Thursday, August 27, 2015

Kejutan Yang Sudah Diduga

By: Pandu Pramudita

Hari Kamis, 18 Juni 2015, seperti hari menegangkan lainnya, harap-harap cemas, menanti kelulusan tes AcEPT, satu versi tes toefl dari perguruan tinggi terkemuka di Indonesia yang berdiri di tanah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Karena dengan modal tes inilah saya bisa memenuhi syarat untuk mengikuti sidang tesis. Semua persyaratan bisa saya penuhi diawal acc, hanya saja terganjal dengan belum terpenuhinya skor tes ini. Maka sangat wajar bagi saya jika saya harus mencemaskan hasil tes bahasa inggris ini, dimana tes inilah yang akan menentukan cepat lambatnya saya bertahan di UGM (Universitas Gajah Mada) ini. Namun kabar gembira pertama saya dapatkan setelah pagi yang masih petang, ketika saya membuka pengumuman itu lewat online meski sebenarnya saya masih ragu apakah itu skor saya atau bukan. Pasalnya skor yang saya dapatkan adalah ambang batas dari skor minimal. 209 adalah angka kramat yang harus saya peroleh untuk mendapatkan pintu masa depan selanjutnya. Memang benar, modal untuk mencapai tujuan adalah dengan belajar sedang modal belajar itu hanya satu, tidak lain adalah sabar. Dengan kesabaran, menapaki tahap demi tahap maka akan sampai pada apa yang menjadi tujuan kita. Begitu juga dengan perolehan angka kramat itu. Sebelum saya mendaftar program S-2 ini, sekali saya mengikuti tes rutin AcEPT namun pada waktu itu saya hanya memperoleh skor 160 sekian – saya tidak ingat persisnya berapa, apakah 163, 164, atau 165, karena saya tahu saya tidak mencapai skor minimal lantas saya tidak mengambil sertifikatnya. Yang saya ingat adalah skor itu setara dengan 410 skor toefl dari batas skor 450. Bahkan untuk standar S-1 UGM saya tidak lulus. Setelah tes itu, saya tetap mengikuti ujian masuk, dimana salah satu tesnya adalah AcEPT. Skor meningkat tapi tidak berarti, karena masih jauh dari standar, yaitu 165. Skor 209 saya peroleh kali keempat setelah tesis saya di-acc oleh dosen pembimbing, dimana pertama meningkat menjadi 184, kemudian 203, dan 205. Jika semua dapat dinilai dengan angka, memang betapa mudahnya kita menilai diri sendiri, seberapa jauhkan kita sudah meningkat? Tapi kenyataannya, kita tidak hidup dalam angka-angka, jauh lebih banyak hal yang tidak dapat diwujudkan dengan angka, semisal seberapa jauhkah tingkat kesabaran kita?
Modal angka 209, dengan langkah percaya diri, saya berangkat ke Yogyakarta. Semangat semakin bertambah ketika saya menerima selembar kertas berukuran panjang sejengkal lebih sedikit dengan lebar setengah dari jarak ujung jari telunjuk dan ujung jempol ketika dibentang, sertifikat AcEPT dengan terbubuhnya angka 209 yang disertai rincian skor yang membentuk angka itu. Kabar gembira ini kemudian saya sampaikan kepada orang-orang yang selama ini mendukung saya, kedua orang tua, kekasih, dan seorang teman. Hanya empat orang? Setidaknya merekalah yang benar-benar ada di sisi saya ketika saya sedang berjuang. Tidak ada yang utama dari keempat orang tersebut, karena masing-masing dari mereka memberikan dukungan yang berbeda dari perjuangan saya. Kedua orang tua yang mendukung dari sisi finansial dan moral yang disokong juga oleh kekasih saya, sedang seorang teman saya selain moral juga tempat saya berdiskusi, mencurahkan apa yang menjadi kepusingan saya, teman penyusun strategi “perang”. Di hari itu pula, setelah saya memberikan kabar baik ini, saya menuju kampus, menemui petugas akademik fakultas untuk meminta persyaratan yang dapat saya ambil setelah skor bahasa inggri saya itu lulus dan dilanjutkan menuju langkah penuh percaya diri ke lantai 3, kantor sekretaris jurusan yang akan melanjutkan berkas-berkas saya untuk dapat didaftarkan sidang tesis. Tidak ada lagi kendala lain yang menghalangi saya untuk dapat mengikuti sidang tesis. Saya pulang dengan sedikit berbangga hati. Sedikit? Ya, karena saya harus tetap menanti kapan hari ujian itu dijadwalkan, karena saya harus berdebar menghadapi ujian itu. Meski kemudian dengan tidak saya duga, karena saya kira kabar itu akan saya dapatkan seminggu kemudian, pada hari jumat siang saya dihubungi oleh sekretaris jurusan untuk mengikuti sidang tesis yang dijadwalkan pada hari Selasa tanggal 23 Juni 2015. Langsung saja, kabar ini saya lanjutkan ke orang-orang terdekat saya tadi. Salah satunya kepada kekasih saya, August Lely.
Seminggu yang lalu, saya dan Bunda Lely, begitulah panggilan sayang saya kepada kekasihku, kami merencanakan untuk jalan-jalan seminggu penuh, pada minggu keempat bulan Juni itu, karena memang sudah lama sekali kami tidak berjumpa karena jarak yang teramat jauh. Namun, karena kesibukannya sebagai tenaga pendidik sekaligus tenaga sekolah untuk mengurus beberapa kegiatan di sekolahnya, ia harus mengurungkan niatnya bermain ke Jogja, kota awal dari hubungan yang sebentar lagi akan kami lanjutkan ke jengjang rumah tangga. Karena hal itu juga saya kemudian tidak begitu berharap banyak, dengan kata lain saya masih berharap kedatangannya. Namun, seingat saya, dulu saya juga pernah megatakan kepada Bunda Lely bahwa dia tidak perlu datang pada saat saya ujian tesis, cukup pada saat saya wisuda saja. Kemudian pada malam minggunya, Bunda Lely bertanya mengenai jam berapa saya ujian, dengan terbesit harapan dia datang saya menjawab dengan lengkap, jam 11 di ruang sidang jurusan sosiologi, lantai 3, fakultas ilmu sosial dan politik UGM.
Minggu malam, saya sedang belajar, memberi tanda setiap bab yang akan saya bicarakan. Sampai pada ponsel saya berbunyi, tanda sms masuk, dari kakak angkat saya yang menanyakan kesibukan malam itu. Saya mengatakan sedang belajar. Dia meminta saya untuk ke Kemiri. Entah urusan apa yang menyeret saya untuk ke Kemiri. Dalam pikiran saya, jangan-jangan Bunda Lely sudah ada di sana. Dengan sedikit senyam-senyum saya menggunakan celana panjang dan berjalan menuju ke lemari bawah tangga untuk mengambil jaket yang tergantung disana. Ibu kemudian bertanya kepada saya, mengenai tujuan saya, dan saya jawab mas Dika menyuruh saya ke Kemiri. Karena mulut saya sedikit tersungging sehingga ibu kembali bertanya “ada apa?”, dan saya menjawab “tidak apa-apa”. “GR” itulah yang biasa orang utarakan kepada seseorang yang terburu-buru berprasangka sebuah keuntungan atau hal baik akan datang kepadanya. Begitu juga saya. Dalam perjalanan saya juga berpikiran, dimana saya akan bertemu dengan Bunda Lely, apakah di Kemiri ada sebuah rumah makan dimana saya akan bertemu dengannya? Pemikiran saya tidak tanpa alasan, mengingat mereka dekat, leli dan keluarga mas Dika, dan kemungkinan bisa bekerja sama untuk mengejutkan saya. Tapi ternyata benar, itu hanya ke-GR-an saya, karena ternyata saya diminta mas Dika untuk membantunya menata kios pakaian yang baru saja dia sewa.
Senin pagi, saya berangkat ke Jogja, menuju ke tempat kos teman, untuk bermalam disana, agar di hari saya ujian tidak terburu-buru. Karena biasanya, dalam ujian, mahasiswa menyediakan makanan atau menitipkan sejumlah uang kepada admin jurusan untuk menyediakan makanan, maka saya memutuskan untuk ke kampus bersama teman saya, dimana dia juga memiliki urusan serupa, ia akan mendaftar ujian. Karena urusan kami sudah selesai, kami tidak tahu lagi mau kemana, maka kami memutuskan untuk tetap di kampus, duduk-duduk sambil berbincang. Teringat teman perempuan, Rhyme namanya, teman yang kami jadikan curhatan mengenai persiapan ujian. Kemudian saya diminta Lukmanovski untuk menghubungi Rhyme. Salah satu penggalan percakapan kami, saya menanyakan keberadaan dia pada waktu itu. Dia berkata sedang di kos, dan saya diminta Lukmanovski untuk menanyakan alamat kosnya, pikir Lukmanovski karena tidak tahu mau apalagi, kami ingin main ke sana sambil ngobrol-ngobrol. Tapi Rhyme melarang kami untuk berkunjung, karena dia sedang ingin bermalas-malasan. Namun, terbesit dalam pikiran saya, jangan-jangan Bunda Lely sedang di kosnya Rima, mengingat Bunda Lely dan Rhyme akan sangat mudah akrab, Rhyme dengan orang yang terbuka berteman dan Bunda Lely yang dapat berbincang dengan siapapun. Kemudian saya bertanya, apakah dia di kos sendirian atau ada orang lain? Tapi dia menjawab hanya sendiri. Rhyme bukanlah orang yang pintar berbohong sehingga saya tidak banyak berharap bahwa Bunda Lely akan ada disana meski tetap saja pikiran saya mencoba meraba kejutana itu dibersamai Rima. Karena gagal menemukan tempat membuang waktu, kemudian kami berpikir untuk ke toko-toko peralatan kantor mencari penjepit kertas berukuran besar untuk Lukmanovskiovski, mengingat tesis Lukmanovski setebal hampir satu rim dan tidak banyak klip kertas yang dapat menggigit kertas setebal itu. Koperasi kampus menjadi lokasi pertama yang kami kunjungi. Terlihat sebua rumah tingkat sedikit mewah, teringat disitu dulu adalah rumah kost adik kelas Bunda Lely, kemudian pertanyaan menduga-duga terngiang dikepala “jangan-jangan Bunda Lely di sana, ditempat adik kelasnya”. Tapi bayangan itu segera saya redam untuk memfokuskan ke pencarian klip kertas, yang akhirnya kami temukan di toko ketiga yang kami kunjungi. Malam hari sebelum hari “pengadilan terakhir”, pikiran ini tidak banyak lagi terfokus dalam ujian besok pagi. Masih bertanya-tanya dan bahkan meranang sebuah kalimat yang akan saya lontarkan kepadanya ketiga Bunda Lely benar-benar memberikan kejutan “Aku bertanya-tanya, kapankah kejutan itu akan muncul?”. Sedikit mengobrol dengan teman kemudian kantuk harus saya paksakan agar besok pagi saya siap “bertempur” menghadapi pertanyaan-pertanyaan “para dewa”.

Keesokan hari, hari dimana “pengadilan terakhir” akan segera dijatuhkan. Mungkin “terpaksa”, saya menyentuh air-air pagi untuk membasahi sekujur tubuh. Siraman air mungkin mengglontorkan busa-busa sabun yang ada di tubuh, tetapi tidak merontokkan pikiran saya kepada Bunda Lely. Justru saya tidak banyak terfokus mengenai apa-apa yang akan saya hadapi dalam ujian tesis, pikiran saya hanya tertuju pada Bunda Lely. Bahkan sebelum saya masuk ke ruang sidang, hanya sekali saya membuka transkrip tesis saya, dan itupun malam hari tadi. Menunggu waktu sidang, saya ditemani oleh Lukmanovski di kursi tunggu jurusan dengan kalimat-kalimat penggoda dari Lukmanovski mencoba merontokkan kepercayaan diri menghadapi sidang tesis. Namun nampakkan dia tidak pandai untuk merontokkan kepercayaan diri saya, karena pada waktu itu justru bukan tesis yang saya pikirkan tetapi Bunda Lely. Dengan tetap berpikiran Bunda Lely akan datang, saya duduk menghadap jendela yang dapat menembuskan pandangan ke muka tangga lantai ketiga, berharap akan muncul muka Bunda Lely dari bawah tangga itu dan saya dapat melihat kemunculannya. Mungkin karena mereka tidak mengetahui struktur tata letak ruangan di kampus UGM khususnya Fisipol, Putri, adik kelas Bunda Lely, melongok dari bawah tangga dan saya mengetahui kehadirannya, sontak saya langsung berdiri dan melongok ke jendela melihat siapakah yang ada di bawah sana. Benar saja dugaanku, Bunda Lely telah datang memberikan dukungan batin kepada saya dalam menghadapi sidang tesis. Seharusnya saya yang terkejut dalam keadaan itu, tetapi justru mereka, Putri dan Bunda Lely lah yang terkejut karena saya sudah tahu akan kehadiran mereka, ditambah saya bercerita bahwa saya sedang menduga-duga kehadiran Bunda Lely. Setelah sidang tesis saya berakhir, Bunda Lely bercerita bahwa sebenarnya dia masih sulit membagi waktu di sana, sampai hari minggu dia tidak terpikirkan untuk dapat datang ke sidang tesis saya, dan hari senin siang dia bertekat untuk pulang dan melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta, menuju belahan hatinya yang sedang memikirkan kedatangannya.

1 comments:

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com
Unknown said...

Satu romansa kehidupan yang dialami oleh sepasang kekasih yang terikat oleh batin. Meski mulut tidak berbicara, batin tidak akan menipun.