” menjadi ada. Heidegger menyebut “yang lain” sebagai “ada atau pengada” (selalu dengan huruf kecil). Kita mengetahui yang Ada itu melalui pengada-pengadanya. Lawan dari Ada adalah Ketiadaan. Dicontohkan dengan Sinar, bahwa dengan sinar kita dapat melihat kerbau, rumput, pohon, belalang, awan, langit, dan material-material yang muncul di sekitar kita. Tapi sebaliknya, tanpa sinar, kita tidak dapat melihat apapun, semua menjadi gelap, kosong. Lalu, sebenarnya apa itu eksistensi dan Ada? Jawabannya sesungguhnya cukup sederhana, yaitu aku, kamu, dia, kita, mereka, kalian, ialah manusia yang mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Manusia itu juga termasuk pengada, tetapi pengada yang khusus, yang dimungkinkan sekali menjadi Ada. Heidegger mengatakan bahwa manusia itu memiliki kemampuan untuk mengangkat permasalahan-permasalahan yang berarti manusia mempunyai hubungan khusus dengan mereka (permasalahan-permasalahan itu) dan dengan cara tertentu mempunyai cara untuk menjawabnya. Dalam eksistensialisme Heidegger, manusia bukan mengukuhkan eksitensi pengada lainnya, tetapi justru sebagai usaha untuk menyingkap eksistensi dirinya sendiri. Memahami permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar adalah sebuah usaha memahami diri kita sendiri, siapakah diri kita. Sedangkan bagi manusia yang gagal dalam memahami eksistensinya, mereka akan mengalami yang disebut Heidegger sebagai Keterlemparan.
Fokus eksistensialisme tidak jauh berbeda dengan fenomenologi, karena Jean Paul Sartre, yang mengemukakan tentang pandangan ini juga berawal dari fenomenologi. Eksistensialisme juga mengemukakan mengenai keber-ada-an dan kenyataan. Hal yang ditekankan dalam eksistensialisme Sartre adalah mengenai dua hal, esensi dan eksistensi, lebih khususnya dia memandang bahwa eksistensi mendahului esensi. Apa itu eksistensi dan esensi? Esensi biasa dijelaskan dengan hakekat, definisi, sifat, ide, fungsi, yang muncul dari benak manusia, sedang eksistensi adalah bentuk material. Pada awalnya, esensi itu mendahului eksistensi, seperti sebelum adanya sebuah benda yang namanya “kuas”, pelukis memikirkan sesuatu hal yang dapat menjadi medianya untuk mengambil warna dan memoles-moleskan, digunakan dengan mudah dan praktis, maka terciptalah sesuatu yang berbentuk batang dengan ujung yang berserabut yang disebut dengan kuas. Namun, setelah ada kuas itu, si pencipta tidak akan terus-menerus memertahankan esensi itu dengan hukum dan aturan yang ketat yang akan mengenakan sanksi pada setiap pemakai yang membuat esensi baru dari kuas. Sebaliknya, bahwa eksistensi kuas itu akan tetap, dimana benda itu dapat dengan mudah dibuat atau dicari di toko-toko. Di saat itulah esensi dari kuas akan beraneka ragam. Bagi seorang pedagang, kuas itu adalah barang dagangan yang dapat menghasilkan uang, namun bagi pelukis, kuas itu adalah bagian mediasi dari inspirasinya. Oleh sebab itu, eksistensi itu mendahului esensi.
Tidak juga jauh dari pemikiran Sartre dan Husserl, Martin Heidegger juga berpikiran mengenai fenomenologi dan eksistensialisme. Pandangan Heidegger memfokuskan pada “Yang ADA”. “Ada” (selalu dengan huruf besar) merupakan syarat awal atau dasar yang memungkinkan segala sesuatu “yang lain” menjadi ada. Heidegger menyebut “yang lain” sebagai “ada atau pengada” (selalu dengan huruf kecil). Kita mengetahui yang Ada itu melalui pengada-pengadanya. Lawan dari Ada adalah Ketiadaan. Dicontohkan dengan Sinar, bahwa dengan sinar kita dapat melihat kerbau, rumput, pohon, belalang, awan, langit, dan material-material yang muncul di sekitar kita. Tapi sebaliknya, tanpa sinar, kita tidak dapat melihat apapun, semua menjadi gelap, kosong. Lalu, sebenarnya apa itu eksistensi dan Ada? Jawabannya sesungguhnya cukup sederhana, yaitu aku, kamu, dia, kita, mereka, kalian, ialah manusia yang mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Manusia itu juga termasuk pengada, tetapi pengada yang khusus, yang dimungkinkan sekali menjadi Ada. Heidegger mengatakan bahwa manusia itu memiliki kemampuan untuk mengangkat permasalahan-permasalahan yang berarti manusia mempunyai hubungan khusus dengan mereka (permasalahan-permasalahan itu) dan dengan cara tertentu mempunyai cara untuk menjawabnya. Dalam eksistensialisme Heidegger, manusia bukan mengukuhkan eksitensi pengada lainnya, tetapi justru sebagai usaha untuk menyingkap eksistensi dirinya sendiri. Memahami permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar adalah sebuah usaha memahami diri kita sendiri, siapakah diri kita. Sedangkan bagi manusia yang gagal dalam memahami eksistensinya, mereka akan mengalami yang disebut Heidegger sebagai Keterlemparan.
Self Portrait with
Jewish Identity Card
Felix Nussbaum
1943
Oil on canvas
56 cm x 49 cm
|
Auschwitz / Prisoner
Felix Nussbaum
1944
Oil on canvas
47 cm x 42,5 cm
|
Felix
Nussbaum, seorang pelukis jerman yang hidup sebagai salah seorang Yahudi. Dua
karya Nussbaum yang terkenal yaitu Self
Portrait with Jewish Identity Card dan Auschwitz.
Lukisan yang berujudul Self Portrait with
Jewish Identity Card memberikan pengetahuan pada zaman itu kebebasan
beragama sangat nyata, sedang Nussbaum telah menemukan eksistensinya sebagai
seorang Yahudi. Lukisan yang berjudul Auschwitz
atau Prisoner – mungkin sebelum
kematiannya, Nussbaum belum memberikan judul, sehingga kepastian judul tidak
dapat dipastikan, Auschwitz adalah
nama tempat dimana ia ditahan (en.wikipedia.org) sedang Prisoner adalah tahanan (the-athenaeum.org), namun keduanya saya
yakin menceritakan hal sama meski memiliki spirit yang berbeda – adalah karya
terakhirnya sebelum ia dibunuh di Auschwitz Camp seminggu setelah lukisan itu
selesai. Lukisan ini dipercaya sebagai lukisan eksistensialisme (huffingtonpost.com).
Dia melukis pada saat berkembang-nya paham Nazi di Jerman. Dia harus melarikan
diri dari kejaran tentara Jerman. Alasannya sederhana, Nussbaum adalah seorang
Yahudi. Sebagai catatan sejarah terburuk, Nazi adalah yang bertanggung jawab
terbunuhnya beribu nyawa Yahudi. Dalam lukisan Auschwitz beberapa mengatakan lukisan itu menceritakan bagaimana
kondisi bencana luar biasa, yaitu bencana sosial (english.illinois.edu). Dalam
pandangan eksistensialisme bahwa Nussbaum menderita karena eksistensinya
sebagai seorang Yahudi, karena eksistensinya yang justru membuatnya ditangkap,
ditahan di Auschwitz Camp dan dibunuh oleh tentara Nazi. Pada lukisan Nussbaum
di sebelah kiri, yang berjudul Self
Portrait with Jewish Identity Card, bahwa Nussbaum sedang bercerita bahwa
dia bangga akan eksistensinya sebagai seorang Yahudi, namun menjadi hal yang
berbeda pada lukisan yang berjudul Auschwitz,
dimana nampak Nussbaum mengalami Keterlemparannya dari dunia.
III.
Sedikit Mengenai Diri
Psikoanalisis
Terkadang
kita lupa dengan diri kita, atau justru tidak mengetahui diri kita sama sekali.
Apa yang kita ketahui hanyalah tindakan yang dapat kita lakukan, sedangkan
orang lain mengenali diri kita dari tindakan yang kita lakukan itu. Oleh sebab
itu, mengenali jati diri adalah hal yang penting. Dalam tulisan Emile Durkheim,
kehampaan jati diri lebih banyak mendorong orang untuk melakukan bunuh diri.
Apa yang dilakukan manusia lebih banyak mencerminkan apa yang mereka inginkan.
Manusia biasanya melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan mereka. Keinginan
juga biasa disebut dengan hasrat. Tetapi, hal ini juga seperti apa yang
dilakukan oleh hewan. Satu hal yang tidak dilakukan oleh hewan, yaitu dia tidak
dapat melakukan diluar apa yang mereka inginkan, sedang manusia lebih banyak
demikian. Misalkan saja, karena lapar kemudian makan, tapi tidak semua manusia
bisa makan setelah dia lapar, mungkin tidak ada bahan makanan, tidak ada hal
yang bisa dimakan, tidak ada uang untuk dibelikan makanan, tidak ada barang
yang dapat ditukarkan sebagai makanan, akhirnya untuk mengatasi lapar dia
tidur, dia minum air putih yang banyak sedikit dikasih gula, dia merokok, atau
mungkin bertamu ke rumah teman berharap mendapat makan.
Dalam
membicarakan keinginan atau hasrat, Jacquas Lacan lebih banyak berbicara
mengenai seks, yaitu mengenai Penikmatan, yaitu sesuatu yang memuncak seperti
dalam orgasme, namun melampauinya dan mempunyai gejala-gejala. Hewan adalah
makhluk yang sangat jujur dalam melampiaskan seksnya, yang akan mencari lain
jenisnya untuk berhubungan seks. Hewan tidak memiliki arti tetap mengenai seks.
Berbeda dengan manusia, yang dapat memperoleh kepuasan atau kenikmatan
seksualitas melalui kata-kata, bahasa, dan aneka ragam lainnya seperti sutra,
karet, jaket kulit berwarna hitam, bahkan tiang lampu. Bagi Lacan dan Sigmun
Freud, seks itu melampaui dari sekedar bersetubuh. Apa yang mereka cari dari
seks tidak lain adalah penikmatan itu. Namun demikian, ada juga manusia yang
mencari kenikmatan dengan suatau cara yang masih berhubungan dengan keintiman
langsung mereka, misalnya masturbasi, phone
sex, atau mencambuk tubuhnya.
The Persistence of Memory
Salvador Dali
1931
Oil on canvas
24 cm x 33 cm
Tidak
semua keinginan manusia itu dapat disampaikan atau dilampiaskan. Itu sebabnya
psikoanalisis masih dianggap penting. Dalam tradisi Amerika, psikoanalisis
tidak banyak dianggap, karena mereka beranggapan psikoanalisis sulit untuk
dapat diukur, dan itu sudah diakui oleh Sigmund Freud dimana dia sendiri
mengatakan bahwa tidak ada arti yang tetap pada setiap perkataan manusia. Manusia
pada dasarnya memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengekspresikan diri,
namun untuk bisa dipahami oleh orang lain hanya dengan bahasa yang memiliki
makna terbatas. Untuk menjaga agar keinginan itu dapat berjalan terus, manusia
biasanya akan menciptakan khayalan-khayalan atau fantasi, karena hanya dalam
fantasi-lah keinginan-keinginan yang sulit atau bahkan mustahil dapat terjadi.
Namun, hal ini kemudian menjadi bagian dari ketidaksadaran manusia, dimana
kadang-kadang dia akan mengalami yang oleh Lacan disebut sebagai pengandaian.
Lagi-lagi Lacan menggiringnya ke dalam ruang seks. Lacan lebih mencontohkan,
saya mencintai Lusi, dan ketika saya bersetubuh dengan Jeni sebenarnya saya
sedang bersetubuh dengan Lusi, dan saat itu saya tidaklah sedang berselingkuh,
karena yang saya hadapi sebuah pengandaian dengan Lusi.
Pandangan
mengenai pengalihan ini dibawa lebih jauh oleh Slavoj Zizek, dimana Zizek lebih
menyebutnya dengan sublimasi. Sublimasi menurut Zizek tidak jauh berbeda dengan
Pengalihan menurut Lacan, tetapi Zizek lebih menekankan bahwa dalam mengalihkan
keinginan manusia, mereka tidak harus melakukan hal yang sama dengan mengenakan
objek yang berbeda, seperti yang dicontohkan itu. Tetapi sublimasi dapat
dilakukan dengan tindakan yang berbeda dengan objek yang berbeda pula.
Contohnya, ketika melampiaskan hasrat seksualitas, saya menggambar segumpal air
yang terjun dari tebing tanpa ada aliran sungai yang mengawalinya.
Pada tahun 1920an dan
1930an, adalah masa kejayaan psikoanalisis, dimana psikoanalisis merambah juga
ke dunia seni lukis, khususnya kaum surialisme. Banyak kaum surialisme
mendalami psikoanalisis di era itu, termasuk Salvador Dali, seorang pelukis
surialisme asal Spanyol. Salah satu lukisannya yang juga didasari tentang
psikoanalisis adalah yang berjudul The
Persistence of Memory. Jam saku yang meleleh adalah konsep yang diusung
oleh Dali mengenai “kelembutan” dan “kekerasan”. Dawn Ades mengatakan bahwa jam
saku yang meleleh adalah sebuah simbol ketidaksadaran relativitas mengenai
ruang dan waktu. Dali sedang memfisualisasikan pandangannya mengenai teori
relativitas yang dikemukakan oleh Albert Einstein. Pada dasarnya psikoanalisis
digunakan sebagai psikoterapi, dimana psikoanalis akan mengobati pasien yang
jiwanya sedang terguncang. Namun, hari ini psikoanalisis lebih dipandang
sebagai aliran filsafat ketimbang sebagai aliran psikologi.
0 comments:
Post a Comment