reviewer by pandu pramudita
~Penyakit dari
dalam, maka harus disembuhkan dari dalam~
Pernyataan
tersebut disampaikan oleh Jurgen Habermas ketika menanggapi adanya pemisahan
teori dari praxis, yang dikenal
sebagai objektivisme. Habermas berpendapat bahwa ilusi objektivisme tidak dapat
disingkirkan dengan memulihkan epistemologi Kant. Positivisme dan saintisme
hana dapat diatasi melalui refleksi-diri dari metodologi ilmu pengetahuan itu
sendiri. Berikut, akan tampil Peirce dengan pragmatismenya dan Dilthey dengan
historisismenya, yang muncul pada abad ke-19 dan 20. Dengan menggunakan
metakritik Marx, Habermas menafsirkan pandangan Pierce dan Dilthey, dimana
Pierce merefleksikan ilmu-ilmu alam yang sebenarnya termask dalam bidang
tindakan instrumental dan Dilthey merefleksikan ilmu-ilmu budaya yang termasuk
dalam bidang interaksi atau tindakan komunikatif.
Kepentingan Teknis Ilmu-ilmu
Empirs-Analisis
Habermas
menyatakan bahwa Pierce memiliki konsep tertentu mengenai kenyataan. Kenyataan,
dalam pandangan Pierce adalah sesuatu yang independen terhadap pikiran aktual
kita masing-masing. Kenyataan itu dapat diketahui oleh pikiran kita, tetapi
bukan secara subjektif, melainkan secara intersubjektif seperti tampak pada
konsensus ilmiah yang dicapai dalam proses ilmiah.
Habermas
mengatakan bahwa bagi Pierce kebenaran bersifat publik karena kenyataan
subjektif tidak mengacu pada “yang nyata”. Sejauh pengalaman pribadi diangkat
ke dalam kesimpulan dan sejauh diekspresikan secara simbolis, pernyata-an yang
memuat pengalaman itu memiliki isi kognitif, maka ia bisa benar atau salah,
nyata atau tidak. Jika “yang nyata” diungkapkan secara simbolis dalam proposisi
dan disimpulkan secara intersubjektif melalui proses penelitian, maka totalitas
pernyataan yang benar tentang “yang nyata” itulah yang disebut kenyataan.
Ketika
Pierce membagi tiga bentuk kesimpulan, yaitu deduksi, induksi, dan abduksi,
Habermas berpendapat bahwa hanya abduksilah yang merupakan bentuk argumen yang
memperluas pengetahuan kita. Yang penting bagi logika penelitian terletak pada
abduksi dan induksi. Baik induksi maupun abduksi ditarik dari penelitian dan
pengalaman. Karena disimpulkan dari pengalaman, abduksi dan induksi merupakan
bentuk kesimpulan sintesis.
Habermas
mempermasalahkan pendapat Pierce mengenai konsensus inter-subjektif di antara
para ahli dalam proses penelitian. Bukankah bahasa yang dipakai untuk
mengungkapkan hasil penelitian itu merupakan silogisme. Habermas tidak menolak
bahwa untuk mencapai kebenaran ilmiah perlu dicapai konsensus untuk memetakan
proses belajar manusia, tetapi ia menolak bahwa konsensus ini dapat dicapai
dalam logika penelitian.
Komunikasi
antarpeneliti ini berada di luar sistem acuan tindakan instrumental. Sistem
acuan bagi konsensus intersubjektif itu, menurut Habermas, adalah tindakan komunikatif. Menurut Habermas,
tindakan komunikatif akan menjadi akar pengetahuan yang menghasilkan ilmu-ilmu
historis-hermeneutis.
Kepentingan Teknis Ilmu-ilmu
Hostoris-Hermeneutis
Pada
bagian ini, Habermas ingin menunjukkan hasil refleksi diri dari ilmu-ilmu
budaya yang ditangani oleh Wilhelm Dilthey. Dilthey memandang tindakan
instrumental yang merupakan wilayah pengelolaan ilmu-ilmu alam termasuk dalam
konteks kehidupan. Konteks kehidupan inilah yang menjadi bidang kajian
ilmu-ilmu budaya. Berbeda dengan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu budaya
mengobjektivasikan pengalaman seutuhnya, tanpa pembatasan. Pengalaman itu
lebih-lebih dialami dari dalam.
Menurut Dilthey, perbedaan kedua kelompok ilmu itu terletak pada orientasi dari
subjek pengetahuan: sikapnya terhadap objeknya. Perbedaan itu bukanlah
perbedaan ontologis, melainkan perbedaan epistemologis.
Menurut
Dilthey, teori dalam ilmu-ilmu budaya hanyalah merupakan wahana untuk membangkitkan kembali pengalaman secara reproduktif.
Jika ilmu-ilmu alam meng-konstruksi
pengalaman, yakni menyusun teori untuk mengantisipasi peristiwa alamiah, maka
ilmu-ilmu budaya mentransposisi
pengalaman, yaitu memindahkan objektivasi mental kembali ke dalam pengalaman
reproduktif. Ilmu-ilmu budya bermaksud membangkitkan kembali pengalaman secara
sama.
Dengan
istilah Dilthey sendiri, metode ilmu-ilmu alam itu Eklaren (menjelaskan), sedang metode ilmu-ilmu budaya adalah verstehen (mengerti). Dengan verstehen kita terutama tidak ingin
menerangkan hukum, melainkan ingin menemukan makna dari produk manusiawi,
seperti sejarah, masyarakat, candi, dan interaksi.
Objek
ilmu-ilmu budaya tidak terpisahdari subjeknya. Fakta kebudayaan tampak pada
kesadaran sebagai sesuatu yang datang dari
dalam subjek sendiri. Ini menunjukkan, ilmu-ilmu budaya berada di dalam
kategori “pengalaman” (Erlebnis).
Pengalaman,
ekspresi, dan pemahaman adalah tiga pokok penting yang menurut Dilthey menjadi
pokok kajian ilmu-ilmu budaya. Ketiganya juga merupakan ciri ekstensial manusia
sendiri dan merupakan satu-satunya cara untuk melukiskan manusia.
Menurut
Dilthey, dalam ilmu-ilmu budaya, baik subjek maupun objek mempunyai kodrat yang
sama, yaitu makhluk historis. Sebagai makhluk historis, manusia tidak terpaku
pada keadaan hic et nunc. Ia dapat
melampaui keterbatasan sejarahnya, karena itu ia bersifat transendental.
Objektivitas dalam ilmu-ilmu budaya makin terjamin jika subjek makin mampu
meninggalkan situasi sejarahnya sendiri.
Di
sini Dilthey mengejar objektivitas sebagaimana dipahami ilmu-ilmu alam.
Habermas mengatakan seharusnya Dilthey tidak mengejarobjektivitas untuk mencari
kesahihan ilmu-ilmu budaya. Untuk tujuan Objektivitas itu, Dilthey memakai
pengalaman, ekspresi, dan pemahaman sebagai metode hermeneutis.
Relasi
kehidupan yang terintegrasi dalam pengalaman membentuk identitas ego. Identitas
terbentuk bila ego menafsirkan makna bagi sejarah hidupnya sendiri. Menurut
Dilthey, makna terungkap dalam struktur simbolis, dan karenanya tidak lagi
merupakan makna privat, dan karena itu pula memiliki kesahihan intersubjektif.
Pengalaman hidup seseorang dapat dikomunikasikan dengan pengalaman hidup orang
lain dan membentuk pengalaman bersama.
Dalam lingkup “bersama” itu juga kita memahami orang lain dalam objektivasinya,
yaitu lewat produk budaya. Dalam hal ini pun, autobiografi pun berada pada
taraf intersubjektif dan merupakan produk proses intersubjektif. Dasar dari
intersubjektivitas ini adalah bahasa. Habermas mengatakan,
“Bahasa adalah
dasar intersubjektivitas dan setiap orang harus sudah mulai dari bahasa sebelum
ia dapat mengobjektivasikan dirinya sendiri dalam ungkapan hidupnya yang
pertama, apakah itu lewat kata-kata, sikap atau tindakan.”
Melalui
perantara bahasa, makna dialami bersama tidak hanya secara kognitif, tetapi
juga afektif dan normatif.
Menurut
Habermas, pemahaman hermeneutis atas makna berlawanan dengan pemahaman
monologal atas makna yang dipraktikan ilmu-ilmu alam. Setiap proposisi teoretis
merupakan rumusan pemahaman yang bersifat monologal. Setiap proposisi teoretis
itu berbentuk bahasa yang telah diformalisasikan atau, katakanlah, bahasa
“murni”. Dengan bahasa murni ini pula ilmuwan menyingkirkan interaksi simbolis
yang biasanya terungkap dalam kata-kata. Interaksi simbolis ini dianggap bukan
fakta. Menurut Habermas, justru pada bidang inilah hermeneutika bekerja. Pemahaman hermeneutis menganggap interaksi
simbolis sebagai fakta, dan pemahaman hermeneutis tidak memisahkan pernyataan
tentang fakta dan fakta yang diamati. Menurut ungkapan Habermas sendiri,
hermeneutika adalah bentuk pengalaman sekaligus analisis gramatikal. Pemahaman
hermeneutis, menurut Habermas, terkait dengan kekuatan bahasa sehari-hari dalam
mengungkapkan makna. Dari sini, Habermas ingin menunjukkan bagaimana pemahaman
hermeneitis memahami makna atas produk budaya.
Dilthey
menunjukkan bahwa konteks kehidupan konkret itu dapat diungkapkan melalui apa
yang disebut “ekspresi kehidupan”, dan bahasa sehari-hari termasuk di dalamnya.
Ekspresi kehidupan terdiri dari tiga macam, yaitu ekspresi linguistik,
tindakan, dan ekspresi pengalaman.
Menurut
Habermas, untuk menafsirkan struktur bahasa sehari-hari, kita harus mengaitkan
ketiga macam ekspresi kehidupan di atas secara integral. Karena komunikai dalam
bahasa sehari-hari tak pernah terpisahkan dari interaksi ataupun ekspresi
pengalaman. Dalam kehidupan sehari-hari jika tindakan dan bahasa ini kurang
memadai, kita akan memakai ekspresi pengalaman. Dengan demikian, bahasa
sehari-hari bukanlah sintaksis lengkap seperti bahasa murni. Sintaksisnya
dilengkapi dengan interaksi dan ekspresi pengalaman. Oleh Habermas sifat ini
disebut “refleksivitas”.
Refleksivitas
tidak terdapat pada bahasa murni karena bahasa yang diformalisasikan hanya
mampu merumuskan kenyataan secara padat lewat bahasa itu sendiri. Bahasa ini
justru menyingkirkan dimensi nonverbal. Jika dimensi nonverbal ini dilenyapkan,
maka bahasa sehari-hari menjadi fragmentasi dan tak dapat ditafsirkan secara
hermeneutis. Tugas hermeneutika, menurut Habermas, adalah menafsirkan
refleksivitas ini.
Jika
pemahaman hermeneutis sebagai metode ilmu-ilmu budaya dapat memperoleh kemajuan
dengan mengaitkan bahasa dan praxis,
analisis bahasa dan pengalaman, lingkaran hermeneutis itu sejajar dengan proses
belajar kumulatif dari logika penelitian Pierce. Karena dengan lingkaran
hermeneutis itu diperoleh pemahaman baru tentang kenyataan sosiohistoris.
Seperti logika Pierce, dalam hal ini pun tampak jelas bahwa hermeneutika
berakar pada konteks kehidupan praktis manusia.
Seperti
Pierce, Dilthey juga tidak berhasil memahami objektivitas dalam konteks
kepentingan kognitif. Menurut Habermas, meskipun mereka menunjukkan keterkaitan
ilmu pengetahuan dengan konteks kehidupan konkret, mereka tetap cenderung jatuh
pada objektivisme positivistik.
Kepentingan Emansipatoris Ilmu-ilmu Kritis
Di
sini Habermas berbicara tentang bentuk pengetahuan yang mendasari bentuk
pengetahuan tentang alam maupun tentang masyarakat, yakni bentuk pengetahuan
tentang proses pembentukan-diri kita sebagai
makhluk individual dan makhluk sosiohistoris. Bentuk pengetahuan ini hanya
dicapai lewat refleksi atas proses pembentukan-diri itu dan dengan cara itu
pengetahuan reflektif itu bersifat emansipatoris. Karena itu, proses
refleksi-diri ini dibimbing oleh kepentingan kognitif ketiga yang disebut
“kepentingan emansipatoris”.
Kepentingan
emansipatoris bersifat derivatif dan mendasar. Untuk menguraikan kepentingan
emansipatoris, Habermas mengambil kelompok ilmu lain yang sebenarnya belum
dikembangkan secara memadai, yaitu apa yang disebut “ilmu-ilmu kritis”.
Habermas
membangun dua tahap pembahasan, yaitu mengenai kesatuan pengetahuan dan
kepentingan emasipatoris dalam refleksi-diri, dan psikoanalisis dalam pandangan
Habermas menjadi kritik atau refleksi-diri metodis.
- Kesatuan
Rasio dan Kepentingan dalam Refleksi-Diri
Habermas
memahami pencerahan sebagai usaha keras dari rasio untuk membebaskan dirinya
dari mitos yang terjadi sepanjang sejarah pemikiran, maka tidak terbatas hanya
pada masa Aufklarung. Dalam Filsafat
Kant, menurut Habermas, kepentingan rasio dipahami sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan eksistensi kita karena suatu kepentingan mengungkapkan kaitan
antara objek kepentingan itu dengan kemampuan kehendak kita. Secara umum,
kepentingan adalah kepuasan yang kita hubungkan dengan suatu objek atau suatu
tindakan. Suatu kepentingan mengandaikan adanya suatu kebutuhan dan sebaliknya,
menghasilkan suatu kebutuhan. Kepentingan yang dimaksudkan Habermas, adalah
kepentingan konstitutif-pengetahuan.
Tindakan
mengubah hidup adalah tindakan emansipatoris. Karena dalam refleksi-diri,
kesadaran dan tindakan emansipatoris itu menyatu, maka dalam kegiatan refleksi,
rasio kita langsung menjadi praktis. Habermas menulis, “refleksi-diri adalah
intuisi sekaligus emansipasi, pembebasan dari ketergantungan dogmatis”.
Dengan
demikian, refleksi-diri adalah kegiatan kognitif yang memuat kekuatan
emansipatoris karena kegiatan ini didorong oleh kepentingan yang inheren dalam
rasio kita sendiri, aykni kepentingan emansipatoris. Habermas mengungkapkan,
“... dalam kekuatan refleksi-diri, pengetahuan dan kepentingan adalah satu”.
- Psikoanalisis
sebagai kritik dan Kritik Ideologi Marx
Kepentigan
emansipatoris, pada taraf metodologis, membimbing seluruh refleksi sistematis,
termasuk filsafat, serta apa yang disebut Habermas “ilmu-ilmu kritis”. Tujuan
ilmu-ilmu kritis itu adalah memudahkan proses refleksi-diri manusia sebagai
makhluk sosial maupun individual. Dalam konsepsi Habermas, ilmu-ilmu kritis ini
menyatukan kepentingan teknis dan praktis dari kedua kelompok ilmiah lain dalam
satu kerangka kerja, sesuai dengan sifat dasariah dari kepentingan
emansipatoris. Di sini, ilmu-ilmu kritis hermeneutika interaksi, membeku
menjadi penindasan yang menghambat proses pembentukan-diri. Yang oleh Habermas
ditunjuk seagai contoh nyata dari ilmu yang menjadian refleksi-diri sebagai
metod adalah psikoanalisis Freud dan kritik ideologi Marx.
Bacalah lebih lanjut uraian dan penjelasan Hubermas dalam Kritik Ideologi tulisan F. Budi Hardiman, dengan penerbit Kanisius. Buku ini sangat disarankan untuk mengantarkan Anda ke Teori Kritis.
0 comments:
Post a Comment