Wednesday, September 23, 2015

Blitz-Craftmanship: Mengapa kemampuan estetik adalah hal yang paling dicemooh pada hari ini

by lukman wijaya b

Mereka pikir inovasi teknologi secara niscaya adalah evolusi pengetahuan yang tidak boleh di tolak dan akan menggantikan jenis pengetahuan sebelumnya. Wah…ini keterlaluan. Dahulu, fotografi berambisi mengambil alih peran lukisan, wujud pertama yang dicemooh adalah para pelukis realis. Seiring dengan kemampuan teknis industri yang berkembang, fotografer belajar teknik yang diciptakan pabrik kamera dan komputer untuk lebih memperluas kemampuan teknisnya merebut gaya impresionis dan kubistik dari lukisan. Bagaimana dengan Surrealis? Mereka lahir karena belajar juxtaposisi dari mekanika kamera daripada estetika. Kemampuan estetik yang diklaim, justru telah terdapat pada lukisan dan tulisan, jauh pada era sebelumnya. Lihat saja statement Breton jika tidak percaya.

Menarik memang semua ini, efeknya melebar sampai dengan tampilan mengejutkan para penonton sinema. Tetapi orisinalitas lukisan dan ketakziman dihadapan kualitas estetik individu tetap belum pudar, belum terpatahkan. Meski telah diproklamasikan kejatuhan estetikanya lewat kemunculan peran antagonis Warhol dan Cameron.

Dibalik upaya gagal yang tidak diproklamirkan tersebut, fotografi dan sinema mungkin masih cukup nyaman apabila berpikir tentang dirinya sebagai jurnalisme, daripada masuk kedalam jurang tanpa dasar estetika, ehmm…saya teringat Capa. Dari rasa minder sebagian pengikutnya karena merasa gagal, hal demikian yang coba di eksploitasi lebih jauh oleh Banks melalui visual analysis. Seperti kelahirannya yang dididik dengan salah sehingga penuh dendam terhadap lukisan. Kini pendidikan yang salah kembali di ulang, fotografi dan sinema harus membenci tulisan. Memberikan tempat sekunder kepada tulisan sebagaimana dulu fotografi, katanya, diperlakukan demikian. Bahkan jika perlu, menggantikan tulisan dengan sinema. Hasil akhirnya meminta sebuah keahlian yang sulit dicapai seperti melukis dan menulis coba diganti hanya dengan kehandalan dalam memencet tombol dan membiarkan mesin bekerja. Kun faya kun, karya luar biasa tercipta, bahkan sebelum mata berkedip selesai membuka kelopak.

Mungkin benar apabila selama ini hanya terdapat sedikit pengakuan terhadap mereka yang pantas disebut sebagai fotografer dan sutradara melalui rangkaian acara megah dan bombastis. Namun bukankah lebih baik apabila mencurigai event semacam itu adalah upaya pabrik kamera untuk mempromosikan alat mereka, teknik visual effect mereka. Sedangkan persoalan keahlian individu seperti “pelukis”, dihargai tidak lebih “sebagai buruh yang mencetak sepatu”. Eeh..apa anda bilang, “Van Gogh mencetak sepatu”…. anda belajar estetika dimana!??? Datangi saja seminar, pelatihan, atau pameran fotografi, pertanyaan dari peserta atau pengunjungnya adalah, “apa merk kamera yang dipakai?”, “apa tele yang dipakai?”. Terakhir, yang paling konyol, saat berbisik dengan temannya atau narasumber pelatihan, “beli kamera dan tele-nya dimana, berapa harganya?”.

Lagipula siapa hari ini yang tidak membawa kamera apabila keluar rumah, yang tidak memencet tombol untuk mencintai wajahnya sendiri yang jelek. Boleh saja menjadikan kamera memiliki kualitas representasi. Tapi metode pengajaran anda penuh dendam terhadap pelukis dan penulis yang justru memiliki kekuatan representasinya sendiri, terpisah dari apa yang dapat dilakukan oleh jari dan mata yang menempel kamera. Teknik massa ini lebih menunjukan kemampuan sarana produksi hari ini dan kemampuan masyarakat dalam mengkonsumsi. Sehingga degradasinya sebagai sebuah keahlian khusus mustahil terulang seperti pada awal abad 20 dimana kamera adalah deus ex machina, kamera adalah sebuah keahlian klerus di studio. Kamera bagaimanapun juga masih lebih kuat dan berarti bagi siapapun yang memegang dan mengoperasionalkannya apabila meletakkan makna dokumenter pada karyanya. Melalui sebuah kesaksian; menanggung beban agar materi, pengalaman, dan peristiwa tetap awet; bukan demi karya itu sendiri namun demi sesuatu diluar karya itu. Darinya dia akan menyadari hutangnya pada prespektif pelukis; darinya dia akan menyadari masih membutuhkan tulisan meski gambar mampu menampilkan peristiwa namun tulisan yang memberikan logika atau dialektika (ingat film bisu dan era ketika berita harus ditonton di gedung bioskop). Karena jika berharap dirinya hadir sebagai sepenuhnya estetika dan keahlian khusus, derajatnya dapat jatuh serendah mungkin kedalam kemampuan massa untuk dapat memproduksi hal yang sama. Bukan karena kemampuan estetika massa itu sendiri, namun karena produk yang konsumen pegang memang memiliki spesifikasi pabrik yang cukup baik. Jadi kalau dipikir ulang kasihan juga si Man Ray, betapa estetikanya kini terlihat lucu dan naïf. Bisa jadi dia akan sangat jengkel dengan remaja jaman sekarang, bergigi tongos dan pakai kawat suka iseng otak-atik gambar lewat corel. Atau orang mencoba berbangga ketika mengetahui yang membuat kartun Ipin Upin adalah orang Indonesia. Kebanggaanya disatu sisi adalah mengimbangi rasa minder dengan kartun produksi Disney, disisi lain kebanggaannya tidak mencermati tentang era kemunculannya; kenapa baru sekarang, kenapa tidak sejak awal abad 20 seperti Disney? Karena kebanggaannya tidak memperdulikan bahwa teknologi penciptaan image kartun telah menjadi massal dan kompak sekaligus mudah diakses oleh perusahaan manapun, biaya dan waktu yang dipakai lebih murah dibanding era Mickey Mouse hitam putih. Jadi sebenarnya kebanggaan tersebut karena apa? Karena syarat produksi telah memungkinkan atau mengobati rasa minder?

Suatu ketika Van Gogh pernah bercerita saat catnya habis dan tidak memiliki uang untuk membeli, “hanya dengan gagang kayu sebuah sapu, seniman mampu menghasilkan karya”. Tetapi hari ini tanpa kamera dan lensa yang handal, anda sulit dan mustahil menghasilkan sesuatu yang layak disebut karya. Jika diperkenankan, saya mengulang gerutu seorang teman: “Menjadi pelukis jauh lebih mudah daripada menjadi fotografer, karena anda tidak harus sangat kaya untuk membeli alatnya. Namun menjadi pelukis juga jauh lebih sulit dibanding dengan menjadi fotografer yang keahliannya dapat diasah selama beberapa hari saja, lewat seminar, lewat pelatihan”. Benarkah hal demikian dapat terjadi, mungkin saja…. ketika kondisinya tepat.

0 comments:

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com