Beauty Sunrise

Ulat Sumeh Agawe Renaning Wong Akeh.

Rapuhnya tiang saka Kraton

Orang yang SABAR itu memiliki pengetahuan yang luas adalah orang yang tidak akan terombang-ambing oleh keadaan.

Good Morning Flamingo

Lakonana Disik Dadi lan Becike.

Pagar Keraton

Sejatinya itu tidak ada apa-apa, yang ada itu bukan.

Red Sunset

PERCAYA itu ibarat tali yang menghubungkan Tuhan Yang Maha Esa kepada umatnya.

Wednesday, September 23, 2015

Blitz-Craftmanship: Mengapa kemampuan estetik adalah hal yang paling dicemooh pada hari ini

by lukman wijaya b

Mereka pikir inovasi teknologi secara niscaya adalah evolusi pengetahuan yang tidak boleh di tolak dan akan menggantikan jenis pengetahuan sebelumnya. Wah…ini keterlaluan. Dahulu, fotografi berambisi mengambil alih peran lukisan, wujud pertama yang dicemooh adalah para pelukis realis. Seiring dengan kemampuan teknis industri yang berkembang, fotografer belajar teknik yang diciptakan pabrik kamera dan komputer untuk lebih memperluas kemampuan teknisnya merebut gaya impresionis dan kubistik dari lukisan. Bagaimana dengan Surrealis? Mereka lahir karena belajar juxtaposisi dari mekanika kamera daripada estetika. Kemampuan estetik yang diklaim, justru telah terdapat pada lukisan dan tulisan, jauh pada era sebelumnya. Lihat saja statement Breton jika tidak percaya.

Menarik memang semua ini, efeknya melebar sampai dengan tampilan mengejutkan para penonton sinema. Tetapi orisinalitas lukisan dan ketakziman dihadapan kualitas estetik individu tetap belum pudar, belum terpatahkan. Meski telah diproklamasikan kejatuhan estetikanya lewat kemunculan peran antagonis Warhol dan Cameron.

Dibalik upaya gagal yang tidak diproklamirkan tersebut, fotografi dan sinema mungkin masih cukup nyaman apabila berpikir tentang dirinya sebagai jurnalisme, daripada masuk kedalam jurang tanpa dasar estetika, ehmm…saya teringat Capa. Dari rasa minder sebagian pengikutnya karena merasa gagal, hal demikian yang coba di eksploitasi lebih jauh oleh Banks melalui visual analysis. Seperti kelahirannya yang dididik dengan salah sehingga penuh dendam terhadap lukisan. Kini pendidikan yang salah kembali di ulang, fotografi dan sinema harus membenci tulisan. Memberikan tempat sekunder kepada tulisan sebagaimana dulu fotografi, katanya, diperlakukan demikian. Bahkan jika perlu, menggantikan tulisan dengan sinema. Hasil akhirnya meminta sebuah keahlian yang sulit dicapai seperti melukis dan menulis coba diganti hanya dengan kehandalan dalam memencet tombol dan membiarkan mesin bekerja. Kun faya kun, karya luar biasa tercipta, bahkan sebelum mata berkedip selesai membuka kelopak.

Mungkin benar apabila selama ini hanya terdapat sedikit pengakuan terhadap mereka yang pantas disebut sebagai fotografer dan sutradara melalui rangkaian acara megah dan bombastis. Namun bukankah lebih baik apabila mencurigai event semacam itu adalah upaya pabrik kamera untuk mempromosikan alat mereka, teknik visual effect mereka. Sedangkan persoalan keahlian individu seperti “pelukis”, dihargai tidak lebih “sebagai buruh yang mencetak sepatu”. Eeh..apa anda bilang, “Van Gogh mencetak sepatu”…. anda belajar estetika dimana!??? Datangi saja seminar, pelatihan, atau pameran fotografi, pertanyaan dari peserta atau pengunjungnya adalah, “apa merk kamera yang dipakai?”, “apa tele yang dipakai?”. Terakhir, yang paling konyol, saat berbisik dengan temannya atau narasumber pelatihan, “beli kamera dan tele-nya dimana, berapa harganya?”.

Lagipula siapa hari ini yang tidak membawa kamera apabila keluar rumah, yang tidak memencet tombol untuk mencintai wajahnya sendiri yang jelek. Boleh saja menjadikan kamera memiliki kualitas representasi. Tapi metode pengajaran anda penuh dendam terhadap pelukis dan penulis yang justru memiliki kekuatan representasinya sendiri, terpisah dari apa yang dapat dilakukan oleh jari dan mata yang menempel kamera. Teknik massa ini lebih menunjukan kemampuan sarana produksi hari ini dan kemampuan masyarakat dalam mengkonsumsi. Sehingga degradasinya sebagai sebuah keahlian khusus mustahil terulang seperti pada awal abad 20 dimana kamera adalah deus ex machina, kamera adalah sebuah keahlian klerus di studio. Kamera bagaimanapun juga masih lebih kuat dan berarti bagi siapapun yang memegang dan mengoperasionalkannya apabila meletakkan makna dokumenter pada karyanya. Melalui sebuah kesaksian; menanggung beban agar materi, pengalaman, dan peristiwa tetap awet; bukan demi karya itu sendiri namun demi sesuatu diluar karya itu. Darinya dia akan menyadari hutangnya pada prespektif pelukis; darinya dia akan menyadari masih membutuhkan tulisan meski gambar mampu menampilkan peristiwa namun tulisan yang memberikan logika atau dialektika (ingat film bisu dan era ketika berita harus ditonton di gedung bioskop). Karena jika berharap dirinya hadir sebagai sepenuhnya estetika dan keahlian khusus, derajatnya dapat jatuh serendah mungkin kedalam kemampuan massa untuk dapat memproduksi hal yang sama. Bukan karena kemampuan estetika massa itu sendiri, namun karena produk yang konsumen pegang memang memiliki spesifikasi pabrik yang cukup baik. Jadi kalau dipikir ulang kasihan juga si Man Ray, betapa estetikanya kini terlihat lucu dan naïf. Bisa jadi dia akan sangat jengkel dengan remaja jaman sekarang, bergigi tongos dan pakai kawat suka iseng otak-atik gambar lewat corel. Atau orang mencoba berbangga ketika mengetahui yang membuat kartun Ipin Upin adalah orang Indonesia. Kebanggaanya disatu sisi adalah mengimbangi rasa minder dengan kartun produksi Disney, disisi lain kebanggaannya tidak mencermati tentang era kemunculannya; kenapa baru sekarang, kenapa tidak sejak awal abad 20 seperti Disney? Karena kebanggaannya tidak memperdulikan bahwa teknologi penciptaan image kartun telah menjadi massal dan kompak sekaligus mudah diakses oleh perusahaan manapun, biaya dan waktu yang dipakai lebih murah dibanding era Mickey Mouse hitam putih. Jadi sebenarnya kebanggaan tersebut karena apa? Karena syarat produksi telah memungkinkan atau mengobati rasa minder?

Suatu ketika Van Gogh pernah bercerita saat catnya habis dan tidak memiliki uang untuk membeli, “hanya dengan gagang kayu sebuah sapu, seniman mampu menghasilkan karya”. Tetapi hari ini tanpa kamera dan lensa yang handal, anda sulit dan mustahil menghasilkan sesuatu yang layak disebut karya. Jika diperkenankan, saya mengulang gerutu seorang teman: “Menjadi pelukis jauh lebih mudah daripada menjadi fotografer, karena anda tidak harus sangat kaya untuk membeli alatnya. Namun menjadi pelukis juga jauh lebih sulit dibanding dengan menjadi fotografer yang keahliannya dapat diasah selama beberapa hari saja, lewat seminar, lewat pelatihan”. Benarkah hal demikian dapat terjadi, mungkin saja…. ketika kondisinya tepat.

Friday, September 18, 2015

Kereta Jawa Bergoyang

by pandu pramudita

Terik matahari menerjang jatuh ke bumi sisi selatan pulau Jawa. Terpaan angin mendayu-dayu pohon kelapa yang berjejalan berdiri menjulang. Wilayah pesisir dari kota yang memiliki bedug terbesar di dunia. Bedug, entah simbol apakah itu, apakah itu adalah simbol dari agama Islam yang menyebar di wilayah ini namun jika dirunut, apakah benar, Islam yang di bawa dari dunia lain itu memiliki alat bunyi bernama bedug? Ataukah itu mungkin simbol dari Jawa, namun dari klonengan Jawa, yang biasa di sebut karawitan, alat bunyi yang bernama bedug tersebut ternyata tidak ada dalam rangkaiannya. Atau jangan-jangan itu adalah simbol dari negara Cina, yang jika diamati dalam kondisi perang, biasanya pasukan dari Cina akan diberi aba-aba dari sebuah alat bunyi yang mirip seperti bedug. Namun, hari ini, nama bedug tidak dibunyikan sebagai sebuah alat bunyi tetapi sebagai penanda waktu, tengah hari.

Angin sepoi-sepoi meriuh di telinga, melambai pada hamparan pari yang masih hijau, menemani kulit yang dibelai pula terik mentari. Payung tergelar, berwarna hijau berbunga. Bunga yang bukan dalam arti gambar motif, tetapi dalam arti sebenarnya. Dijunjung oleh seseorang, menghalangi terik cahaya yang jatuh dari langit, sebuah “kereta Jawa” tersunggi dalam pundak empat orang yang berdiri di masing-masing sudut kereta berselimut hijau berenda kuning. Nampak, warga berkumpul yang mulai berdiri pada kedua kaki mereka, mengelilingi “kereta Jawa” itu, yang siap di depan rumah penumpangnya akan diberangkatkan. Terlihat di dalam rumah, seorang wanita berbaju hitam terisak-isak dengan ditemani beberapa wanita menuntun masuk ke dalam sisi ruang lainnya dari ruang paling depan. Sedang para warga lainnya tetap berdiri, kecuali mereka yang berada di barisan paling belakang, mungkin tidak dapat melihat kereta Jawa yang akan diberangkatkan, kemudian mereka hanya duduk. Inilah suasana duka, permulaan dunia lain dari sisi dunia yang penuh gemerlap kegiatan ekonomi, beralih ke dalam sisi dunia yang entah bagaimana bentuknya dan keadaanya. Kereta Jawa, itulah sebutan bagi keranda yang ditumpangi oleh jenazah yang diselimuti kain hijau dan dipanggul oleh empat orang di setiap pojoknya. Tersungginya keranda berarti telah memberikan tanda bahwa jenazah siap diberangkatkan ke rumah peristirahatan terakhir manusia, istirahat untuk selama-lamanya dan tidak akan terbangun lagi dari tidur panjangnya.

Prosesi pemberangkatan jenazah telah dimulai. Kereta Jawa telah siap dipanggul, pembawa acara mulai berkata-kata mengawali acara pemberangkatan. Salam bagi warga yang datang diucapkan untuk memulai perkataan selanjutnya. Prosesi pemberangkatan ini adalah ucapan-ucapan atau sambutan-sambutan baik dari warga maupun dari keluarga yang bertujuan untuk mendoakan si jenazah. Pada waktu itu, si jenazah adalah seorang pensiunan dari pegawai negeri, sehingga salah seorang perwakilan dari PWRI turut mengucapkan sambutan. Sebuah perangkat sound system dipersiapkan untuk menyediakan ruang bagi warga yang ingin menyampaiakan doa mereka untuk si jenazah dan keluarga. Seselesainya orang tua yang mewakili PWRI itu menyampaikan sambutannya, perwakilan keluarga kemudian diminta untuk memberikan sambutan, menyampaikan terima kasih kepada warga yang telah datang dan mengucapkan permintaan maaf dari pihak keluarga.

Suara-suara tua, berbahasa Jawa halus, lantunan yang mendayu-dayu, terasa lama untuk ditunggu sebelum langkah pertama dimulai. Namun, keranda telah terpanggungl, dikerumuni oleh warga yang berdiri memberikan penghormatan terakhir mereka. Dari sisi belakang terlihat, bahwa keranda itu bergoyang-goyang kecil, dan dalam satu waktu arah keranda itu berubah, menyerong meski tidak banyak tetapi cukup terlihat. Apakah si jenazah bangkit lagi dan mulai bernafas kembali? Bukan. Lamanya sambutan yang harus didengarkan hingga selesai, waktu akan semakin terluru, tetapi keranda harus tetap tersunggi. Meskipun telah terpanggul di pundak, bukan berarti pundak adalah sebuah batu atau tiang yang akan tetap kokoh berdiri. Linu pun akan mulai terasa setelah beberapa waktu. Banyak warga yang berdiri di sekitar keranda silih berganti memanggul ke empat sudut keranda. Tidak hanya sekedar ingin memikul keranda, mereka pun juga terlihat berdebat kecil agar untuk memilih lawan memanggul dengan ketinggian pundak yang sama. Mungkin agar keranda tetap datar atau mungkin juga, jika ada yang menjunjung keranda lebih tinggi maka yang memanggul lebih rendah akan merasakan lebih berat.

Sambutan masih berlanjut, keranda sekali waktu tetap bergoyang kecil saat sudut-sudut bernyawa silih berganti. Wujud penghormatankah bagi mereka yang ingin silih berganti memikul kereta Jawa itu? Apakah mereka adalah saudara atau keturunan dari si jenazah? Atau mungkinkah mereka saling bertoleransi bagi pemikul, agar tidak merasakan beratnya beban yang mereka pikul? Sebuah keunikan yang terjalin pada sesama warga di daerah pedesaan saat sebuah prosesi pemberangkatan jenazah dilakukan. Saling silih berganti memikul beban yang berat, atau bersama-sama memikul beban, sehingga beban tidak hanya dibebankan oleh salah seorang saja, jikapun beban itu terasa, mereka ingin merasakan beban itu silih berganti, agar beban yang dirasakan tidak terlalu lama. Apakah ini yang disebut dengan gotong royong?

Untuk Sidkhi: Calon Seniman Lukis Legendaris Purworejo

by pandu pramudita

I. Aku menolak Kematian

L'Origine du Monde
Gustave Courbet
1866
Oil on canvas
46 cm x 55 cm

Sebuah karya lukis dari Gustave Courbet seorang pelukis dari Prancis yang berjudul “Asal-muasal Dunia”, menunjukkan sepotong tubuh wanita telanjang dengan posisi tidur dan paha yang membuka memperlihatkan bagian vulva dengan hiasan rambut kemaluan yang hitam, terbaring dalam selimut putih dengan bagian dada sedikit tertutupi selimut itu meski masih terlihat puting yang memerah. Bercerita bahwa “manusia yang membentuk dunia ini, menjalankan sebuah sistem kemasyarakatan, membentuk pengetahuan-pengetahuan, adalah tidak lain berasal dari sebuah lubang yang tidak lebih lebar dari jari telunjuk manusia dewasa. Seberapapun besarnya manusia itu, mereka hanya akan muncul dari lubang yang dikenal sebagai vulva.” Pertanyaannya adalah, siapa yang bercerita seperti itu? Apakah Coubert sang pelukis L'Origine du Monde? Atau wanita telanjang sepotong itu? Bukan, cerita itu berasal dari saya sendiri. Jadi apakah saya salah dalam menceritakan lukisan itu? Tidak sepenuhnya salah dan tidak juga sepenuhnya benar.

Kematian Sang Pengarang

Kemunculan si pengarang adalah bagian dari mempertunjukkan diri dalam sebuah prestise modern dimana karya intelektualnya akan dipahami sebagai miliknya. Sepertihalnya lukisan L'Origine du Monde, dimana Coubert menunjukkan dirinya pada dunia bahwa dia memiliki pemikiran mengenai asal muasal dunia dengan lukisan seorang wanita sepotong telanjang dengan fokus pada vulvanya. Sudah pasti, bahwa Coubert memiliki sebuah pengetahuan yang ingin ia sampaikan kepada orang lain, dan pengetahuan itu memiliki penjelasan dalam bentuk deskripsi dan narasi di balik lukisan L'Origine du Monde itu. Dalam sebuah lukisan, akan sangat jarang teks (dalam arti simbol huruf), bahkan tidak ada sama sekali, tertera dalam lukisan, sehingga apa yang dibaca oleh orang lain tidak lain hanya sebuah visual. Oleh sebab itu, seorang pembaca akan memberikan interpretasinya atau menarik pemaknaan mengenai lukisan dari pengetahuan yang dia miliki saat itu. Semakin luas pengetahuan yang dimiliki si pembaca maka akan semakin banyak juga penjelasan yang dapat ia ungkapkan dari melihat karya si pengarang. Dan hal ini berlaku sebaliknya. Dalam hal ini, si pembaca dengan si pengarang terjadi ketika mereka terpisah.

Lalu apa yang memisahkan mereka? Tidak lain adalah karya itu sendiri. Sebelum L'Origine du Monde itu muncul dalam lukisan, konsep itu dimiliki seutuhnya oleh Coubert dalam benaknya. Namun ketika L'Origine du Monde menjadi material (benda yang dapat diinderawi) sebagai lukisan, maka material itu sudah keluar dari dirinya. Ini yang oleh Roland Barthes, bahwa pengarang menghadapi kematiannya. Kematian Sang Pengarang, dalam pandangan Barthes itu mengungkapkan bahwa, sebuah karya akan dengan bebas diterjemahkan oleh pembaca dalam rangkaian narasinya, sedang si pengarang pada waktu itu sudah dianggap mati. Mungkin mati dalam arti sebenarnya, tetapi “mati” disini diartikan bahwa sesungguhnya pemaknaan karya terletak pada pembaca karya itu. Sedang si pembaca bukan berarti mereka memiliki kebenaran dalam pemaknaan karya, tetapi sesungguhnya pembaca hanya mengada. Mengada dalam hal ini bukan karena pembaca “asal” (dalam bahasa Jawa, ngawur) tapi pembaca memiliki, yang oleh Hegel disebut pra-persepsi, dimana hal yang dibaca adalah material-material yang melekat pada objek dan dihubungkan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca. Lalu, apakah pengarang harus melawan pembaca dengan cara terus-menerus menarasikan karyanya?

Suatu ketika, pengarangpun juga akan mati dalam arti sesungguhnya, sedang pembaca akan selalu bermunculan dalam rentan waktu sepanjang karya itu masih ada. Sudah barang tentu Coubert itu sudah mati, tetapi karyanya itu masih ada, dapat saya indera, dan kemudian saya mengada dengan narasi yang saya bangun mengenai L'Origine du Monde itu. Meskipun pada satu kesempatan yang masih tersisa si pengarang membuat sebuah narasi tertulis, bukan berarti itu juga akan menjadi narasi tunggal, bisa jadi narasi itu akan dimusnahkan dan tak dianggap oleh pembaca. Lalu, apakah nasib pengarang hanya akan “dibuang” oleh zaman?

Pendidikan Masyarakat

Karya adalah sebuah bentuk material pengetahuan yang disajikan oleh pengarangnya. Berbagai karya itu muncul dalam masyarakat yang berjalan secara fungsional maupun estetika. Baik itu fungsional maupun estetika, pengetahuan adalah hal yang utama yang ingin pengarang sampaikan kepada pembaca karya-karyanya. Dalam hal ini, pengarang telah menyususn sebuah narasi panjang di balik karyanya, yaitu pengetahuan yang ingin disampaikan oleh para pembaca. Tetapi, narasi itu bukanlah sebuah penceritaan ulang karya. Pengetahuan yang Coubert sampaikan bukan ketika Coubert menceritakan L'Origine du Monde. Jika itu terjadi, justru Coubert pada saat itu tidak lagi sebagai si pengarang tapi berubah menjadi si pembaca. Sebagai si pengarang, yang dilakukan oleh Coubert adalah memberikan pengetahuan bagi calon-calon pembaca karyanya, khususnya L'Origine du Monde, mengenai dunia, manusia, feminisme, ataupun seksualitas.

Hal yang dapat dilakukan oleh pengarang untuk menepis kematiannya adalah memberikan pengetahuan yang dimilikinya kepada calon-calon pembaca. Sehingga, apa yang dibaca oleh pembaca akan sedikit-banyak seperti apa yang disampaikan oleh pengarang dalam karyanya. Reinkarnasi si pengarang adalah terletak pada bagaimana pembaca dapat mengerti dan atau memahami pengetahuan yang pengarang sampaikan. Pada waktu itu sudah pasti pengarang sudah mati, hanya pembaca jugalah yang dapat menghidupkan mereka kembali dengan dapat menggali apa pengetahuan dibalik hasil karya. Sangat penting bahwa si pengarang setelah ataupun sebelum memunculkan karyanya, mempersiapkan pembaca-pembaca karyanya. Apalah arti jika karya itu hanyalah sebagai “ornamen” sampingan dalam tata ruang yang estetis maupun fungsional. Baik sebagai karya estetis maupun fungsional, hanya akan berarti sejauh karya itu menyajikan sebuah pengetahuan dalam kehadirannya di dalam tata ruang.

Mempersiapkan pembaca adalah bagian dari tindakan, yaitu mengenai pendidikan masyarakat. Paulo Friere mengatakan, bahwa “dalam pemikiran dialektis, dunia dan tindakan adalah dua hal yang saling berkait satu sama lain. Tetapi tindakan hanya manusiawi jika ia bukan semata-mata sebuah pekerjaan rutin tetapi juga merupakan suatu perenungan yang mendalam, yakni bila ia tidak dibedakan secara dikotomis (terpisah) dari refleksi.” Dalam dunia ideologi, lukisan itu hanyalah sebatas karya, sedang tindakannya adalah menyampaikan pengetahuan yang tersirat dalam karya itu dengan narasi yang sama ketika membangun lukisan itu. Sudah barang tentu, sebelum pelukis menggoreskan cat-cat berwarna dalam kain kanvas, narasi sebuah masyarakat dibangun dalam benaknya, sedang komposisi warna yang membentuk sebuah objek adalah media yang akan menyimpan pengetahuannya secara estetis. Sedangkan, apa yang disampaikan kepada masyarakat bukan lukisan hasil karyanya, tetapi justru narasi yang dibangunnya itu. Lukisan itu adalah sebuah refleksi antara dunia dan tindakan. Artinya, lukisan tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan yang membangunnya dengan kewajiban penyampaian pengetahuan tersebut kepada masyarakat.


II. Antara (Aku) Ada dan Tiada

Seorang makhluk gua suatu hari menyalakan api di dalam gua. Ketika dia menengok ke belakang, dia melihat sosok hitam tinggi besar. Tapi ketika dia perhatikan betul, sosok itu tidak bergerak sama sekali. Dan dia terkaget ketika justru dia bergerak, sosok hitam besar itu juga bergerak. Lalu ia berusaha mendekati sosok itu, tapi yang terjadi sosok itu malah mengecil hingga tidak tampak seiring gelapnya gua. Ia pun kembali ke sumber api itu dan sosok itu kembali menjadi besar. Kemudian dia tersadar bahwa sosok itu adalah bayangannya sendiri. Namun dia menjadi bertanya-tanya, “jika sosok itu adalah aku, jadi aku yang sebenarnya apakah badan ini, bayangan itu, atau api ini?

Fenomenologi

Di atas adalah gambaran garis besar dari pemikiran Plato mengenai “Manusia Gua” yang menjelaskan gagasannya mengenai “ide”, bahwa dunia itu berpusat pada pikiran manusia. Gagasan Plato tentang ide ini kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes ketika dia mempertanyakan tentang keber-ada-an, apakah dirinya itu sungguh-sungguh nyata ada di dunia ini atau hanyalah bayangan dari skenario ilahi. Sebuah kalimat yang tidak asing mengenai gagasannya berbunyi “Cogito ergo Sum” yang artinya “Aku berpikir maka Aku ada”. Letak keber-ada-an manusia adalah pada kesadaran atau cogito, yaitu ketika manusia berpikir maka saat itu juga dia akan meyakini bahwa dirinya nyata di dunia ini. Namun demikian, pemikiran Descartes ini dibawa secara radikal oleh Edmund Husserl, dimana dia menyangkal mengenai gagasan Descartes. Menurut Husserl, kesadaran yang dijelaskan di dalam cogito ergo sum Descartes itu masih pada taraf kesadaran tertutup. Bagi Husserl bahwa kesadaran itu pasti terhadap sesuatu, jadi manusia itu tidak hanya berpikir, tetapi juga ada sesuatu yang dipikirkannya, suatu objek. Dalam cogito ergo sum, Husserl menjelaskannya bahwa aku berpikir mengenai pikirannya itu sendiri. Aku yang sedang berpikir adalah kesadaran subjek, sedang mengenai pikiran yang sedang dipikirkan itu adalah kesadaran objek. Kita tidak mungkin memikirkan tanpa ada objeknya, pasti ada sesuatu yang dipikirkan.

Kesadaran adalah kunci dari keber-ada-an diri di dalam dunia ini. Aku ada karena aku berpikir, sedang kesadaran itu pasti terhadap sesuatu. Manusia selalu mencari-cari tentang keber-ada-an dirinya, yaitu mengenal dirinya dari objek-objek yang mampu dia masukkan ke dalam kesadarannya. Misalnya, kain kanvas dan cat-cat warna adalah bagian dari hidupku karena aku adalah seorang pelukis. Namun demikian, mencapai kesadaran itu tidak kemudian datang dengan semena-mena. Di dalamnya terdapat suatu penundaan atau epoche, yaitu sebuah refleksi diri mengenai objek yang dipikirkannya itu. Penundaan ini terjadi karena pada dasarnya objek telah memiliki sebuah makna yang dipahami oleh khalayak umum. Misal, kain kanvas itu adalah media lukis sedang cat dan kua adalah bahan utama untuk bervisualisasi. Setelah ada makna umum itu, sebagai seorang pelukis yang tidak dapat bekerja ketika tidak ada hal-hal itu maka dia memaknai bahwa kanvas, cat, dan kuas adalah bagian dari kehidupannya, karena tanpa itu dia tidak dapat memvisualisasikan apa yang ada di benaknya.

Eksistensialisme

Fokus eksistensialisme tidak jauh berbeda dengan fenomenologi, karena Jean Paul Sartre, yang mengemukakan tentang pandangan ini juga berawal dari fenomenologi. Eksistensialisme juga mengemukakan mengenai keber-ada-an dan kenyataan. Hal yang ditekankan dalam eksistensialisme Sartre adalah mengenai dua hal, esensi dan eksistensi, lebih khususnya dia memandang bahwa eksistensi mendahului esensi. Apa itu eksistensi dan esensi? Esensi biasa dijelaskan dengan hakekat, definisi, sifat, ide, fungsi, yang muncul dari benak manusia, sedang eksistensi adalah bentuk material. Pada awalnya, esensi itu mendahului eksistensi, seperti sebelum adanya sebuah benda yang namanya “kuas”, pelukis memikirkan sesuatu hal yang dapat menjadi medianya untuk mengambil warna dan memoles-moleskan, digunakan dengan mudah dan praktis, maka terciptalah sesuatu yang berbentuk batang dengan ujung yang berserabut yang disebut dengan kuas. Namun, setelah ada kuas itu, si pencipta tidak akan terus-menerus memertahankan esensi itu dengan hukum dan aturan yang ketat yang akan mengenakan sanksi pada setiap pemakai yang membuat esensi baru dari kuas. Sebaliknya, bahwa eksistensi kuas itu akan tetap, dimana benda itu dapat dengan mudah dibuat atau dicari di toko-toko. Di saat itulah esensi dari kuas akan beraneka ragam. Bagi seorang pedagang, kuas itu adalah barang dagangan yang dapat menghasilkan uang, namun bagi pelukis, kuas itu adalah bagian mediasi dari inspirasinya. Oleh sebab itu, eksistensi itu mendahului esensi.

Tidak juga jauh dari pemikiran Sartre dan Husserl, Martin Heidegger juga berpikiran mengenai fenomenologi dan eksistensialisme. Pandangan Heidegger memfokuskan pada “Yang ADA”. “Ada” (selalu dengan huruf besar) merupakan syarat awal atau dasar yang memungkinkan segala sesuatu “yang lain” menjadi ada. Heidegger menyebut “yang lain” sebagai “ada atau pengada” (selalu dengan huruf kecil). Kita mengetahui yang Ada itu melalui pengada-pengadanya. Lawan dari Ada adalah Ketiadaan. Dicontohkan dengan Sinar, bahwa dengan sinar kita dapat melihat kerbau, rumput, pohon, belalang, awan, langit, dan material-material yang muncul di sekitar kita. Tapi sebaliknya, tanpa sinar, kita tidak dapat melihat apapun, semua menjadi gelap, kosong. Lalu, sebenarnya apa itu eksistensi dan Ada? Jawabannya sesungguhnya cukup sederhana, yaitu aku, kamu, dia, kita, mereka, kalian, ialah manusia yang mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Manusia itu juga termasuk pengada, tetapi pengada yang khusus, yang dimungkinkan sekali menjadi Ada. Heidegger mengatakan bahwa manusia itu memiliki kemampuan untuk mengangkat permasalahan-permasalahan yang berarti manusia mempunyai hubungan khusus dengan mereka (permasalahan-permasalahan itu) dan dengan cara tertentu mempunyai cara untuk menjawabnya. Dalam eksistensialisme Heidegger, manusia bukan mengukuhkan eksitensi pengada lainnya, tetapi justru sebagai usaha untuk menyingkap eksistensi dirinya sendiri. Memahami permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar adalah sebuah usaha memahami diri kita sendiri, siapakah diri kita. Sedangkan bagi manusia yang gagal dalam memahami eksistensinya, mereka akan mengalami yang disebut Heidegger sebagai Keterlemparan.

Self Portrait with Jewish Identity Card
Felix Nussbaum
1943
Oil on canvas
56 cm x 49 cm
Auschwitz / Prisoner
Felix Nussbaum
1944
Oil on canvas
47 cm x 42,5 cm

Felix Nussbaum, seorang pelukis jerman yang hidup sebagai salah seorang Yahudi. Dua karya Nussbaum yang terkenal yaitu Self Portrait with Jewish Identity Card dan Auschwitz. Lukisan yang berujudul Self Portrait with Jewish Identity Card memberikan pengetahuan pada zaman itu kebebasan beragama sangat nyata, sedang Nussbaum telah menemukan eksistensinya sebagai seorang Yahudi. Lukisan yang berjudul Auschwitz atau Prisoner – mungkin sebelum kematiannya, Nussbaum belum memberikan judul, sehingga kepastian judul tidak dapat dipastikan, Auschwitz adalah nama tempat dimana ia ditahan (en.wikipedia.org) sedang Prisoner adalah tahanan (the-athenaeum.org), namun keduanya saya yakin menceritakan hal sama meski memiliki spirit yang berbeda – adalah karya terakhirnya sebelum ia dibunuh di Auschwitz Camp seminggu setelah lukisan itu selesai. Lukisan ini dipercaya sebagai lukisan eksistensialisme (huffingtonpost.com). Dia melukis pada saat berkembang-nya paham Nazi di Jerman. Dia harus melarikan diri dari kejaran tentara Jerman. Alasannya sederhana, Nussbaum adalah seorang Yahudi. Sebagai catatan sejarah terburuk, Nazi adalah yang bertanggung jawab terbunuhnya beribu nyawa Yahudi. Dalam lukisan Auschwitz beberapa mengatakan lukisan itu menceritakan bagaimana kondisi bencana luar biasa, yaitu bencana sosial (english.illinois.edu). Dalam pandangan eksistensialisme bahwa Nussbaum menderita karena eksistensinya sebagai seorang Yahudi, karena eksistensinya yang justru membuatnya ditangkap, ditahan di Auschwitz Camp dan dibunuh oleh tentara Nazi. Pada lukisan Nussbaum di sebelah kiri, yang berjudul Self Portrait with Jewish Identity Card, bahwa Nussbaum sedang bercerita bahwa dia bangga akan eksistensinya sebagai seorang Yahudi, namun menjadi hal yang berbeda pada lukisan yang berjudul Auschwitz, dimana nampak Nussbaum mengalami Keterlemparannya dari dunia.

III. Sedikit Mengenai Diri
Psikoanalisis

Terkadang kita lupa dengan diri kita, atau justru tidak mengetahui diri kita sama sekali. Apa yang kita ketahui hanyalah tindakan yang dapat kita lakukan, sedangkan orang lain mengenali diri kita dari tindakan yang kita lakukan itu. Oleh sebab itu, mengenali jati diri adalah hal yang penting. Dalam tulisan Emile Durkheim, kehampaan jati diri lebih banyak mendorong orang untuk melakukan bunuh diri. Apa yang dilakukan manusia lebih banyak mencerminkan apa yang mereka inginkan. Manusia biasanya melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan mereka. Keinginan juga biasa disebut dengan hasrat. Tetapi, hal ini juga seperti apa yang dilakukan oleh hewan. Satu hal yang tidak dilakukan oleh hewan, yaitu dia tidak dapat melakukan diluar apa yang mereka inginkan, sedang manusia lebih banyak demikian. Misalkan saja, karena lapar kemudian makan, tapi tidak semua manusia bisa makan setelah dia lapar, mungkin tidak ada bahan makanan, tidak ada hal yang bisa dimakan, tidak ada uang untuk dibelikan makanan, tidak ada barang yang dapat ditukarkan sebagai makanan, akhirnya untuk mengatasi lapar dia tidur, dia minum air putih yang banyak sedikit dikasih gula, dia merokok, atau mungkin bertamu ke rumah teman berharap mendapat makan.

Dalam membicarakan keinginan atau hasrat, Jacquas Lacan lebih banyak berbicara mengenai seks, yaitu mengenai Penikmatan, yaitu sesuatu yang memuncak seperti dalam orgasme, namun melampauinya dan mempunyai gejala-gejala. Hewan adalah makhluk yang sangat jujur dalam melampiaskan seksnya, yang akan mencari lain jenisnya untuk berhubungan seks. Hewan tidak memiliki arti tetap mengenai seks. Berbeda dengan manusia, yang dapat memperoleh kepuasan atau kenikmatan seksualitas melalui kata-kata, bahasa, dan aneka ragam lainnya seperti sutra, karet, jaket kulit berwarna hitam, bahkan tiang lampu. Bagi Lacan dan Sigmun Freud, seks itu melampaui dari sekedar bersetubuh. Apa yang mereka cari dari seks tidak lain adalah penikmatan itu. Namun demikian, ada juga manusia yang mencari kenikmatan dengan suatau cara yang masih berhubungan dengan keintiman langsung mereka, misalnya masturbasi, phone sex, atau mencambuk tubuhnya.

The Persistence of Memory
Salvador Dali
1931
Oil on canvas
24 cm x 33 cm

Tidak semua keinginan manusia itu dapat disampaikan atau dilampiaskan. Itu sebabnya psikoanalisis masih dianggap penting. Dalam tradisi Amerika, psikoanalisis tidak banyak dianggap, karena mereka beranggapan psikoanalisis sulit untuk dapat diukur, dan itu sudah diakui oleh Sigmund Freud dimana dia sendiri mengatakan bahwa tidak ada arti yang tetap pada setiap perkataan manusia. Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengekspresikan diri, namun untuk bisa dipahami oleh orang lain hanya dengan bahasa yang memiliki makna terbatas. Untuk menjaga agar keinginan itu dapat berjalan terus, manusia biasanya akan menciptakan khayalan-khayalan atau fantasi, karena hanya dalam fantasi-lah keinginan-keinginan yang sulit atau bahkan mustahil dapat terjadi. Namun, hal ini kemudian menjadi bagian dari ketidaksadaran manusia, dimana kadang-kadang dia akan mengalami yang oleh Lacan disebut sebagai pengandaian. Lagi-lagi Lacan menggiringnya ke dalam ruang seks. Lacan lebih mencontohkan, saya mencintai Lusi, dan ketika saya bersetubuh dengan Jeni sebenarnya saya sedang bersetubuh dengan Lusi, dan saat itu saya tidaklah sedang berselingkuh, karena yang saya hadapi sebuah pengandaian dengan Lusi.

Pandangan mengenai pengalihan ini dibawa lebih jauh oleh Slavoj Zizek, dimana Zizek lebih menyebutnya dengan sublimasi. Sublimasi menurut Zizek tidak jauh berbeda dengan Pengalihan menurut Lacan, tetapi Zizek lebih menekankan bahwa dalam mengalihkan keinginan manusia, mereka tidak harus melakukan hal yang sama dengan mengenakan objek yang berbeda, seperti yang dicontohkan itu. Tetapi sublimasi dapat dilakukan dengan tindakan yang berbeda dengan objek yang berbeda pula. Contohnya, ketika melampiaskan hasrat seksualitas, saya menggambar segumpal air yang terjun dari tebing tanpa ada aliran sungai yang mengawalinya.

Pada tahun 1920an dan 1930an, adalah masa kejayaan psikoanalisis, dimana psikoanalisis merambah juga ke dunia seni lukis, khususnya kaum surialisme. Banyak kaum surialisme mendalami psikoanalisis di era itu, termasuk Salvador Dali, seorang pelukis surialisme asal Spanyol. Salah satu lukisannya yang juga didasari tentang psikoanalisis adalah yang berjudul The Persistence of Memory. Jam saku yang meleleh adalah konsep yang diusung oleh Dali mengenai “kelembutan” dan “kekerasan”. Dawn Ades mengatakan bahwa jam saku yang meleleh adalah sebuah simbol ketidaksadaran relativitas mengenai ruang dan waktu. Dali sedang memfisualisasikan pandangannya mengenai teori relativitas yang dikemukakan oleh Albert Einstein. Pada dasarnya psikoanalisis digunakan sebagai psikoterapi, dimana psikoanalis akan mengobati pasien yang jiwanya sedang terguncang. Namun, hari ini psikoanalisis lebih dipandang sebagai aliran filsafat ketimbang sebagai aliran psikologi.

Friday, September 4, 2015

Be Happy! Happy!! : Hubungan Harmonis di Dalam Layar

ViralBrothers Erik dan Lady Domisha (tubeid.net)

by pandu pramudita

Dalam masa lampau, pada masa kini, dan yang akan datang, manusia dikenal dalam hubungan antar mereka. Siapa diri mereka adalah sebuah identitas yang kompleks antara dirinya dengan manusia-manusia di sekitarnya. Menjalin hubungan dengan manusia lain adalah membangun identitas atas dirinya. Terlebih jika manusia itu membangun hubungan lebih dalam. Menjalin hubungan lebih dalam adalah sebuah pemberian makna pada hubungan yang mereka jalin, baik itu kekasih, teman, sahabat, saudara, sekalipun itu adalah musuh, adalah hubungan-hubungan yang memberikan sebuah arti dalam tindakan yang akan mereka atau yang sedang mereka lakukan, dan siapa mereka di antara hubungan itu maka akan terlihat dan dirasakan secara lebih nyata. 

Erik dan Domisha, sepasang kekasih yang keduanya memiliki vlog masing-masing, dimana vlog yang mereka miliki menyajikan video-video dari aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan sehari-hari dalam kehidupan mereka, baik kehidupan masing-masing maupun saat bersama. Komedi, saya rasa tidak, meski dalam video-video mereka lebih banyak hal yang membuat saya tersenyum dan tertawa. Saya tidak tahu apakah mereka sudah menikah atau belum, yang saya tahu dari video tersebut adalah kehidupan bersama dalam satu ranjang. Mereka adalah orang Ceko (Czech Republic). Selain terkadang mereka memperlihatkan bendera di pipi mereka, juga terkadang mereka menggunakan bahasa yang saya tidak mengerti, mungkin itu adalah bahasa ibu mereka. Namun, secara umum mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Saya menangkap bahwa mereka sudah memikirkan bahwa target penonton (viewer or follower, or subcriber, or whatever is that) adalah lintas internaional, dikonsumsi menyeberang negara, termasuk saya di Indonesia. Bahwa resolusi mereka sangat jelas untuk going international, karena tampak ketika mereka berusaha berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris, dan di satu kesempatan Erik juga mengutarakan bahwa dia dapat berbicara berbahasa inggris dengan baik karena ada Domisha yang menjadi lawan berbicara, meski terkadang mereka menyebut kata sapaan ketiga maupun kedua dengan terbalik, misal Erik menyebut Domisha dengan “Him” atau Domisha menyebut Erik dengan sapaan “She” sedang sapaan tersebut bukan karena disengaja dan mereka secara langsung mengoreksi satu sama lain, kemudian mereka memperbaiki bahasa mereka masing-masing.

Where are they from? Erik dan Domza, seperti yang saya utarakan sebumnya, adalah orang Republik Ceko. Namun, bukan itu yang saya maksudkan ketika saya mengutarakan darimana asal mereka. Viralbrothers dan Lady Domisha, adalah dua vlog yang mereka buat dalam internet, yang menyajikan video-video, dimana video-video tersebut terkoneksi dengan sebuah web besar, yaitu youtube. Viralbrother adalah vlog yang dibuat oleh Erik sedang Lady Domisha adalah vlog yang dibuat oleh Domisha. Secara umum, kedua vlog ini menayangkan video-video yang mereka ambil dari kehidupan sehari-hari mereka, seperti apa yang mereka lakukan, apa yang mereka kenakan, apa yang mereka makan, dan apa yang mereka rasakan. Lebih dari itu, kehidupan sehari-hari yang kemudian saya utarakan melampaui apa yang menjadi tangkapan dalam indera tapi dalam makna, suatu hal yang berada dalam penampakan yang mereka lakukan di kehidupan sehari-hari.

Secara realita, Erik dan Domisha memiliki vlog masing-masing dan memiliki penggemar masing-masing juga namun jika sebuah pertanyaan mungkin diungkapkan, siapa itu Erik dan siapa itu Domisha, maka jawabannya adalah Erik adalah Domisha dan Domisha adalah Erik, dan jika pertanyaan selanjutnya adalah siapa mereka, maka mereka adalah keluarga atau sepasang kekasih. Dalam masing-masing vlog mereka, dimana video-video yang mereka unggah, adalah tiada perbedaan antara siapa yang membuat dan siapa yang mengunggah, karena siapapun itu, dalam video tersebut saya bisa melihat keduanya dalam satu sosok, ketika Viralbrother mengunggah video, saya dapat melihat Domisha, bukan hanya sosok orang dalam arti fisik, tetapi dalam pribadi Erik saya masih tergambar sosok Domisha, dan juga berlaku sebaliknya. Namun, berbeda cerita ketika salah satu dari mereka mengunggah video saat-saat mereka bersama, saling jahil-menjahili, saling melempar romantika, bahwa mereka adalah keluarga bahagia. Meskipun demikian, Lady Domisha tetaplah Domisha dan Viralbrother tetaplah Erik. Kemudian apa yang membuat masing-masing dari mereka tetaplah menjadi individu dan sekaligus adalah sepasang kekasih?

Pada kesempatan ini saya tidak bertemu secara langsung dengan Erik maupun Domisha, saya hanya duduk di depan laptop saya dan menyalakan internet, melihat setiap video yang mereka unggah. Bagi saya ini cukup untuk melihat apa yang sedang terjadi di sana. Jikapun ada pertanyaan, ini hanyalah video, tidak memberikan penampakan yang nyata dan hanya secara virtual, namun bagi saya adalah semua yang nampak dan dapat diindera adalah materialisasi dan akan nyata justru jika hal itu dapat kita raih dengan pemaknaan yang kita berikan kepada penampakan tersebut, sekalipun itu adalah video. Sekalipun pemberian makna tersebut tidak seperti pemberian makna oleh pelaku dalam video, ini adalah sebuah usaha “aku” untuk mendekatkan atau menyatukan sebuah penampakan kepada kita sehingga penampakan tersebut berarti bagi “aku”. Tidak ada sesuatu hal yang dapat dimiliki secara privasi jika kita sendiri tidak memberikan makna kepada obyek tersebut sekalipun itu miliki kita, dan sebaliknya sekalipun obyek itu milik orang lain jika kita memberikan makna yang muncul dari diri kita sendiri terhadap obyek tersebut maka secara tidak langsung bahwa obyek itu telah menjadi milik kita.

Sebelumnya, saya tidak menganggap bahwa mereka itu benar-benar ada, dan yang ada adalah layar laptop yang ada di hadapan saya, dimana layar laptop ini menampilkan wujud mereka, dari fisik hingga tindakan atau perilaku mereka sehari-hari. Namun, saya tidak tahu apakah wujud fisik mereka benar-benar ada di dunia ini, di suatu tempat di Republik Ceko? Saya pikir mereka atau anda yang membaca juga akan berpikir hal yang sama tentang saya, apakah saya bagi anda benar-benar ada, atau apa yang di hadapan anda saat ini adalah sebuah auto script? Jika mereka ditonton, didengar layaknya video-video kebanyakan, maka mereka hanyalah sebuah permainan imajinasi yang tersaji dalam layar laptop. Video-video mereka itu seperti halnya game atau permainan dalam pc atau laptop atau playstation, atau apapun itu. Jika permainan itu tidak kita “sentuh” maka tidak akan berjalan, yang kita lihat hanyalah sebuah demonstration di sana. Tetapi jika kita beri “sentuh”-an, maka permainan itu benar-benar nyata bagi pemainnya. Begitu juga dengan video-video Erik maupun Domza, jika kita hanya sekedar menonton maka tidak ada hal apapun di sana, dan sebaliknya, sentuhan, atau yang saya maksud adalah pemaknaan yang kita berikan pada video-video mereka, maka kehiduan mereka akan terasa nyata di dalam pengalaman kehidupan kita, artinya bahwa secara tidak langsung kehidupan yang mereka tunjukkan dalam video mereka menjadi bagian dari kehidupan kita, kita masuk di dalam video tersebut, merasakan keceriaan, kesedihan, maupun kemarahan yang ditampakkan dalam ekspresi setiap babaknya (chapter).

Good morning everybody!! Sebuah pembukaan penuh semangat dan keceriaan dari Erik maupun Domiza kepada penonton-penonton video mereka. Saya pikir ini adalah babak penting untuk mencuri perhatian penonton sebelum mereka berulah pada hari itu. Saya tidak tahu, apakah latar belakang (background) dimana mereka mulai menyapa penonton memiliki sebuah arti tertentu bagi dirinya, yang saya tangkap adalah mereka mengeksplor setiap sudut ruang yang ada di dalamnya ataupun disekitarnya, baik itu di kamar tidur (bahkan sedang mengenakan selimut di tempat tidur mereka sudah mulai berbicara), di balkon, maupun di lift. Saya tidak tahu secara pasti, apa itu vlog, saya rasa itu seperti blog namun berisi video-video yang terhubung dengan youtube. Dalam hal ini saya sedikit mengacuhkan apa pekerjaan mereka selain membuat video, seperti Domiza yang menayangkan ketika dia sedang bekerja di suatu perusahaan. Artinya bahwa, selain mereka membuat video, atau dia, memiliki sebuah pekerjaan yang mereka lakuka dalam rutinitas. Namun, dalam hal ini membuat sebuah video juga adalah sebuah pekerjaan bagi mereka, dimana saya menangkap bahwa mereka memberikan sebuah jadwal (schedule) untuk mencari bahan atau materi, waktu untuk mengerjakan video tersebut, dan penayangan atau pengunggahan video.

Keseriusan dalam pengerjaan video adalah sebuah hal yang menjadi perhatian saya pada kedua manusia itu. Kejahilan, keceriaan, kesedihan (terkadang), kemarahan (juga terkadang), yang menggambarkan kehidupan sehari-hari mereka. Dalam hal ini saya melihat video-video yang mereka buat adalah bukan sebuah rekayasa, dalam arti diluar kebiasaan atau pengetahuan mereka, tetapi secara keseluruhan adalah sebuah kesadaran yang telah menjadi pengetahuan sehari-hari mereka. Adapun sebuah kejahilan, yang secara total sudah pasti itu adalah sebuah rekayasa namun hal yang perlu diingat bahwa mereka memiliki kegilaan dalam bertingkah, menjahilin satu sama lain, baik itu secara langsung atau terdapat sebuah rencana sebelum kejahilan itu dilakukan, maka pikiran kegilaan itu adalah sebuah kesatuan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Apa yang kemudian muncul dalam drama di rumah itu, adalah sebuah babak keharmonisan di salah satu pasangan kekasih di dunia ini. Hubungan harmonis yang tampil di layar, namun bukan sebuah “rekayasa” di balik tangan sutradalam dalam sinetron maupun drama serial di televisi kebanyakan. Hubungan ini adalah cuplikan keseharian mereka yang mereka simpan dalam sebuah rekaman yang di-publish dan mengubah struktur rumah menjadi struktur ruang kerja. Apa yang biasa disebut orang sebagai rumah, bagi mereka adalah ruang kerja sepanjang itu muncul atau dimunculkan – atau bisa jadi di luar rumah – di dalam rekaman video-video mereka. Dan apa yang kemudian mereka sebut rumah, yaitu tempa mereka beristirahat, melakukan sesuatu secara privasi, adalah sepanjang mereka melakukannya tanpa mereka tangkan dengan kamera. Itulah satu babak makhluk Tuhan yang ada di muka bumi ini yang menampakkan romantika kehidupan. Lalu, bagaimana hubungan Anda dengan pasangan Anda. 

Anda dapat melihat video Lady Domisha di sini atau ViralBrothers Erik di sini. Awalnya chanel Erik berada menjadi satu dalam judul vlog-nya ViralBrothers. Namun kini vlog itu berbah menjadi ViralBrothers Cenek, yaitu vlog ViralBrother milik Cenek, kawan duet Erik. Karena ada pengunggahan ganda antara Erik dan Cenek, dan follower mereka mungkin juga bingung, maka mereka memutuskan untuk memisahkan diri, tapi maing-masing maih menggunakan ViralBrothers, Erik dengan ViralBrothers Erik, dan Cenek dengan ViralBrothers Cenek.

Es Pung-Pung Sepanjang Masa


by pandu pramudita

Pung!Pung!Pung! Suara sebuah kuningan yang berbentuk lingkar menonjol di tengah bulat kecil, seperti sebuah alat musik khas Jawa dalam rangkaian, apa yang mereka sebut sebagai gamelan, atau tepatnya seperti bonang namun hanya satu buah yang tergantung di gerobak dorong berwarna biru, di tabuh sesekali dengan pemukul yang tidak terlalu panjang, mungkin sepanjang dua jengkal telapak tangan orang dewasa, dengan karet merah terbungkus setengah dari tongkat itu. Gerobak didorong oleh seorang kakek yang tidak terlalu tinggi, atau bisa saya bilang di bawah rata-rata orang Jawa, namun dalam usianya yang bekepala 8 masih tetap gagah mendorong gerobak es itu. Es Pung-Pung Mbah Wo, itulah dia. 

Mbah Wo, orang yang tidak asing lagi bagi kami, anak-anak di gang Candi yang sekarang nama itu berganti dengan jalan Pasar Hewan. Bagaimana tidak, dari sewaktu kami kecil, Mbah Wo sudah melakukan pekerjaannya sebagai Tukang Es, yaitu Es Pung-pung, sebelum saya lahir, sampai saya sudah berumur seperempat abad, dia masih dengan gagahnya memutarkan gerobak itu di wilayah ini. Hanya harga dan porsi yang saya beli yang berubah, dimana dulu dengan uang seratus rupiah saya dapat membeli sebuah es pung-pung dengan contong krupuk merah yang menjadi tempatnya, dan terkadang ibu memberi uang lebih lima ratus rupiah untuk mendapatkan es pung-pung dengan tempat seperti gelas yang terbuat dari kertas yang mungkin bercampur lilin yang membuat kertas itu kaku dan tahan terhadap air dan bonus juga contong krupuk. Kini untuk mendapatkan es pung-pung dengan tempat contong krupuk harus mengeluarkan uang seribu rupiah, dan saya sudah malu dengan porsi itu. Dengan membawa gelas besar sendiri, saya sodorkan kepada Mbah Wo untuk mengisi gelas itu dengan es pung-pung seharga lima ribu. Jelas tidak akan habis dalam satu hari, karena saya harus mengirit-irit es itu agar tidak lekas habis.

Mbah Wo, adalah kakek dari anak-anak di gang Candi. Masyarakat sini masih saja menyebut jalan depan rumah itu dengan nama gang Candi meski sudah diganti namanya oleh pemerintah setempat. Jasanya tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kami mengingat bahwa dewasa ini saya menyadari sudah banyak penjual jajanan untuk anak-anak yang tidak memperhatikan gizi, atau setidaknya tidak membahayakan anak. Di televisi, saya sering mendapati berita atau investigasi-investigasi mengenai jajanan anak-anak yang berada di bawah ambang batas keamanan konsumsi. Batuk, radang tenggorokan, diare, sampai muntaber banyak menjangkit anak-anak melalui jajanan jalanan itu. Tapi berbeda dengan Mbah Wo. Banyak anak-anak yang sudah tumbuh dewasa dan beberapa sudah menikah itu masih saja kangen dengan dia, saya lebih yakin bukan karena es pung-pung yang enak, tetapi doa yang masuk dalam makanan itu dan tertelan ke dalam perut dan bereaksi di sanubari. Suatu hari, Ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya pernah tidak berjumpa lama dengan Mbah Wo, dan sebagai ganti ada seorang penjual es serupa dengan menggunakan sepeda untuk berkeliling, dan saya membeli sebuah es darinya. Dengan harga yang sama dan tempat contong yang sama, tapi saya tidak mendapatkan rasa yang sama, sedikit serak dan sakit di tenggorokan, itulah yang saya rasakan pada es itu. Sehingga saya memutuskan, selain Es Pung-Pung Mbah Wo, saya tidak mau.

Mbah Wo bukanlah mayarakat Kecamatan Kutoarjo, dia adalah penduduk Klaten, tepatnya di Bayat, 200 km dari kami tinggal dan dari dia mengorbitkan es pung-pungnya. Sebagai penduduk Klaten pada dasarnya dia adalah seorang petani, mengerjakan sawah sampa memanennya di tanah sendiri, bukan tanah sewa atau buruh milik orang lain. Dari warga gang Candi sendiri, termasuk saya, belum pernah ada satu orangpun yang memeriksa ke sana, apakah dia benar-benar orang Klaten ataupun seorang petani, tapi tidak ada satupun yang ragu akan ceritanya itu, seperti kejujurannya dalam es pung-pung, nikmat dirasa. Dulu dia lebih sering menjajakan es pung-pung karena dia masih punya tenaga kerja untuk menggarapkan sawahnya, setidaknya masih ada anak-anaknya dan saudara-saudara yang tinggal di sekitar. Namun kini dia tidak memiliki banyak tenaga kerja lagi, anak-anaknya telah pergi merantau setelah menikah dan mendapatkan pekerjaan kantoran di kota lain. Olah sebab itu, terkadang sampai sebulan dan berbulan-bulan dia tidak menampakkan gerobaknya di wilayah Kutoarjo. Meski waktu sudah terasa lama, saya sendiri tidak melihat adanya perubahan fisik yang berarti darinya, masih tetap gagah mendorong gerobak. Kini dia mengatakan bahwa menjual es adalah untuk hiburan, dan petani adalah pekerjaan yang utama baginya. Bertemu dan melihat anak-anak kecil yang suka dengan esnya adalah suatu hal yang mendatangkan bahagia kepadanya. Di akhir kata, saya harap dia mendapatkan kesehatan selalu dan mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Wednesday, September 2, 2015

Mencari Abangan, Santri, dan Priyayi


reviewer by pandu pramudita

Abangan, Priyayi, dan Santri, adalah tiga kategori kelompok sosial yang berkembang di Jawa. Setidaknya itu yang dikatakan Clifford Geert saat ia melihat kondisi Jawa di tahun 70-an. Kondisi politik yang pada saat itu bergejolak juga menyeret penampakan tiga golongan ini dalam keberpihakan dalam arus politik praktis, yang dikenal sebagai politik aliran. Partai politik yang berideologi kedaerahan diduking oleh kelompok abangan, kaum santri mendukung partai politik yang berbasis ideologi agama, khususnya Islam, dan kelompok priyayi yang mendukung partai politik yang berbasis nasionalisme. Setidaknya itu yang kemudian dimengerti oleh kebanyakan dan yang diajarkan di sekolah-sekolah. Namun, apakah demikian? Kembali membaca buku yang berjudul Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa akan menyegarkan kembali pengetahuan yang selama ini bereda. Ini adalah buku yang pernah dicetak pada tahun 1985 oleh penerbit Pustaka Jaya, dan kini dicetak ulang oleh penerbit Komunitas Bambu.
...........................................................................................................................................................................................................................................................................
... Tipologi pola pekerjaan yang terkristalisasi mencerminkan dasar organisasi sistem ekonomi kota ini, yang darinya tipologi ini dihasilkan. Demikian juga penggolongan penduduk menurut pandangan mereka – menurut kepercayaan agama, preferensi etis dan ideologi politik mereka – menghasilkan tiga tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa sebagaimana terwujud di Mojokuto, ide umum tentang ketertiban yang dengannya petani, buruh, tukang, pedagang atau pegawai membentuk perilaku mereka dalam segala bidang kehidupan. Tiga tipe kebudayaan ini adalah abangan, santri dan priyayi.
Menurut hemat saya, rupanya terdapat tiga inti struktur sosial yang utama di Jawa pada masa ini; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah ... Evolusi desa Jawa ampai kepada bentuknya yang sekarang, pada setiap tahapnya diatur dan diekspresikan oleh sistem keagamaan yang kurang lebih terpadu; sistem keagamaan itu sendiri tentu saja juga mengalami perkembangan; animisme, Hinduisme, dan juga Islam ... Tradisi keagamaan abangan, yang terutama sekali terdiri atas pesta keupacaraan yang disebut slametan, kepercayaan yang luas dan kompleks terhadap makhluk halus serta serangkaian teori dan praktik pengobatan, sihir serta magi, adalah subvarian pertama dalam sistem keagamaan umum orang Jawa. Sistem ini diasosiasikan dengan cara yang luas dan umum dengan desa orang Jawa.
Substruktur sosial yang kedua, pasar, harus dimengerti dalam arti yang luas hingga mencakup seluruh jaringan hbungan dagang dalam negeri di pulau itu ... Pengaitan elemen perdagangan orang Jawa dengan versi Islam yang lebih murni daripada yang lazim di Jawa, bisa ditarik ke belakang sampai ke saat masuknya agama Timur Tengah itu ke Pulau Jawa. Pasalnya, agama itu masuk sebagai bagian dari perluasan dagang besar-besaran di sepanjang Laut Jawa, yang pada akhirnya dirangsang oleh kemunculan Abad Eksplorasi di Eropa ... Islam yang lebih murni – yang tidak begitu terkontaminasi oleh animisme atau mistisisme – itu merupakan subtradisi yang saya sebut santri.
Ketiga adalah priyayi, yang pada mulanya hanya merujuk pada kalangan aristokrasi turun-menurun yang oleh Belanda dicomot dengan mudah dari raja-raja Pribumi yang ditaklukkan, untuk kemudian diangkat sebagai pegawai sipil yang digaji ... Mereka tidak menekankan eemen animistis dari sinkretisme Jawa yang serba melingkupi seperti kaum abangan, tetapi tidak pula menekankan elemen Islam sebagaimana kaum santri.  Di abad ini, posisi sosial dan politik yang diwariskan kelompok ini, sepanjang terkait dengan masyarakat asli Jawa, sudah makin lemah. Akses untuk masuk birokrasi sudah lebih mudah bagi kalangan tang sekalipun berketurunan rendahan, tetapi memiliki pendidikan yang baik dan pekerjaan “kerah-putih” non-pemerintah telah muncul dalam jumlah yang semakin banyak ... Sekalipun demikian, varian priyayi tidak saja tetap kuat bertahan di antara elemen konservatif tertentu dari masyarakat, tetapi juga memainkan peran dasar dalam membentuk pandangan dunia, etika dan tingkah laku sosial dari elemen yang bahkan paling terbaratkan dalam kelompok kerah-putih yang masih dominan. Sopan santun yang halus, seni tinggi serta mistisisme intuitif, semuanya masih menjadi karakteristik utama elite Jawa; dan sekalipun sudah semakin menipis serta mengalami penyesuaian dengan keadaan yang telah berubah, gaya hidup priyayi masih tetap menjadi model tidak hanya untuk kalangan elite, tetapi dalam banyak hal, juga untuk seluruh masyarakat.
..........................................................................................................................................
Jawa tak mudah dicirikan dengan satu label atau digambarkan di bawah satu tema yang dominan. Pulau itu lebih lama mengalami peradaban daripad Inggris yang selama dari 1500 tahun telah menyaksikan orang-orang India, Arab, Cina, Portugis serta Belanda, datang dan pergi. Dewasa ini, Jawa memiliki jumlah penduduk yang termasuk paling padat di dunia, pertumbuhan kesenian yang paling tinggi serta pertanian yang paling intensif. Karenanya, pada halaman-halaman berikut, saya mencoba menunjukkan betapa banyak variasi dalam upacara, pertentangan dalam kepercayaan dan konflik daam nilai-nilai, yang tersembunyi di balik pernyataan sederhana bahwa penduduk Jawa lebih dari 90% beragama Islam. Kalau saya, sebagai konsekuensinya, telah memilih penekanan pada keanekaragaman keagamaan di Jawa masa kini – atau lebih khusus lagi, di sebuah kompleks kota-desa di Jawa masa kini – maka maksud saya bukanlah untuk mengingkari dasar kesatuan keagamaan dari rakyat Jawa, atau lebih luas lagi, dari rakyat Indonesia pada umumnya. Namun, untuk membawa pulang, kenyataan tentang kompleksitas, kedalaman dan kekayaan spiritual mereka.
(Clifford Geertz, 2013)
...........................................................................................................................................................................................................................................................................

Untuk perkembangan Jawa pada masa kini (di abad 21) maka apa yang dikatakan Geertz sudah tidak lagi dengan mudah dilihat di masyarakat Jawa. Beberapa penulis buku atau peneliti, juga mengatakan ketidaksetujuannya mengenai pembagian golongan di masyarakat Jawa itu. Namun bagi saya, memanglah hal itu tidak akan mungkin dapat dilihat pada masyarakat Jawa masa kini, dan itu hanya muncul pada masyarakat Jawa pada masa itu, terlebih dalam kacamata Geertz sendiri. Hal yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana Geertz kemudian terjun dalam masyarakat Jawa, mecoba menyatu dalam kehidupan mereka sehingga memiliki pandangan yang tajam dan mendetail mengenai masyarakat Jawa. Selain itu juga, buku ini juga masih menjadi buku penting untuk studi antropologi khususnya untuk mempelajari masyarakat Jawa yang representatif mencerminkan kondisi Jawa pada waktu itu, dan untuk studi sosiologi, khususnya yang berkaitan dengan kelompok sosial. Selamat berburu buku.

Masuk Lewat Pintu Belakang


reviewer by pandu pramudita

Masuk lewat pintu belakang, lebih sering menjadi sebuah konotasi negatif di masyarakat, yan berarti sembunyi-sembunyi atau bermain curang. Namun kali ini pintu belakang yang dimaksud memiliki makna denotasi atau makna sesungguhnya, yaitu bagian rumah yang berfungsi untuk keluar masuk dari belakang. Apakah rumah anda memiliki pintu belakang? Mungkin saja ada yang mengatakan, “Mengapa harus ada pintu belakang, belakang rumah saya ada tembok besar berdiri kokoh menghimpit dinding belakang rumah”. Ya, mungkin kecuali rumah mereka yang bagian belakangnya harus berhimpitan dengan sebuah akses yang mati, seperti sungai, tembok, atau barangkali jurang. Saya sendiri tinggal di rumah yang memiliki tiga akses pintu, pintu depan sebagai pintu utama yang menghubungkan halaman dan ruang tamu, di bagian samping depan juga terdapat pintu garasi dimana kebanyakan penghuni rumah ini keluar masuk melewati pintu itu, dan sebuah pintu lagi di belakang yang menghubungkan ruang keluarga langsung ke akses jalan setapak. Dapat saya katakan bahwa pintu utama itu adalah pintu kehormatan, dimana kala tamu berkunjung pintu itu terbuka, pintu belakang adalag akses sosial, dan pintu garasi adalah akses ekonomi di rumah ini. Tapi hal ini membutuhkan penjelasan lebih lanjut, dan halaman ini tidak cukup untuk menjelaskan itu. Tapi setidaknya, rumah Anda saya harap memiliki pintu akses kedua setelah pintu depan atau pintu utama. Berikut saya akan menyajikan sebuah cuplikan buku yang melihat pentingnya pintu kedua, atau lebih dia tegaskan dengan Pintu Belakang.
...........................................................................................................................................................................................................................................................................
Kami sendiri sangat heran ketika kami kembali untuk pindah ke rumah tersebut dan melihat perubahannya. Sebelum rumah itu selesai, pintu belakang yang melewati tempat kamar mandi (dalam hal ini mencakup toilet) sebelumnya terbuka ke halaman luar sehingga orang dapat dengan mudah pergi ke halaman rumah keluarga Sae dan keluarga Cipto dan pintu belakangnya. Ketika kami kembali, seluruh halaman itu telah berdinding tembok, dan telah ada atap di separuh bagian yang kini menjadi dapur dengan tempat cuci piring, lantai keramik dan air yang disalurkan melalui pipa. Yang paling mencolok, bagian belakang itu kini putus hubungannya sama sekali dengan tetangga-tetangga oleh dinding setinggi lebih dari 2 meter. Bagi kami, ruang baru ini enak, sangat pribadi di belakang rumah, jauh dari intipan mata orang lain. Bagi tetangga-tetangga kami, dinding baru itu tidak saja menandai putusnya hubungan yang ada selama ini antara kampung dan keluarga, tetapi juga menyebabkan rumah kami tidak dapat berfungsi dalam masyarakat kampung.
Bagian dari keluarga itu yang keadaannya lebih baik dari sisi keuangan, Ibu dan Bapak Widodo, rupanya sengaja membangun rumah itu seperti itu agar tidak lagi berfungsi sebagai rumah keluarga. Rumah itu diputus dari kegiatan keluarga dan kegiatan masyarakat. Bu Sae sendiri mengeluhkan hal itu kepada saya. Dia tidak dapat lagi pergi ke rumah sepupunya dari pintu belakang rumahnya. Rumah baru itu berdinding tembok; blok kayu yang panjang menghalangi aliran udara yang sebelumnya mengalir melalui rumahnya. Rumah baru kami itu tidak saja menghambat aliran udara tetapi juga menghambat arus orang dan barang. Setelah bagian belakang rumah kami itu selesai, rumah itu merupakan bangunan yang kokoh dari gang di depan hingga ke dinding tembok belakang, dan secara efektif membentuk batas antara apa yang sebelumnya merupakan pekarangan keluarga yang lebih terbuka.
Namun, rumah itu memiliki sebuah pintu menuju ke halaman belakang, yang separuhnya menjadi bagian dari dapur. Pintu yang hilang adalah pintu keluar ke sebuah gang sempit yang merupakan jalan pintas ke jalan menuju barat. Tidak adanya pintu belakang tidak saja signifikan dari sisi arti pintu itu bagi hubungan kekerabatan, tetapi juga dari sisi pesan yang dikirimkannya mengenai keadaan sosio-ekonomi warga kampung yang berubah-ubah. Dan seperti ternyata kemudian, pintu depan dan pintu belakang sama pentingnya untuk hubungan sosial di kampung, tetapi dari segi yang sangat jauh berbeda.
Di Jawa menerima tamu sangat ditekankan. Untuk menerima tamu dengan baik, paling tidak dia harus disuguhi minum. Sangatlah buruk bila kita tidak siap siapapun yang datang atau berapa banyak tamu yang hadir. Saya berkali-kali menyaksikan etika ini dalam kehidupan sehari-hari, tetapi mungkin epiode yang paling banyak memberi pelajaran kepada saya ialah ketika saya kedatangan tamu dan tidak ada gula dan teh. Saya minta tolong kepada Mas Yoto, salah satu dari anak-anak yang selalu menemani kami di rumah, untuk pergi membeli gula, tanpa menyadari apa yang saya minta untuk dilakukannya. Baru ketika ia kembali dan berjalan masuk ke dalam rumah dengan kantong gula tersembunyi di balik bajunya, yang terpaksa dilakukannya karena dia harus masuk dari pintu depan, menjadi jelas bagi saya tidak adanya pintu belakang di rumah kami sangat dirasakan sebagai kurangnya rasa soial, bahkan oleh seorang bocah laki-laki berusia sepuluh tahun.
...........................................................................................................................................................................................................................................................................

Dengan studi etnografinya, Newberry memberikan sentuhan yang detail mengenai kehidupan di kampung, terutama di masyarakat Jawa yang tersimpan dalam bagian rumah, yaitu pintu belakang. “Back Door Java: Negara, Rumah Tangga, dan Kampung Di keluarga Jawa” adalah judul buku itu, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia (YOI) yang bekerja sama dengan KITLV-Jakarta. Buku ini dapat membantu anda yang sedang akan mempelajari etnografi. Penangkapan fenomena dan pengambilan makna dengan sentuhan etnografi tampak di setiap babaknya. Tidak heran jika Newberry adalah Ketua Jurusan Antropologi di University of Lethbridge, Kanada. Selamat berburu buku.

You should know her : Mari Belajar Mengenai Perempuan


reviewer by pandu pramudita

Salah satu gerakan perempuan, yang dikenal sebagai feminis, adalah menanamkan pengetahuan kepada mereka agra dapat mengeluarkan pendapatnya sendiri dan tidak menjadi manusia makhluk kedua setelah laki-laki. Hanya saja, penanaman ini tidak dapat hanya bergerak satu sisi. Agar sampai pada tujuan kesetaraan gender, maka harus ada sebuah penanaman pengetahuan bersama, saling mengerti dan memahami adalah tujuan utama agar mencapai kehidupan yang lebih baik. Antara laki-laki dan perempuan jika terjalin saling pengertian, maka tidak akan lagi terjadi sebuah perendahan salah satu gender dalam persamaan manusia. Berikut saya akan mencuplikkan sebuah chapter dalam buku yang selanjutnya saya rekomendasikan kepada Anda untuk membacanya lebih lanjut.

Ujung Payung Tidak Menghamili

“Dokter, istri saya berusia sembilan belas tahun mengharapkan punya anak dari saya,” kata seorang suami berusia 90 tahun, ketika mendatangi tempat seorang dokter ahli kandungan.

Si dokter ahli kandungan menanggapi dengan ramah dan manis, “Baik, tapi dengarkan dulu cerita saya ini.”

Lelaki berusia tua mendengarkan cerita dokter ahli kandungan yang duduk di hadapannya.

“Ada seorang pemburu,” dokter ahli kandungan memulai ceritanya, “pemburu itu membuat kesalahan. Ia tidak membawa senapan melainkan payung untuk berburu. Tiba-tiba seekor beruang menyerang si Pemburu. Dengan cekatan si pemburu mengarahkan payungnya dan menembakkan ke arah beruang tersebut. dan, beruang itu pun mati.”

“Mana mungkin? Pasti ada orang lain yang menembak beruang itu,” seru lelaki tua itu menanggapi cerita si dokter.

“Itulah, maksud saya!” kata si dokter ahli kandungan dengan tegas.
(Disadur dari Plato and a Platypus Walk into a Bar)

Lelucon yang baru Anda baca adalah analogi yang melukiskan bagaimana mungkin seorang kakek berusia uzur bisa menghamili perempuan berusia sangat muda? Tetapi seperti halnya perempuan pada umumnya, perempuan muda itu pun ingin punya anak.

Mengapa si perempuan ingin punya anak? Jawabannya, karena ia perempuan. Ada anggapan kuat dan diyakini masyarakat bahwa jika seorang perempuan punya anak, maka ia menjadi perempuan sempurna. Maka, tak usah heran apabila banyak perempuan yang merana, merasa hina dan tidak berguna jika tidak mempunyai anak. Di lain pihak, para perempuan penganut feminis radikal-liberal menolak punya anak. Atau, jika punya anak ingin hamil melalui sistem ekstogenesis (kehamilan di luar tubuh dengan menggunakan plasenta buatan). Alasan mereka, mejadi ibu biologis itu memeras perempuan baik secara fisik maupun psikologis (Tong, 1998).

Suka atau tidak suka, siapa pun yang telah lahir ke dunia ini sebagai perempuan tentulah tidak menolak. Mungkin, bisa saja mengingkarinya dengan cara operasi kehamilan. Tetapi gennya sebagai perempuan tidaklah bisa dihilangkan, yaitu terlahir dari bentukan sel sperma lelaki yang terdiri dari 44 buah kromosom inilah yang membedakan antara lelaki dan perempuan dalam bentuk fisik luar maupun organ di dalamnya, termasuk alat kelamin yang adalah alat reproduksi.

Alat kelamin perempuan disebut vagina. Bagian luar vagina disebut vulva. Inti vagina adalah sebuah tabung berlapis otot yang membujur ke atas dan condong ke belakang hingga ke dalam atau ujungnya yang disebut rahim (uterus). Panjang tabung vagina sekitar 9 cm, dan punya keistimewaan. Selain elastis (untuk menerima penis yang tegang dan membesar), juga bisa membersihkan dirinya sendiri untuk tetap steril.

Sedangkan rahim, sungguh menakjubkan. Ia merupakan kantong berlapis mirip buah pir, terletak di tengah kurungan pinggul, diapit oleh kandung kencing di depan dan di belakang usus. Panjang rahim kira-kira 9 cm, lebar 6 cm, dan beratnya hanya 60 gram. Fungsi rahim adalah sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya janin pada saat si perempuan mengandung. Rahim ini juga elastis, ukurannya berubah, menyesuaikan perkembangan janin (Jones, 2005). Dari rahimlah asal mula kehidupan manusia. hanya perempuanlah yang mempunyai rahim. Maka, perempuanlah disebut pula sebagai empu-an yang artinya yang dipertuan atau terhormat. Sungguh luhur sebutan itu dan memang seluhur itulah fungsi perempuan yang sesungguhnya.


Tetapi, bagaimana jika seseorang perempuan tidak mau punya anak? Menurut para tokoh feminis radikal-liberal itu merupakan hal pilih kaum perempuan dan harus dihormati. Sebab, perempuan yang mengutamakan kariernya (bekerja di luar rumah) akan repot jika harus mengurusi anak. Untuk menjadi superwoman (menjadi ibu rumah tangga/mengurusi anak dan punya karier) juga bukan hal mudah. Maka, sejak tahun 70-an, perempuan yang tidak mau punya anak (bahkan tidak juga mau menikah) jumlahnya cenderung bertambah. Ini dampak dari “kebangkitan perempuan” yang diilhami gerakan feminis liberal akhir tahun 60-an. Kebangkitan ini mendorong perempuan untuk ke luar rumah menjadi perempuan karier.

“Mengombinasikan antara perkawinan, menjadi ibu, dan berkarier bukanlah hal yang mudah!” tegas Betty Friedan, tokoh feminis, dalam bukunya berjudul The Second stage. Sebab, tidak semua perempuan bisa menjadi perempuan super yang mampu merawat anak-anaknya, mencintai suaminya, mengurus rumah tangganya dengan baik, dan membina kariernya di luar rumah. Kesimpulannya, perempuan harus mampu memilih dengan bijak: mana yang diprioritaskan?

Kemudian Friedan memberi contoh kasus nasib malang seorang perempuan yang memilih kariernya daripada perkawinan dan menjadi seorang ibu. Berikut penuturannya:

“Saya perempuan pertama di dalam manajemen di sini. Saya memberikan segala-galanya untuk pekerjaan. Mula-mula merasa menyenangkan, menerobos tempat yang tidak dimasuki oleh perempuan sebelumnya. Kini, pekerjaan itu hanyalah sekadar satu pekerjaan. Saya tidak tahan kembali ke apartemen saya sendiri setiap malam. Saya ingin mempunyai sebuah rumah, mungkin juga sebuah taman. Mungkin seharusnya saya mempunyai seorang anak, bahkan tanpa ayah sekalipun. Paling tidak, saya akan mempunyai sebuah keluarga. Seharusnya ada cara yang lebih baik untuk hidup.”

Dari kasus yang dipaparkan tersebut dapat disimpulkan bahwa “cara hidup yang lebih baik” adalah melakukan apa yang menjadi kodrat perempuan, yaitu memfungsikan rahimnya: mempunyai anak!

Bicara mengenai rahim, Simone de Beauvoir, seorang penulis, sastrawati dan filsuf Prancis memaparkan bahwa perempuan itu rahim dan sebutir telur (the woman is a womb and an ovary!). Paparannya itu ia tulis dalam bukunya yang berjudul The Second sex (Seks Kedua). Tulisnya, jika perempuan itu hanya sebagai rahim dan sebutir indung telur, ia tak lebih sebagai “betina” yang dianggap makhluk kelas dua oleh kaum lelaki karena hanya berfungsi sebagai “pabrik bayi”. Ia menolak keras anggapan tersebut dengan cara mengajak kaum perempuan menjadi perempuan modern.

Baginya, ciri-ciri perempuan modern adalah (harus) menjadi dirinya sendiri, punya pendapat, mampu melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah yang dihadapinya, punya inisiatif dan kreatif dalam mengubah nasibnya. Perempuan modern juga punya kesadaran penuh untuk sejajar atau menjadi mitra kaum lelaki. Dengan demikian, fungsi perempuan tidak hanya sekadar sebagai “pabrik bayi”.
..........................................................................................................................................................................................................................................................................
Adalah cuplikan dari buku yang berjudul “Her Story: Sejarah Perjalanan Payudara” yang ditulis oleh Naning Pranoto. Buku ini akan menyajikan sebuah pengetahuan yang dapat membuka mata kita mengenai kesetaraan gender. Fokus pembicaraan adalah seputar perempuan, baik gender maupun seksualitas, namun pengetahuan ini justru diperuntukkan kaum laki-laki, yang dipertegas dalam sampulnya dimana terdapat bintang yang bertuliskan "Lelaki wajib memiliki". Keseteraan gender akan terwujud jika saling memahami. Oleh sebab itu, pengetahuan yang melingkupi perempuan juga sepatutnya dipahami juga oleh laki-laki. Bahasa yang digunakan oleh Naning ini sangat ringan. Diawali dengan cerita, baik yang bersifat jenaka maupun yang melegenda di masyarakat, kemudian disentuhnya dengan pengetahuan-pengetahuan kesetaraan gender. Pengetahuan Arkeologi - atau melihat juga dari sisi anatomi, khususnya bagian tubuh vital perempuan - menjadi salah satu hal yang disorotinya untuk mengungkap pengetahuan yang seharunya diketahui oleh masyarakat dan mencoba membongkar mitos-mitos dalam bagian-bagian vital itu. Maka buku terbitan Kanisius ini sangat disarankan sebagai daftar bacaan Anda untuk membuka cakrawala kesetaraan gender. Selamat berburu buku.