by lukman wijaya b
Mereka
pikir inovasi teknologi secara niscaya adalah evolusi pengetahuan yang tidak
boleh di tolak dan akan menggantikan jenis pengetahuan sebelumnya. Wah…ini
keterlaluan. Dahulu, fotografi berambisi mengambil alih peran lukisan, wujud
pertama yang dicemooh adalah para pelukis realis. Seiring dengan kemampuan
teknis industri yang berkembang, fotografer belajar teknik yang diciptakan
pabrik kamera dan komputer untuk lebih memperluas kemampuan teknisnya merebut
gaya impresionis dan kubistik dari lukisan. Bagaimana dengan Surrealis? Mereka
lahir karena belajar juxtaposisi dari mekanika kamera daripada estetika. Kemampuan
estetik yang diklaim, justru telah terdapat pada lukisan dan tulisan, jauh pada
era sebelumnya. Lihat saja statement Breton jika tidak percaya.
Menarik
memang semua ini, efeknya melebar sampai dengan tampilan mengejutkan para
penonton sinema. Tetapi orisinalitas lukisan dan ketakziman dihadapan kualitas
estetik individu tetap belum pudar, belum terpatahkan. Meski telah
diproklamasikan kejatuhan estetikanya lewat kemunculan peran antagonis Warhol
dan Cameron.
Dibalik
upaya gagal yang tidak diproklamirkan tersebut, fotografi dan sinema mungkin
masih cukup nyaman apabila berpikir tentang dirinya sebagai jurnalisme,
daripada masuk kedalam jurang tanpa dasar estetika, ehmm…saya teringat Capa.
Dari rasa minder sebagian pengikutnya karena merasa gagal, hal demikian yang
coba di eksploitasi lebih jauh oleh Banks melalui visual analysis. Seperti
kelahirannya yang dididik dengan salah sehingga penuh dendam terhadap lukisan.
Kini pendidikan yang salah kembali di ulang, fotografi dan sinema harus
membenci tulisan. Memberikan tempat sekunder kepada tulisan sebagaimana dulu
fotografi, katanya, diperlakukan demikian. Bahkan jika perlu, menggantikan
tulisan dengan sinema. Hasil akhirnya meminta sebuah keahlian yang sulit
dicapai seperti melukis dan menulis coba diganti hanya dengan kehandalan dalam
memencet tombol dan membiarkan mesin bekerja. Kun faya kun, karya luar biasa
tercipta, bahkan sebelum mata berkedip selesai membuka kelopak.
Mungkin
benar apabila selama ini hanya terdapat sedikit pengakuan terhadap mereka yang
pantas disebut sebagai fotografer dan sutradara melalui rangkaian acara megah
dan bombastis. Namun bukankah lebih baik apabila mencurigai event semacam itu
adalah upaya pabrik kamera untuk mempromosikan alat mereka, teknik visual
effect mereka. Sedangkan persoalan keahlian individu seperti “pelukis”,
dihargai tidak lebih “sebagai buruh yang mencetak sepatu”. Eeh..apa anda
bilang, “Van Gogh mencetak sepatu”…. anda belajar estetika dimana!??? Datangi
saja seminar, pelatihan, atau pameran fotografi, pertanyaan dari peserta atau
pengunjungnya adalah, “apa merk kamera yang dipakai?”, “apa tele yang
dipakai?”. Terakhir, yang paling konyol, saat berbisik dengan temannya atau
narasumber pelatihan, “beli kamera dan tele-nya dimana, berapa harganya?”.
Lagipula
siapa hari ini yang tidak membawa kamera apabila keluar rumah, yang tidak
memencet tombol untuk mencintai wajahnya sendiri yang jelek. Boleh saja
menjadikan kamera memiliki kualitas representasi. Tapi metode pengajaran anda
penuh dendam terhadap pelukis dan penulis yang justru memiliki kekuatan
representasinya sendiri, terpisah dari apa yang dapat dilakukan oleh jari dan
mata yang menempel kamera. Teknik massa ini lebih menunjukan kemampuan sarana
produksi hari ini dan kemampuan masyarakat dalam mengkonsumsi. Sehingga
degradasinya sebagai sebuah keahlian khusus mustahil terulang seperti pada awal
abad 20 dimana kamera adalah deus ex machina, kamera adalah sebuah keahlian
klerus di studio. Kamera bagaimanapun juga masih lebih kuat dan berarti bagi
siapapun yang memegang dan mengoperasionalkannya apabila meletakkan makna
dokumenter pada karyanya. Melalui sebuah kesaksian; menanggung beban agar
materi, pengalaman, dan peristiwa tetap awet; bukan demi karya itu sendiri
namun demi sesuatu diluar karya itu. Darinya dia akan menyadari hutangnya pada
prespektif pelukis; darinya dia akan menyadari masih membutuhkan tulisan meski
gambar mampu menampilkan peristiwa namun tulisan yang memberikan logika atau
dialektika (ingat film bisu dan era ketika berita harus ditonton di gedung
bioskop). Karena jika berharap dirinya hadir sebagai sepenuhnya estetika dan
keahlian khusus, derajatnya dapat jatuh serendah mungkin kedalam kemampuan
massa untuk dapat memproduksi hal yang sama. Bukan karena kemampuan estetika
massa itu sendiri, namun karena produk yang konsumen pegang memang memiliki
spesifikasi pabrik yang cukup baik. Jadi kalau dipikir ulang kasihan juga si
Man Ray, betapa estetikanya kini terlihat lucu dan naïf. Bisa jadi dia akan
sangat jengkel dengan remaja jaman sekarang, bergigi tongos dan pakai kawat
suka iseng otak-atik gambar lewat corel. Atau orang mencoba berbangga ketika
mengetahui yang membuat kartun Ipin Upin adalah orang Indonesia. Kebanggaanya
disatu sisi adalah mengimbangi rasa minder dengan kartun produksi Disney,
disisi lain kebanggaannya tidak mencermati tentang era kemunculannya; kenapa
baru sekarang, kenapa tidak sejak awal abad 20 seperti Disney? Karena
kebanggaannya tidak memperdulikan bahwa teknologi penciptaan image kartun telah
menjadi massal dan kompak sekaligus mudah diakses oleh perusahaan manapun,
biaya dan waktu yang dipakai lebih murah dibanding era Mickey Mouse hitam
putih. Jadi sebenarnya kebanggaan tersebut karena apa? Karena syarat produksi
telah memungkinkan atau mengobati rasa minder?
Suatu ketika Van Gogh
pernah bercerita saat catnya habis dan tidak memiliki uang untuk membeli,
“hanya dengan gagang kayu sebuah sapu, seniman mampu menghasilkan karya”.
Tetapi hari ini tanpa kamera dan lensa yang handal, anda sulit dan mustahil
menghasilkan sesuatu yang layak disebut karya. Jika diperkenankan, saya
mengulang gerutu seorang teman: “Menjadi pelukis jauh lebih mudah daripada
menjadi fotografer, karena anda tidak harus sangat kaya untuk membeli alatnya.
Namun menjadi pelukis juga jauh lebih sulit dibanding dengan menjadi fotografer
yang keahliannya dapat diasah selama beberapa hari saja, lewat seminar, lewat
pelatihan”. Benarkah hal demikian dapat terjadi, mungkin saja…. ketika
kondisinya tepat.