Wednesday, September 2, 2015

Mencari Abangan, Santri, dan Priyayi


reviewer by pandu pramudita

Abangan, Priyayi, dan Santri, adalah tiga kategori kelompok sosial yang berkembang di Jawa. Setidaknya itu yang dikatakan Clifford Geert saat ia melihat kondisi Jawa di tahun 70-an. Kondisi politik yang pada saat itu bergejolak juga menyeret penampakan tiga golongan ini dalam keberpihakan dalam arus politik praktis, yang dikenal sebagai politik aliran. Partai politik yang berideologi kedaerahan diduking oleh kelompok abangan, kaum santri mendukung partai politik yang berbasis ideologi agama, khususnya Islam, dan kelompok priyayi yang mendukung partai politik yang berbasis nasionalisme. Setidaknya itu yang kemudian dimengerti oleh kebanyakan dan yang diajarkan di sekolah-sekolah. Namun, apakah demikian? Kembali membaca buku yang berjudul Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa akan menyegarkan kembali pengetahuan yang selama ini bereda. Ini adalah buku yang pernah dicetak pada tahun 1985 oleh penerbit Pustaka Jaya, dan kini dicetak ulang oleh penerbit Komunitas Bambu.
...........................................................................................................................................................................................................................................................................
... Tipologi pola pekerjaan yang terkristalisasi mencerminkan dasar organisasi sistem ekonomi kota ini, yang darinya tipologi ini dihasilkan. Demikian juga penggolongan penduduk menurut pandangan mereka – menurut kepercayaan agama, preferensi etis dan ideologi politik mereka – menghasilkan tiga tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa sebagaimana terwujud di Mojokuto, ide umum tentang ketertiban yang dengannya petani, buruh, tukang, pedagang atau pegawai membentuk perilaku mereka dalam segala bidang kehidupan. Tiga tipe kebudayaan ini adalah abangan, santri dan priyayi.
Menurut hemat saya, rupanya terdapat tiga inti struktur sosial yang utama di Jawa pada masa ini; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah ... Evolusi desa Jawa ampai kepada bentuknya yang sekarang, pada setiap tahapnya diatur dan diekspresikan oleh sistem keagamaan yang kurang lebih terpadu; sistem keagamaan itu sendiri tentu saja juga mengalami perkembangan; animisme, Hinduisme, dan juga Islam ... Tradisi keagamaan abangan, yang terutama sekali terdiri atas pesta keupacaraan yang disebut slametan, kepercayaan yang luas dan kompleks terhadap makhluk halus serta serangkaian teori dan praktik pengobatan, sihir serta magi, adalah subvarian pertama dalam sistem keagamaan umum orang Jawa. Sistem ini diasosiasikan dengan cara yang luas dan umum dengan desa orang Jawa.
Substruktur sosial yang kedua, pasar, harus dimengerti dalam arti yang luas hingga mencakup seluruh jaringan hbungan dagang dalam negeri di pulau itu ... Pengaitan elemen perdagangan orang Jawa dengan versi Islam yang lebih murni daripada yang lazim di Jawa, bisa ditarik ke belakang sampai ke saat masuknya agama Timur Tengah itu ke Pulau Jawa. Pasalnya, agama itu masuk sebagai bagian dari perluasan dagang besar-besaran di sepanjang Laut Jawa, yang pada akhirnya dirangsang oleh kemunculan Abad Eksplorasi di Eropa ... Islam yang lebih murni – yang tidak begitu terkontaminasi oleh animisme atau mistisisme – itu merupakan subtradisi yang saya sebut santri.
Ketiga adalah priyayi, yang pada mulanya hanya merujuk pada kalangan aristokrasi turun-menurun yang oleh Belanda dicomot dengan mudah dari raja-raja Pribumi yang ditaklukkan, untuk kemudian diangkat sebagai pegawai sipil yang digaji ... Mereka tidak menekankan eemen animistis dari sinkretisme Jawa yang serba melingkupi seperti kaum abangan, tetapi tidak pula menekankan elemen Islam sebagaimana kaum santri.  Di abad ini, posisi sosial dan politik yang diwariskan kelompok ini, sepanjang terkait dengan masyarakat asli Jawa, sudah makin lemah. Akses untuk masuk birokrasi sudah lebih mudah bagi kalangan tang sekalipun berketurunan rendahan, tetapi memiliki pendidikan yang baik dan pekerjaan “kerah-putih” non-pemerintah telah muncul dalam jumlah yang semakin banyak ... Sekalipun demikian, varian priyayi tidak saja tetap kuat bertahan di antara elemen konservatif tertentu dari masyarakat, tetapi juga memainkan peran dasar dalam membentuk pandangan dunia, etika dan tingkah laku sosial dari elemen yang bahkan paling terbaratkan dalam kelompok kerah-putih yang masih dominan. Sopan santun yang halus, seni tinggi serta mistisisme intuitif, semuanya masih menjadi karakteristik utama elite Jawa; dan sekalipun sudah semakin menipis serta mengalami penyesuaian dengan keadaan yang telah berubah, gaya hidup priyayi masih tetap menjadi model tidak hanya untuk kalangan elite, tetapi dalam banyak hal, juga untuk seluruh masyarakat.
..........................................................................................................................................
Jawa tak mudah dicirikan dengan satu label atau digambarkan di bawah satu tema yang dominan. Pulau itu lebih lama mengalami peradaban daripad Inggris yang selama dari 1500 tahun telah menyaksikan orang-orang India, Arab, Cina, Portugis serta Belanda, datang dan pergi. Dewasa ini, Jawa memiliki jumlah penduduk yang termasuk paling padat di dunia, pertumbuhan kesenian yang paling tinggi serta pertanian yang paling intensif. Karenanya, pada halaman-halaman berikut, saya mencoba menunjukkan betapa banyak variasi dalam upacara, pertentangan dalam kepercayaan dan konflik daam nilai-nilai, yang tersembunyi di balik pernyataan sederhana bahwa penduduk Jawa lebih dari 90% beragama Islam. Kalau saya, sebagai konsekuensinya, telah memilih penekanan pada keanekaragaman keagamaan di Jawa masa kini – atau lebih khusus lagi, di sebuah kompleks kota-desa di Jawa masa kini – maka maksud saya bukanlah untuk mengingkari dasar kesatuan keagamaan dari rakyat Jawa, atau lebih luas lagi, dari rakyat Indonesia pada umumnya. Namun, untuk membawa pulang, kenyataan tentang kompleksitas, kedalaman dan kekayaan spiritual mereka.
(Clifford Geertz, 2013)
...........................................................................................................................................................................................................................................................................

Untuk perkembangan Jawa pada masa kini (di abad 21) maka apa yang dikatakan Geertz sudah tidak lagi dengan mudah dilihat di masyarakat Jawa. Beberapa penulis buku atau peneliti, juga mengatakan ketidaksetujuannya mengenai pembagian golongan di masyarakat Jawa itu. Namun bagi saya, memanglah hal itu tidak akan mungkin dapat dilihat pada masyarakat Jawa masa kini, dan itu hanya muncul pada masyarakat Jawa pada masa itu, terlebih dalam kacamata Geertz sendiri. Hal yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana Geertz kemudian terjun dalam masyarakat Jawa, mecoba menyatu dalam kehidupan mereka sehingga memiliki pandangan yang tajam dan mendetail mengenai masyarakat Jawa. Selain itu juga, buku ini juga masih menjadi buku penting untuk studi antropologi khususnya untuk mempelajari masyarakat Jawa yang representatif mencerminkan kondisi Jawa pada waktu itu, dan untuk studi sosiologi, khususnya yang berkaitan dengan kelompok sosial. Selamat berburu buku.

0 comments:

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com