reviewer by pandu
pramudita
Abangan, Priyayi, dan Santri, adalah tiga kategori
kelompok sosial yang berkembang di Jawa. Setidaknya itu yang dikatakan Clifford
Geert saat ia melihat kondisi Jawa di tahun 70-an. Kondisi politik yang pada
saat itu bergejolak juga menyeret penampakan tiga golongan ini dalam
keberpihakan dalam arus politik praktis, yang dikenal sebagai politik aliran. Partai
politik yang berideologi kedaerahan diduking oleh kelompok abangan, kaum santri mendukung partai politik yang berbasis ideologi
agama, khususnya Islam, dan kelompok priyayi
yang mendukung partai politik yang berbasis nasionalisme. Setidaknya itu yang
kemudian dimengerti oleh kebanyakan dan yang diajarkan di sekolah-sekolah. Namun,
apakah demikian? Kembali membaca buku yang berjudul Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa akan
menyegarkan kembali pengetahuan yang selama ini bereda. Ini adalah buku yang
pernah dicetak pada tahun 1985 oleh penerbit Pustaka Jaya, dan kini dicetak
ulang oleh penerbit Komunitas Bambu.
...........................................................................................................................................................................................................................................................................
...
Tipologi pola pekerjaan yang terkristalisasi mencerminkan dasar organisasi
sistem ekonomi kota ini, yang darinya tipologi ini dihasilkan. Demikian juga
penggolongan penduduk menurut pandangan mereka – menurut kepercayaan agama,
preferensi etis dan ideologi politik mereka – menghasilkan tiga tipe utama
kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa sebagaimana
terwujud di Mojokuto, ide umum tentang ketertiban yang dengannya petani, buruh,
tukang, pedagang atau pegawai membentuk perilaku mereka dalam segala bidang
kehidupan. Tiga tipe kebudayaan ini adalah abangan,
santri dan priyayi.
Menurut
hemat saya, rupanya terdapat tiga inti struktur sosial yang utama di Jawa pada
masa ini; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah ... Evolusi desa Jawa ampai
kepada bentuknya yang sekarang, pada setiap tahapnya diatur dan diekspresikan
oleh sistem keagamaan yang kurang lebih terpadu; sistem keagamaan itu sendiri
tentu saja juga mengalami perkembangan; animisme, Hinduisme, dan juga Islam ...
Tradisi keagamaan abangan, yang
terutama sekali terdiri atas pesta keupacaraan yang disebut slametan, kepercayaan yang luas dan
kompleks terhadap makhluk halus serta serangkaian teori dan praktik pengobatan,
sihir serta magi, adalah subvarian pertama dalam sistem keagamaan umum orang
Jawa. Sistem ini diasosiasikan dengan cara yang luas dan umum dengan desa orang
Jawa.
Substruktur
sosial yang kedua, pasar, harus
dimengerti dalam arti yang luas hingga mencakup seluruh jaringan hbungan dagang
dalam negeri di pulau itu ... Pengaitan elemen perdagangan orang Jawa dengan
versi Islam yang lebih murni daripada yang lazim di Jawa, bisa ditarik ke
belakang sampai ke saat masuknya agama Timur Tengah itu ke Pulau Jawa. Pasalnya,
agama itu masuk sebagai bagian dari perluasan dagang besar-besaran di sepanjang
Laut Jawa, yang pada akhirnya dirangsang oleh kemunculan Abad Eksplorasi di
Eropa ... Islam yang lebih murni – yang tidak begitu terkontaminasi oleh
animisme atau mistisisme – itu merupakan subtradisi yang saya sebut santri.
Ketiga
adalah priyayi, yang pada mulanya
hanya merujuk pada kalangan aristokrasi turun-menurun yang oleh Belanda dicomot
dengan mudah dari raja-raja Pribumi yang ditaklukkan, untuk kemudian diangkat
sebagai pegawai sipil yang digaji ... Mereka tidak menekankan eemen animistis
dari sinkretisme Jawa yang serba melingkupi seperti kaum abangan, tetapi tidak pula menekankan elemen Islam sebagaimana kaum
santri. Di abad ini, posisi sosial dan politik yang
diwariskan kelompok ini, sepanjang terkait dengan masyarakat asli Jawa, sudah
makin lemah. Akses untuk masuk birokrasi sudah lebih mudah bagi kalangan tang
sekalipun berketurunan rendahan, tetapi memiliki pendidikan yang baik dan
pekerjaan “kerah-putih” non-pemerintah telah muncul dalam jumlah yang semakin
banyak ... Sekalipun demikian, varian priyayi
tidak saja tetap kuat bertahan di antara elemen konservatif tertentu dari
masyarakat, tetapi juga memainkan peran dasar dalam membentuk pandangan dunia, etika
dan tingkah laku sosial dari elemen yang bahkan paling terbaratkan dalam
kelompok kerah-putih yang masih dominan. Sopan santun yang halus, seni tinggi
serta mistisisme intuitif, semuanya masih menjadi karakteristik utama elite
Jawa; dan sekalipun sudah semakin menipis serta mengalami penyesuaian dengan
keadaan yang telah berubah, gaya hidup priyayi
masih tetap menjadi model tidak hanya untuk kalangan elite, tetapi dalam banyak
hal, juga untuk seluruh masyarakat.
..........................................................................................................................................
Jawa
tak mudah dicirikan dengan satu label atau digambarkan di bawah satu tema yang
dominan. Pulau itu lebih lama mengalami peradaban daripad Inggris yang selama
dari 1500 tahun telah menyaksikan orang-orang India, Arab, Cina, Portugis serta
Belanda, datang dan pergi. Dewasa ini, Jawa memiliki jumlah penduduk yang
termasuk paling padat di dunia, pertumbuhan kesenian yang paling tinggi serta
pertanian yang paling intensif. Karenanya, pada halaman-halaman berikut, saya
mencoba menunjukkan betapa banyak variasi dalam upacara, pertentangan dalam
kepercayaan dan konflik daam nilai-nilai, yang tersembunyi di balik pernyataan
sederhana bahwa penduduk Jawa lebih dari 90% beragama Islam. Kalau saya,
sebagai konsekuensinya, telah memilih penekanan pada keanekaragaman keagamaan
di Jawa masa kini – atau lebih khusus lagi, di sebuah kompleks kota-desa di
Jawa masa kini – maka maksud saya bukanlah untuk mengingkari dasar kesatuan
keagamaan dari rakyat Jawa, atau lebih luas lagi, dari rakyat Indonesia pada
umumnya. Namun, untuk membawa pulang, kenyataan tentang kompleksitas, kedalaman
dan kekayaan spiritual mereka.
(Clifford Geertz, 2013)
...........................................................................................................................................................................................................................................................................
Untuk perkembangan
Jawa pada masa kini (di abad 21) maka apa yang dikatakan Geertz sudah tidak
lagi dengan mudah dilihat di masyarakat Jawa. Beberapa penulis buku atau
peneliti, juga mengatakan ketidaksetujuannya mengenai pembagian golongan di
masyarakat Jawa itu. Namun bagi saya, memanglah hal itu tidak akan mungkin
dapat dilihat pada masyarakat Jawa masa kini, dan itu hanya muncul pada
masyarakat Jawa pada masa itu, terlebih dalam kacamata Geertz sendiri. Hal yang
perlu digaris bawahi adalah bagaimana Geertz kemudian terjun dalam masyarakat
Jawa, mecoba menyatu dalam kehidupan mereka sehingga memiliki pandangan yang
tajam dan mendetail mengenai masyarakat Jawa. Selain itu juga, buku ini juga
masih menjadi buku penting untuk studi antropologi khususnya untuk mempelajari
masyarakat Jawa yang representatif mencerminkan kondisi Jawa pada waktu itu,
dan untuk studi sosiologi, khususnya yang berkaitan dengan kelompok sosial.
Selamat berburu buku.
0 comments:
Post a Comment