reviewer by pandu
pramudita
Pangeran Diponegoro, siapa
yang tidak mengenal beliau, seorang Pahlawan Nasional, seorang putra Jawa, dan
juga seorang Imam Masjid. Perang Jawa atau juga yang dikenal dengan perang Sabil, perang yang dikenang sepanjang masa, baik oleh Bangsa
Indonesia maupun bangsa Belanda. Bagaimana tidak? Mungkin terhitung
singkat, dari tahun 1825 hingga 1830. Tapi dari perang yang singkat itu,
bangsa penjajah harus menguras dana mereka untuk peperangan itu,
mengerahkan seluruh tenaga, hingga gubernur Belanda harus turun tangan,
berhadapan langsung dengan diplomasi. Ketika Diponegoro lahir, dia sudah
disertai dengan ramalan mengenai ketenarannya. Tepat pada bulan Jawa Sura,
bulan pertama dalam tahun Jawa, ketika tradisional kerajaan-kerajaan baru
didirikan dan siklus sejarah baru dimulai, adalah sebuah petanda waktu yang
konon menandakan seseorang yang berbicara sangat lancar dan kuat, bermurah
hati, dan berwatak bijaksana. Diponegoro mungil juga ikut diramal oleh
kakeknya, ialah Sultan Hamengku Buwono I yang meramalkan bahwa Diponegoro kelak
akan mendatangkan kerusakan Belanda yang lebih besar daripada yang pernah ia
buat selama Perang Giyanti. Ramalan ini kemudian diperkuat kembali ketika
Diponegoro melakukan pertapaan di pesisir pantai Selatan Jawa, dimana kemudian
ia bertemu dua sosok, yang diyakini adalah Sunan Kalijogo dan Ratu Kidul.
Bahwa
begitu banyak bahan penelitian diambil dari masa Perang Jawa memberi goncangan
pada orang Belanda maupun orang Jawa, itu biasa dan tidak mengherankan. Namun
masih ada satu sisi nuansa yang tak terhindarkan – jika bukan merupakan cacat –
bila kita meninjaunya. Kenyataan bahwa sejak Indonesia merdeka, 1945,
Diponegoro telah resmi menjadi Pahlawan Nasional pada 10 November 1973, namanya
telah menghiasi jalan-jalan besar di berbagai kota di Indonesia, juga
diabadikan dalam tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai Divisi Kodam di Jawa
Tengah, membuat tugas para sejarawan masa kini makin sulit. Seorang Pangeran
dengan sosok manusia biasa yang jauh dari sempurna dan penggemar perempuan,
tentulah tidak cocok dengan “sejarah nasional”. Namun, buku ini menampilkan
realitas sejarah abad awal ke-19 dan bukan pembuatan mitos zaman kini.
Sekaranglah
waktunya untuk kembali ke masa sketsa awal tadi, kepada kisah yang diceritakan
Pangeran sendiri ketika ia memulai serangkaian peralanan hidup yang paling
bermakna, ziarahnya ke Pantai Selatan sekitar 1805, dan perjumpaannya secara
mistik dengan roh-roh penjaga Tanah Jawa dan penguasa-penguasa besar di masa
lalu. Semua perjumpaan ini memberikan pemahaman perspektif ramalan lebih ke
masa depan Pangeran sebagai pemimpin yang dilahirkan dalam dunia yang berubah,
pemimpin yang akan terbilang di antara para leluhur, sekalipun hanya untuk masa
yang singkat dan tragis.
(Peter Carey, 2015)
Buku yang berjudul “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro
(1785-1855)” ini menyajikan historiografi dari Pangeran diponegoro, dari
masa kanak-kanaknya hingga pengasingannya. Di tulis oleh Peter Carey yang
memiliki ketertarikan dengan riwayat Pangeran Diponegoro. Ia menuliskan dengan
runut dan begitu jelas menggambarkan keadaan dan situasi pada waktu itu.
Diterbitkan oleh penerbit Kompas, buku ini sangat disarankan bagi Anda yang
memiliki ketertarikan mengenai sejarah, khususnya sejarah Indonesia, Jawa, dan
Islam. Selamat berburu buku.
0 comments:
Post a Comment