Tuesday, September 1, 2015

Menuju Emansipatoris Ilmu-Ilmu Kritis


reviewer by pandu pramudita

~Penyakit dari dalam, maka harus disembuhkan dari dalam~
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Jurgen Habermas ketika menanggapi adanya pemisahan teori dari praxis, yang dikenal sebagai objektivisme. Habermas berpendapat bahwa ilusi objektivisme tidak dapat disingkirkan dengan memulihkan epistemologi Kant. Positivisme dan saintisme hana dapat diatasi melalui refleksi-diri dari metodologi ilmu pengetahuan itu sendiri. Berikut, akan tampil Peirce dengan pragmatismenya dan Dilthey dengan historisismenya, yang muncul pada abad ke-19 dan 20. Dengan menggunakan metakritik Marx, Habermas menafsirkan pandangan Pierce dan Dilthey, dimana Pierce merefleksikan ilmu-ilmu alam yang sebenarnya termask dalam bidang tindakan instrumental dan Dilthey merefleksikan ilmu-ilmu budaya yang termasuk dalam bidang interaksi atau tindakan komunikatif.
Kepentingan Teknis Ilmu-ilmu Empirs-Analisis
Habermas menyatakan bahwa Pierce memiliki konsep tertentu mengenai kenyataan. Kenyataan, dalam pandangan Pierce adalah sesuatu yang independen terhadap pikiran aktual kita masing-masing. Kenyataan itu dapat diketahui oleh pikiran kita, tetapi bukan secara subjektif, melainkan secara intersubjektif seperti tampak pada konsensus ilmiah yang dicapai dalam proses ilmiah.
Habermas mengatakan bahwa bagi Pierce kebenaran bersifat publik karena kenyataan subjektif tidak mengacu pada “yang nyata”. Sejauh pengalaman pribadi diangkat ke dalam kesimpulan dan sejauh diekspresikan secara simbolis, pernyata-an yang memuat pengalaman itu memiliki isi kognitif, maka ia bisa benar atau salah, nyata atau tidak. Jika “yang nyata” diungkapkan secara simbolis dalam proposisi dan disimpulkan secara intersubjektif melalui proses penelitian, maka totalitas pernyataan yang benar tentang “yang nyata” itulah yang disebut kenyataan.
Ketika Pierce membagi tiga bentuk kesimpulan, yaitu deduksi, induksi, dan abduksi, Habermas berpendapat bahwa hanya abduksilah yang merupakan bentuk argumen yang memperluas pengetahuan kita. Yang penting bagi logika penelitian terletak pada abduksi dan induksi. Baik induksi maupun abduksi ditarik dari penelitian dan pengalaman. Karena disimpulkan dari pengalaman, abduksi dan induksi merupakan bentuk kesimpulan sintesis.
Habermas mempermasalahkan pendapat Pierce mengenai konsensus inter-subjektif di antara para ahli dalam proses penelitian. Bukankah bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan hasil penelitian itu merupakan silogisme. Habermas tidak menolak bahwa untuk mencapai kebenaran ilmiah perlu dicapai konsensus untuk memetakan proses belajar manusia, tetapi ia menolak bahwa konsensus ini dapat dicapai dalam logika penelitian.
Komunikasi antarpeneliti ini berada di luar sistem acuan tindakan instrumental. Sistem acuan bagi konsensus intersubjektif itu, menurut Habermas, adalah tindakan komunikatif. Menurut Habermas, tindakan komunikatif akan menjadi akar pengetahuan yang menghasilkan ilmu-ilmu historis-hermeneutis.
Kepentingan Teknis Ilmu-ilmu Hostoris-Hermeneutis
Pada bagian ini, Habermas ingin menunjukkan hasil refleksi diri dari ilmu-ilmu budaya yang ditangani oleh Wilhelm Dilthey. Dilthey memandang tindakan instrumental yang merupakan wilayah pengelolaan ilmu-ilmu alam termasuk dalam konteks kehidupan. Konteks kehidupan inilah yang menjadi bidang kajian ilmu-ilmu budaya. Berbeda dengan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu budaya mengobjektivasikan pengalaman seutuhnya, tanpa pembatasan. Pengalaman itu lebih-lebih dialami dari dalam. Menurut Dilthey, perbedaan kedua kelompok ilmu itu terletak pada orientasi dari subjek pengetahuan: sikapnya terhadap objeknya. Perbedaan itu bukanlah perbedaan ontologis, melainkan perbedaan epistemologis.
Menurut Dilthey, teori dalam ilmu-ilmu budaya hanyalah merupakan wahana untuk membangkitkan kembali pengalaman secara reproduktif. Jika ilmu-ilmu alam meng-konstruksi pengalaman, yakni menyusun teori untuk mengantisipasi peristiwa alamiah, maka ilmu-ilmu budaya mentransposisi pengalaman, yaitu memindahkan objektivasi mental kembali ke dalam pengalaman reproduktif. Ilmu-ilmu budya bermaksud membangkitkan kembali pengalaman secara sama.
Dengan istilah Dilthey sendiri, metode ilmu-ilmu alam itu Eklaren (menjelaskan), sedang metode ilmu-ilmu budaya adalah verstehen (mengerti). Dengan verstehen kita terutama tidak ingin menerangkan hukum, melainkan ingin menemukan makna dari produk manusiawi, seperti sejarah, masyarakat, candi, dan interaksi.
Objek ilmu-ilmu budaya tidak terpisahdari subjeknya. Fakta kebudayaan tampak pada kesadaran sebagai sesuatu yang datang dari dalam subjek sendiri. Ini menunjukkan, ilmu-ilmu budaya berada di dalam kategori “pengalaman” (Erlebnis).
Pengalaman, ekspresi, dan pemahaman adalah tiga pokok penting yang menurut Dilthey menjadi pokok kajian ilmu-ilmu budaya. Ketiganya juga merupakan ciri ekstensial manusia sendiri dan merupakan satu-satunya cara untuk melukiskan manusia.
Menurut Dilthey, dalam ilmu-ilmu budaya, baik subjek maupun objek mempunyai kodrat yang sama, yaitu makhluk historis. Sebagai makhluk historis, manusia tidak terpaku pada keadaan hic et nunc. Ia dapat melampaui keterbatasan sejarahnya, karena itu ia bersifat transendental. Objektivitas dalam ilmu-ilmu budaya makin terjamin jika subjek makin mampu meninggalkan situasi sejarahnya sendiri.
Di sini Dilthey mengejar objektivitas sebagaimana dipahami ilmu-ilmu alam. Habermas mengatakan seharusnya Dilthey tidak mengejarobjektivitas untuk mencari kesahihan ilmu-ilmu budaya. Untuk tujuan Objektivitas itu, Dilthey memakai pengalaman, ekspresi, dan pemahaman sebagai metode hermeneutis.
Relasi kehidupan yang terintegrasi dalam pengalaman membentuk identitas ego. Identitas terbentuk bila ego menafsirkan makna bagi sejarah hidupnya sendiri. Menurut Dilthey, makna terungkap dalam struktur simbolis, dan karenanya tidak lagi merupakan makna privat, dan karena itu pula memiliki kesahihan intersubjektif. Pengalaman hidup seseorang dapat dikomunikasikan dengan pengalaman hidup orang lain dan membentuk pengalaman bersama. Dalam lingkup “bersama” itu juga kita memahami orang lain dalam objektivasinya, yaitu lewat produk budaya. Dalam hal ini pun, autobiografi pun berada pada taraf intersubjektif dan merupakan produk proses intersubjektif. Dasar dari intersubjektivitas ini adalah bahasa. Habermas mengatakan,
“Bahasa adalah dasar intersubjektivitas dan setiap orang harus sudah mulai dari bahasa sebelum ia dapat mengobjektivasikan dirinya sendiri dalam ungkapan hidupnya yang pertama, apakah itu lewat kata-kata, sikap atau tindakan.”
Melalui perantara bahasa, makna dialami bersama tidak hanya secara kognitif, tetapi juga afektif dan normatif.
Menurut Habermas, pemahaman hermeneutis atas makna berlawanan dengan pemahaman monologal atas makna yang dipraktikan ilmu-ilmu alam. Setiap proposisi teoretis merupakan rumusan pemahaman yang bersifat monologal. Setiap proposisi teoretis itu berbentuk bahasa yang telah diformalisasikan atau, katakanlah, bahasa “murni”. Dengan bahasa murni ini pula ilmuwan menyingkirkan interaksi simbolis yang biasanya terungkap dalam kata-kata. Interaksi simbolis ini dianggap bukan fakta. Menurut Habermas, justru pada bidang inilah hermeneutika bekerja.  Pemahaman hermeneutis menganggap interaksi simbolis sebagai fakta, dan pemahaman hermeneutis tidak memisahkan pernyataan tentang fakta dan fakta yang diamati. Menurut ungkapan Habermas sendiri, hermeneutika adalah bentuk pengalaman sekaligus analisis gramatikal. Pemahaman hermeneutis, menurut Habermas, terkait dengan kekuatan bahasa sehari-hari dalam mengungkapkan makna. Dari sini, Habermas ingin menunjukkan bagaimana pemahaman hermeneitis memahami makna atas produk budaya.
Dilthey menunjukkan bahwa konteks kehidupan konkret itu dapat diungkapkan melalui apa yang disebut “ekspresi kehidupan”, dan bahasa sehari-hari termasuk di dalamnya. Ekspresi kehidupan terdiri dari tiga macam, yaitu ekspresi linguistik, tindakan, dan ekspresi pengalaman. 
Menurut Habermas, untuk menafsirkan struktur bahasa sehari-hari, kita harus mengaitkan ketiga macam ekspresi kehidupan di atas secara integral. Karena komunikai dalam bahasa sehari-hari tak pernah terpisahkan dari interaksi ataupun ekspresi pengalaman. Dalam kehidupan sehari-hari jika tindakan dan bahasa ini kurang memadai, kita akan memakai ekspresi pengalaman. Dengan demikian, bahasa sehari-hari bukanlah sintaksis lengkap seperti bahasa murni. Sintaksisnya dilengkapi dengan interaksi dan ekspresi pengalaman. Oleh Habermas sifat ini disebut “refleksivitas”.

Refleksivitas tidak terdapat pada bahasa murni karena bahasa yang diformalisasikan hanya mampu merumuskan kenyataan secara padat lewat bahasa itu sendiri. Bahasa ini justru menyingkirkan dimensi nonverbal. Jika dimensi nonverbal ini dilenyapkan, maka bahasa sehari-hari menjadi fragmentasi dan tak dapat ditafsirkan secara hermeneutis. Tugas hermeneutika, menurut Habermas, adalah menafsirkan refleksivitas ini.
Jika pemahaman hermeneutis sebagai metode ilmu-ilmu budaya dapat memperoleh kemajuan dengan mengaitkan bahasa dan praxis, analisis bahasa dan pengalaman, lingkaran hermeneutis itu sejajar dengan proses belajar kumulatif dari logika penelitian Pierce. Karena dengan lingkaran hermeneutis itu diperoleh pemahaman baru tentang kenyataan sosiohistoris. Seperti logika Pierce, dalam hal ini pun tampak jelas bahwa hermeneutika berakar pada konteks kehidupan praktis manusia.
Seperti Pierce, Dilthey juga tidak berhasil memahami objektivitas dalam konteks kepentingan kognitif. Menurut Habermas, meskipun mereka menunjukkan keterkaitan ilmu pengetahuan dengan konteks kehidupan konkret, mereka tetap cenderung jatuh pada objektivisme positivistik.
Kepentingan Emansipatoris Ilmu-ilmu Kritis
Di sini Habermas berbicara tentang bentuk pengetahuan yang mendasari bentuk pengetahuan tentang alam maupun tentang masyarakat, yakni bentuk pengetahuan tentang  proses pembentukan-diri kita sebagai makhluk individual dan makhluk sosiohistoris. Bentuk pengetahuan ini hanya dicapai lewat refleksi atas proses pembentukan-diri itu dan dengan cara itu pengetahuan reflektif itu bersifat emansipatoris. Karena itu, proses refleksi-diri ini dibimbing oleh kepentingan kognitif ketiga yang disebut “kepentingan emansipatoris”.
Kepentingan emansipatoris bersifat derivatif dan mendasar. Untuk menguraikan kepentingan emansipatoris, Habermas mengambil kelompok ilmu lain yang sebenarnya belum dikembangkan secara memadai, yaitu apa yang disebut “ilmu-ilmu kritis”.
Habermas membangun dua tahap pembahasan, yaitu mengenai kesatuan pengetahuan dan kepentingan emasipatoris dalam refleksi-diri, dan psikoanalisis dalam pandangan Habermas menjadi kritik atau refleksi-diri metodis.
- Kesatuan Rasio dan Kepentingan dalam Refleksi-Diri
Habermas memahami pencerahan sebagai usaha keras dari rasio untuk membebaskan dirinya dari mitos yang terjadi sepanjang sejarah pemikiran, maka tidak terbatas hanya pada masa Aufklarung. Dalam Filsafat Kant, menurut Habermas, kepentingan rasio dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan dengan eksistensi kita karena suatu kepentingan mengungkapkan kaitan antara objek kepentingan itu dengan kemampuan kehendak kita. Secara umum, kepentingan adalah kepuasan yang kita hubungkan dengan suatu objek atau suatu tindakan. Suatu kepentingan mengandaikan adanya suatu kebutuhan dan sebaliknya, menghasilkan suatu kebutuhan. Kepentingan yang dimaksudkan Habermas, adalah kepentingan konstitutif-pengetahuan.
Tindakan mengubah hidup adalah tindakan emansipatoris. Karena dalam refleksi-diri, kesadaran dan tindakan emansipatoris itu menyatu, maka dalam kegiatan refleksi, rasio kita langsung menjadi praktis. Habermas menulis, “refleksi-diri adalah intuisi sekaligus emansipasi, pembebasan dari ketergantungan dogmatis”.
Dengan demikian, refleksi-diri adalah kegiatan kognitif yang memuat kekuatan emansipatoris karena kegiatan ini didorong oleh kepentingan yang inheren dalam rasio kita sendiri, aykni kepentingan emansipatoris. Habermas mengungkapkan, “... dalam kekuatan refleksi-diri, pengetahuan dan kepentingan adalah satu”.
- Psikoanalisis sebagai kritik dan Kritik Ideologi Marx
Kepentigan emansipatoris, pada taraf metodologis, membimbing seluruh refleksi sistematis, termasuk filsafat, serta apa yang disebut Habermas “ilmu-ilmu kritis”. Tujuan ilmu-ilmu kritis itu adalah memudahkan proses refleksi-diri manusia sebagai makhluk sosial maupun individual. Dalam konsepsi Habermas, ilmu-ilmu kritis ini menyatukan kepentingan teknis dan praktis dari kedua kelompok ilmiah lain dalam satu kerangka kerja, sesuai dengan sifat dasariah dari kepentingan emansipatoris. Di sini, ilmu-ilmu kritis hermeneutika interaksi, membeku menjadi penindasan yang menghambat proses pembentukan-diri. Yang oleh Habermas ditunjuk seagai contoh nyata dari ilmu yang menjadian refleksi-diri sebagai metod adalah psikoanalisis Freud dan kritik ideologi Marx.

Bacalah lebih lanjut uraian dan penjelasan Hubermas dalam Kritik Ideologi tulisan F. Budi Hardiman, dengan penerbit Kanisius. Buku ini sangat disarankan untuk mengantarkan Anda ke Teori Kritis.

0 comments:

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com