Friday, September 18, 2015

Kereta Jawa Bergoyang

by pandu pramudita

Terik matahari menerjang jatuh ke bumi sisi selatan pulau Jawa. Terpaan angin mendayu-dayu pohon kelapa yang berjejalan berdiri menjulang. Wilayah pesisir dari kota yang memiliki bedug terbesar di dunia. Bedug, entah simbol apakah itu, apakah itu adalah simbol dari agama Islam yang menyebar di wilayah ini namun jika dirunut, apakah benar, Islam yang di bawa dari dunia lain itu memiliki alat bunyi bernama bedug? Ataukah itu mungkin simbol dari Jawa, namun dari klonengan Jawa, yang biasa di sebut karawitan, alat bunyi yang bernama bedug tersebut ternyata tidak ada dalam rangkaiannya. Atau jangan-jangan itu adalah simbol dari negara Cina, yang jika diamati dalam kondisi perang, biasanya pasukan dari Cina akan diberi aba-aba dari sebuah alat bunyi yang mirip seperti bedug. Namun, hari ini, nama bedug tidak dibunyikan sebagai sebuah alat bunyi tetapi sebagai penanda waktu, tengah hari.

Angin sepoi-sepoi meriuh di telinga, melambai pada hamparan pari yang masih hijau, menemani kulit yang dibelai pula terik mentari. Payung tergelar, berwarna hijau berbunga. Bunga yang bukan dalam arti gambar motif, tetapi dalam arti sebenarnya. Dijunjung oleh seseorang, menghalangi terik cahaya yang jatuh dari langit, sebuah “kereta Jawa” tersunggi dalam pundak empat orang yang berdiri di masing-masing sudut kereta berselimut hijau berenda kuning. Nampak, warga berkumpul yang mulai berdiri pada kedua kaki mereka, mengelilingi “kereta Jawa” itu, yang siap di depan rumah penumpangnya akan diberangkatkan. Terlihat di dalam rumah, seorang wanita berbaju hitam terisak-isak dengan ditemani beberapa wanita menuntun masuk ke dalam sisi ruang lainnya dari ruang paling depan. Sedang para warga lainnya tetap berdiri, kecuali mereka yang berada di barisan paling belakang, mungkin tidak dapat melihat kereta Jawa yang akan diberangkatkan, kemudian mereka hanya duduk. Inilah suasana duka, permulaan dunia lain dari sisi dunia yang penuh gemerlap kegiatan ekonomi, beralih ke dalam sisi dunia yang entah bagaimana bentuknya dan keadaanya. Kereta Jawa, itulah sebutan bagi keranda yang ditumpangi oleh jenazah yang diselimuti kain hijau dan dipanggul oleh empat orang di setiap pojoknya. Tersungginya keranda berarti telah memberikan tanda bahwa jenazah siap diberangkatkan ke rumah peristirahatan terakhir manusia, istirahat untuk selama-lamanya dan tidak akan terbangun lagi dari tidur panjangnya.

Prosesi pemberangkatan jenazah telah dimulai. Kereta Jawa telah siap dipanggul, pembawa acara mulai berkata-kata mengawali acara pemberangkatan. Salam bagi warga yang datang diucapkan untuk memulai perkataan selanjutnya. Prosesi pemberangkatan ini adalah ucapan-ucapan atau sambutan-sambutan baik dari warga maupun dari keluarga yang bertujuan untuk mendoakan si jenazah. Pada waktu itu, si jenazah adalah seorang pensiunan dari pegawai negeri, sehingga salah seorang perwakilan dari PWRI turut mengucapkan sambutan. Sebuah perangkat sound system dipersiapkan untuk menyediakan ruang bagi warga yang ingin menyampaiakan doa mereka untuk si jenazah dan keluarga. Seselesainya orang tua yang mewakili PWRI itu menyampaikan sambutannya, perwakilan keluarga kemudian diminta untuk memberikan sambutan, menyampaikan terima kasih kepada warga yang telah datang dan mengucapkan permintaan maaf dari pihak keluarga.

Suara-suara tua, berbahasa Jawa halus, lantunan yang mendayu-dayu, terasa lama untuk ditunggu sebelum langkah pertama dimulai. Namun, keranda telah terpanggungl, dikerumuni oleh warga yang berdiri memberikan penghormatan terakhir mereka. Dari sisi belakang terlihat, bahwa keranda itu bergoyang-goyang kecil, dan dalam satu waktu arah keranda itu berubah, menyerong meski tidak banyak tetapi cukup terlihat. Apakah si jenazah bangkit lagi dan mulai bernafas kembali? Bukan. Lamanya sambutan yang harus didengarkan hingga selesai, waktu akan semakin terluru, tetapi keranda harus tetap tersunggi. Meskipun telah terpanggul di pundak, bukan berarti pundak adalah sebuah batu atau tiang yang akan tetap kokoh berdiri. Linu pun akan mulai terasa setelah beberapa waktu. Banyak warga yang berdiri di sekitar keranda silih berganti memanggul ke empat sudut keranda. Tidak hanya sekedar ingin memikul keranda, mereka pun juga terlihat berdebat kecil agar untuk memilih lawan memanggul dengan ketinggian pundak yang sama. Mungkin agar keranda tetap datar atau mungkin juga, jika ada yang menjunjung keranda lebih tinggi maka yang memanggul lebih rendah akan merasakan lebih berat.

Sambutan masih berlanjut, keranda sekali waktu tetap bergoyang kecil saat sudut-sudut bernyawa silih berganti. Wujud penghormatankah bagi mereka yang ingin silih berganti memikul kereta Jawa itu? Apakah mereka adalah saudara atau keturunan dari si jenazah? Atau mungkinkah mereka saling bertoleransi bagi pemikul, agar tidak merasakan beratnya beban yang mereka pikul? Sebuah keunikan yang terjalin pada sesama warga di daerah pedesaan saat sebuah prosesi pemberangkatan jenazah dilakukan. Saling silih berganti memikul beban yang berat, atau bersama-sama memikul beban, sehingga beban tidak hanya dibebankan oleh salah seorang saja, jikapun beban itu terasa, mereka ingin merasakan beban itu silih berganti, agar beban yang dirasakan tidak terlalu lama. Apakah ini yang disebut dengan gotong royong?

0 comments:

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com