by pandu pramudita
Terik matahari menerjang
jatuh ke bumi sisi selatan pulau Jawa. Terpaan angin mendayu-dayu pohon kelapa
yang berjejalan berdiri menjulang. Wilayah pesisir dari kota yang memiliki bedug terbesar di dunia. Bedug, entah
simbol apakah itu, apakah itu adalah simbol dari agama Islam yang menyebar di
wilayah ini namun jika dirunut, apakah benar, Islam yang di bawa dari dunia
lain itu memiliki alat bunyi bernama bedug?
Ataukah itu mungkin simbol dari Jawa, namun dari klonengan Jawa, yang biasa di
sebut karawitan, alat bunyi yang bernama bedug
tersebut ternyata tidak ada dalam rangkaiannya. Atau jangan-jangan itu
adalah simbol dari negara Cina, yang jika diamati dalam kondisi perang,
biasanya pasukan dari Cina akan diberi aba-aba dari sebuah alat bunyi yang
mirip seperti bedug. Namun, hari ini, nama bedug
tidak dibunyikan sebagai sebuah alat bunyi tetapi sebagai penanda waktu, tengah
hari.
Angin
sepoi-sepoi meriuh di telinga, melambai pada hamparan pari yang masih hijau,
menemani kulit yang dibelai pula terik mentari. Payung tergelar, berwarna hijau
berbunga. Bunga yang bukan dalam arti gambar motif, tetapi dalam arti
sebenarnya. Dijunjung oleh seseorang, menghalangi terik cahaya yang jatuh dari
langit, sebuah “kereta Jawa” tersunggi dalam pundak empat orang yang berdiri di
masing-masing sudut kereta berselimut hijau berenda kuning. Nampak, warga
berkumpul yang mulai berdiri pada kedua kaki mereka, mengelilingi “kereta Jawa”
itu, yang siap di depan rumah penumpangnya akan diberangkatkan. Terlihat di
dalam rumah, seorang wanita berbaju hitam terisak-isak dengan ditemani beberapa
wanita menuntun masuk ke dalam sisi ruang lainnya dari ruang paling depan.
Sedang para warga lainnya tetap berdiri, kecuali mereka yang berada di barisan
paling belakang, mungkin tidak dapat melihat kereta Jawa yang akan
diberangkatkan, kemudian mereka hanya duduk. Inilah suasana duka, permulaan
dunia lain dari sisi dunia yang penuh gemerlap kegiatan ekonomi, beralih ke
dalam sisi dunia yang entah bagaimana bentuknya dan keadaanya. Kereta Jawa,
itulah sebutan bagi keranda yang ditumpangi oleh jenazah yang diselimuti kain
hijau dan dipanggul oleh empat orang di setiap pojoknya. Tersungginya keranda
berarti telah memberikan tanda bahwa jenazah siap diberangkatkan ke rumah
peristirahatan terakhir manusia, istirahat untuk selama-lamanya dan tidak akan
terbangun lagi dari tidur panjangnya.
Prosesi
pemberangkatan jenazah telah dimulai. Kereta Jawa telah siap dipanggul, pembawa
acara mulai berkata-kata mengawali acara pemberangkatan. Salam bagi warga yang
datang diucapkan untuk memulai perkataan selanjutnya. Prosesi pemberangkatan
ini adalah ucapan-ucapan atau sambutan-sambutan baik dari warga maupun dari
keluarga yang bertujuan untuk mendoakan si jenazah. Pada waktu itu, si jenazah
adalah seorang pensiunan dari pegawai negeri, sehingga salah seorang perwakilan
dari PWRI turut mengucapkan sambutan. Sebuah perangkat sound system
dipersiapkan untuk menyediakan ruang bagi warga yang ingin menyampaiakan doa
mereka untuk si jenazah dan keluarga. Seselesainya orang tua yang mewakili PWRI
itu menyampaikan sambutannya, perwakilan keluarga kemudian diminta untuk
memberikan sambutan, menyampaikan terima kasih kepada warga yang telah datang
dan mengucapkan permintaan maaf dari pihak keluarga.
Suara-suara
tua, berbahasa Jawa halus, lantunan yang mendayu-dayu, terasa lama untuk
ditunggu sebelum langkah pertama dimulai. Namun, keranda telah terpanggungl,
dikerumuni oleh warga yang berdiri memberikan penghormatan terakhir mereka.
Dari sisi belakang terlihat, bahwa keranda itu bergoyang-goyang kecil, dan
dalam satu waktu arah keranda itu berubah, menyerong meski tidak banyak tetapi
cukup terlihat. Apakah si jenazah bangkit lagi dan mulai bernafas kembali?
Bukan. Lamanya sambutan yang harus didengarkan hingga selesai, waktu akan
semakin terluru, tetapi keranda harus tetap tersunggi. Meskipun telah
terpanggul di pundak, bukan berarti pundak adalah sebuah batu atau tiang yang
akan tetap kokoh berdiri. Linu pun akan mulai terasa setelah beberapa waktu.
Banyak warga yang berdiri di sekitar keranda silih berganti memanggul ke empat
sudut keranda. Tidak hanya sekedar ingin memikul keranda, mereka pun juga
terlihat berdebat kecil agar untuk memilih lawan memanggul dengan ketinggian
pundak yang sama. Mungkin agar keranda tetap datar atau mungkin juga, jika ada
yang menjunjung keranda lebih tinggi maka yang memanggul lebih rendah akan
merasakan lebih berat.
Sambutan
masih berlanjut, keranda sekali waktu tetap bergoyang kecil saat sudut-sudut
bernyawa silih berganti. Wujud penghormatankah bagi mereka yang ingin silih
berganti memikul kereta Jawa itu? Apakah mereka adalah saudara atau keturunan
dari si jenazah? Atau mungkinkah mereka saling bertoleransi bagi pemikul, agar
tidak merasakan beratnya beban yang mereka pikul? Sebuah keunikan yang terjalin
pada sesama warga di daerah pedesaan saat sebuah prosesi pemberangkatan jenazah
dilakukan. Saling silih berganti memikul beban yang berat, atau bersama-sama
memikul beban, sehingga beban tidak hanya dibebankan oleh salah seorang saja,
jikapun beban itu terasa, mereka ingin merasakan beban itu silih berganti, agar
beban yang dirasakan tidak terlalu lama. Apakah ini yang disebut dengan gotong
royong?
0 comments:
Post a Comment