Wednesday, September 2, 2015

Mengingat Takdir Mengenang Diponegoro


reviewer by pandu pramudita

Pangeran Diponegoro, siapa yang tidak mengenal beliau, seorang Pahlawan Nasional, seorang putra Jawa, dan juga seorang Imam Masjid. Perang Jawa atau juga yang dikenal dengan perang Sabil, perang yang dikenang sepanjang masa, baik oleh Bangsa Indonesia maupun bangsa Belanda. Bagaimana tidak? Mungkin terhitung singkat, dari tahun 1825 hingga 1830. Tapi dari perang yang singkat itu, bangsa penjajah harus menguras dana mereka untuk peperangan itu, mengerahkan seluruh tenaga, hingga gubernur Belanda harus turun tangan, berhadapan langsung dengan diplomasi. Ketika Diponegoro lahir, dia sudah disertai dengan ramalan mengenai ketenarannya. Tepat pada bulan Jawa Sura, bulan pertama dalam tahun Jawa, ketika tradisional kerajaan-kerajaan baru didirikan dan siklus sejarah baru dimulai, adalah sebuah petanda waktu yang konon menandakan seseorang yang berbicara sangat lancar dan kuat, bermurah hati, dan berwatak bijaksana. Diponegoro mungil juga ikut diramal oleh kakeknya, ialah Sultan Hamengku Buwono I yang meramalkan bahwa Diponegoro kelak akan mendatangkan kerusakan Belanda yang lebih besar daripada yang pernah ia buat selama Perang Giyanti. Ramalan ini kemudian diperkuat kembali ketika Diponegoro melakukan pertapaan di pesisir pantai Selatan Jawa, dimana kemudian ia bertemu dua sosok, yang diyakini adalah Sunan Kalijogo dan Ratu Kidul.

Bahwa begitu banyak bahan penelitian diambil dari masa Perang Jawa memberi goncangan pada orang Belanda maupun orang Jawa, itu biasa dan tidak mengherankan. Namun masih ada satu sisi nuansa yang tak terhindarkan – jika bukan merupakan cacat – bila kita meninjaunya. Kenyataan bahwa sejak Indonesia merdeka, 1945, Diponegoro telah resmi menjadi Pahlawan Nasional pada 10 November 1973, namanya telah menghiasi jalan-jalan besar di berbagai kota di Indonesia, juga diabadikan dalam tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai Divisi Kodam di Jawa Tengah, membuat tugas para sejarawan masa kini makin sulit. Seorang Pangeran dengan sosok manusia biasa yang jauh dari sempurna dan penggemar perempuan, tentulah tidak cocok dengan “sejarah nasional”. Namun, buku ini menampilkan realitas sejarah abad awal ke-19 dan bukan pembuatan mitos zaman kini.
Sekaranglah waktunya untuk kembali ke masa sketsa awal tadi, kepada kisah yang diceritakan Pangeran sendiri ketika ia memulai serangkaian peralanan hidup yang paling bermakna, ziarahnya ke Pantai Selatan sekitar 1805, dan perjumpaannya secara mistik dengan roh-roh penjaga Tanah Jawa dan penguasa-penguasa besar di masa lalu. Semua perjumpaan ini memberikan pemahaman perspektif ramalan lebih ke masa depan Pangeran sebagai pemimpin yang dilahirkan dalam dunia yang berubah, pemimpin yang akan terbilang di antara para leluhur, sekalipun hanya untuk masa yang singkat dan tragis.
(Peter Carey, 2015)

Buku yang berjudul “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)” ini menyajikan historiografi dari Pangeran diponegoro, dari masa kanak-kanaknya hingga pengasingannya. Di tulis oleh Peter Carey yang memiliki ketertarikan dengan riwayat Pangeran Diponegoro. Ia menuliskan dengan runut dan begitu jelas menggambarkan keadaan dan situasi pada waktu itu. Diterbitkan oleh penerbit Kompas, buku ini sangat disarankan bagi Anda yang memiliki ketertarikan mengenai sejarah, khususnya sejarah Indonesia, Jawa, dan Islam. Selamat berburu buku.

0 comments:

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com