by pandu pramudita
Pung!Pung!Pung! Suara sebuah kuningan yang berbentuk lingkar menonjol di tengah bulat kecil, seperti sebuah alat musik khas Jawa dalam rangkaian, apa yang mereka sebut sebagai gamelan, atau tepatnya seperti bonang namun hanya satu buah yang tergantung di gerobak dorong berwarna biru, di tabuh sesekali dengan pemukul yang tidak terlalu panjang, mungkin sepanjang dua jengkal telapak tangan orang dewasa, dengan karet merah terbungkus setengah dari tongkat itu. Gerobak didorong oleh seorang kakek yang tidak terlalu tinggi, atau bisa saya bilang di bawah rata-rata orang Jawa, namun dalam usianya yang bekepala 8 masih tetap gagah mendorong gerobak es itu. Es Pung-Pung Mbah Wo, itulah dia.
Mbah Wo, orang yang tidak asing lagi bagi kami, anak-anak di gang Candi yang sekarang nama itu berganti dengan jalan Pasar Hewan. Bagaimana tidak, dari sewaktu kami kecil, Mbah Wo sudah melakukan pekerjaannya sebagai Tukang Es, yaitu Es Pung-pung, sebelum saya lahir, sampai saya sudah berumur seperempat abad, dia masih dengan gagahnya memutarkan gerobak itu di wilayah ini. Hanya harga dan porsi yang saya beli yang berubah, dimana dulu dengan uang seratus rupiah saya dapat membeli sebuah es pung-pung dengan contong krupuk merah yang menjadi tempatnya, dan terkadang ibu memberi uang lebih lima ratus rupiah untuk mendapatkan es pung-pung dengan tempat seperti gelas yang terbuat dari kertas yang mungkin bercampur lilin yang membuat kertas itu kaku dan tahan terhadap air dan bonus juga contong krupuk. Kini untuk mendapatkan es pung-pung dengan tempat contong krupuk harus mengeluarkan uang seribu rupiah, dan saya sudah malu dengan porsi itu. Dengan membawa gelas besar sendiri, saya sodorkan kepada Mbah Wo untuk mengisi gelas itu dengan es pung-pung seharga lima ribu. Jelas tidak akan habis dalam satu hari, karena saya harus mengirit-irit es itu agar tidak lekas habis.
Mbah Wo, adalah kakek dari anak-anak di gang Candi. Masyarakat sini masih saja menyebut jalan depan rumah itu dengan nama gang Candi meski sudah diganti namanya oleh pemerintah setempat. Jasanya tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kami mengingat bahwa dewasa ini saya menyadari sudah banyak penjual jajanan untuk anak-anak yang tidak memperhatikan gizi, atau setidaknya tidak membahayakan anak. Di televisi, saya sering mendapati berita atau investigasi-investigasi mengenai jajanan anak-anak yang berada di bawah ambang batas keamanan konsumsi. Batuk, radang tenggorokan, diare, sampai muntaber banyak menjangkit anak-anak melalui jajanan jalanan itu. Tapi berbeda dengan Mbah Wo. Banyak anak-anak yang sudah tumbuh dewasa dan beberapa sudah menikah itu masih saja kangen dengan dia, saya lebih yakin bukan karena es pung-pung yang enak, tetapi doa yang masuk dalam makanan itu dan tertelan ke dalam perut dan bereaksi di sanubari. Suatu hari, Ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya pernah tidak berjumpa lama dengan Mbah Wo, dan sebagai ganti ada seorang penjual es serupa dengan menggunakan sepeda untuk berkeliling, dan saya membeli sebuah es darinya. Dengan harga yang sama dan tempat contong yang sama, tapi saya tidak mendapatkan rasa yang sama, sedikit serak dan sakit di tenggorokan, itulah yang saya rasakan pada es itu. Sehingga saya memutuskan, selain Es Pung-Pung Mbah Wo, saya tidak mau.
Mbah Wo bukanlah mayarakat Kecamatan Kutoarjo, dia adalah penduduk Klaten, tepatnya di Bayat, 200 km dari kami tinggal dan dari dia mengorbitkan es pung-pungnya. Sebagai penduduk Klaten pada dasarnya dia adalah seorang petani, mengerjakan sawah sampa memanennya di tanah sendiri, bukan tanah sewa atau buruh milik orang lain. Dari warga gang Candi sendiri, termasuk saya, belum pernah ada satu orangpun yang memeriksa ke sana, apakah dia benar-benar orang Klaten ataupun seorang petani, tapi tidak ada satupun yang ragu akan ceritanya itu, seperti kejujurannya dalam es pung-pung, nikmat dirasa. Dulu dia lebih sering menjajakan es pung-pung karena dia masih punya tenaga kerja untuk menggarapkan sawahnya, setidaknya masih ada anak-anaknya dan saudara-saudara yang tinggal di sekitar. Namun kini dia tidak memiliki banyak tenaga kerja lagi, anak-anaknya telah pergi merantau setelah menikah dan mendapatkan pekerjaan kantoran di kota lain. Olah sebab itu, terkadang sampai sebulan dan berbulan-bulan dia tidak menampakkan gerobaknya di wilayah Kutoarjo. Meski waktu sudah terasa lama, saya sendiri tidak melihat adanya perubahan fisik yang berarti darinya, masih tetap gagah mendorong gerobak. Kini dia mengatakan bahwa menjual es adalah untuk hiburan, dan petani adalah pekerjaan yang utama baginya. Bertemu dan melihat anak-anak kecil yang suka dengan esnya adalah suatu hal yang mendatangkan bahagia kepadanya. Di akhir kata, saya harap dia mendapatkan kesehatan selalu dan mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.
0 comments:
Post a Comment