Kersi, Senjata Tradisional Jawa () |
by pandu pramudita
Harga diri adalah
harga mati, tidak dapat diusik, dan jika sekali diusik maka amarah akan merongrong,
suara bak halilintar mengglegar di angkasa, mata bagai pisau yang tajam
menusuk. Dalam kehidupan sosial, harga diri adalah sebuah harta terakhir yang
akan dipertahankan. Baik dari rakyat jelata sampai orang gedongan, semua siap
mempertahankan harga diri mereka masing-masing. Namun demikian, dengan adanya
pemisahan masyarakat dalam etnis-etnis, dimana tata cara hidup mereka, atau
budaya hidup mereka memiliki adat tersendiri, maka begitu juga letak harga diri
mereka, yang memiliki titik letak masing-masing. Ada yang sama tapi ada juga
yang berbeda. Bahkan untuk pria dan wanita juga memiliki letak harga dirinya
masing-masing.
Berbicar mengenai
harga diri ini, dan mengapa kemudian saya tertarik dengan pembicaraan mengenai
harga diri, telah menjadi perbincangan hangat di antara teman-teman saya, yaitu
video-video yang diunggah di internet oleh para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau
TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang sedang melakukan “perang video”, bahkan hal ini
telah diangkat dalam sebuah komedi meski disajikan secara kiasan. Ngono opo yo ra penak?, yo penak, rumangsamu
(Begitu apa ya tidak nyaman?, ya nyaman, kamu kira), adalah kalimat atau
kata yang menjadi ciri khas dalam video tersebut. Dari bahasa tersebut sudah
barang tentu kita akan dengan mudah menebak kalau orang tersebut atau
orang-orang yang mengunggah video tersebut adalah orang Jawa. Menanggapi
video-video tersebut, yang telah terunggah lebih dari 100 video, yang semula
hanya diunggah di jejaring sosial yaitu facebook
hingga masuk ke youtube, teman saya
kemudian mengingatkan saya akan sebuah pertanyaan yang membuat sampai sekarang
saya masih belum juga bisa menjawabnya, yaitu “Sekuat apa bahasa mengikat makna
etnisitas? Mengapa sering terjadi ingatan tentang etnisitas lebih mudah lewat
bahasa?”. Dugaan saya, pertanyaan-pertanyaan ini muncul dengan menggunakan di
antara 2 paradigma, yaitu Struktural atau Fenomenologi, dimana kedua pertanyaan
ini ditujukan untuk menyingkap identitas melalui bahasa yang digunakan. Bagi
Struktural, bahasa adalah struktur yang dibangun dari pengetahuan masyarakat,
sedang bagi Fenomenologi, bahasa hadir sebagai penyimpan ingatan pengetahuan
masyarakat, sehingga tidak heran jika kedua sudut pandang ini sama-sama akan
menujukan perhatiannya pada bahasa yang akan menyingkap identitas penggunanya. Namun di dalam tulisan ini saya tidak akan menyampaikan teori-teori tersebut, mungkin di kesempatan lain.
Saya tidak mengetahui
sejarah munculnya video ini secara pasti, hanya mereka atau yang menyimak
perkembangan video itu yang tahu barang kali. Namun dari unggahan-unggahan
awal, saya sedikit menyimpulkan bahwa video ini berawal dari tiga pria yang
mengunggah video kepada istri-istri mereka yang bekerja di luar negeri sebagai
TKW. Dengan bahasa Jawa dan mimik muka yang jenaka dan banyak tertawa dengan hanya
mulut yang menganga bak gua seorang pria yang saya pikir sebagai tokoh dan otak
pertama bercakap di depan video dari ponsel yang menyapa istri-istrinya di luar
negeri. Sapaan itu mungkin dikirim sebagai bentuk keluhan suami-suami kepada
istri-istri mereka yang bekerja lama di luar negeri dan hanya sesekali pulang
dalam waktu libur mereka. Kalimat-kalimat yang dilontarkan memang tidak ada
yang mengandung penekanan bagi istri-istri mereka untuk segera pulang hanya
candaan jika mereka nyaman jika istri mereka tidak ada di rumah dan dapat
menghabiskan uang mereka. Istri-istri mereka pun tidak mau kalah menanggapai
suami-suami itu, dengan bergaya dan balasan candaan jika disana pun mereka nyaman
dan lebih banyak jalan-jalan, menikmati fasilitas-fasilitas umum yangg
disediakan di negara itu.
Hanya saja tidak
demikian tanggapan bagi mereka tenaga kerja Indonesia yang menonton kedua video
itu. Justru prasangka negatif kemudian terlontar dalam bentuk unggahan-unggahan
mereka. Saya juga tidak tahu secara pasti, siapa yang pertama menanggapi 2 video
itu. Seorang wanita cantik dengan nada Jawa halus menaggapi video mengenai
suami-suami itu dengan jenaka namun dia tidak hanya menanggapi video
suami-istri itu, ia juga menceritakan kisah pribadinya, yang masih bercerita
mengenai kehidupan TKI yang ia jalani. Namun lebih banyak lagi tanggapan-tanggapan
negatif dan menekan, baik yang disampaikan secara perorangan atau ditemani
beberapa kawan di samping kanan kiri sebagai pendukung pernyataan orang yang
menjadi fokus utama video.
Meski tanggapan dan
cara mereka mengekspresikan tanggapan itu berbeda-beda, tetapi kalimat “Opo
ngono rumangsamu ora penak, yo penak, rumangsamu” tetap menjadi kalimat
favorit. Dari lokasi orang yang menanggapi terbagi menjadi dua yaitu yang masih
di dalam negeri dan di luar negeri. Dari jumlah orang, perorangan, dua orang,
dan berkelompok. Meski demikian, hanya seorang yang kemudian menjadi wajah
utama dalam video. Tapi, dari cara menanggapi, ada yang langsung menyampaikan
maksud dari mereka mengunggah video, ada yang menggunakan drama, dan ada pula
yang hanya bernyanyi. Dari segi hal yang ditanggapi kebanyakan mengenai materi
yang mereka dapatkan dari hasil pekerjaan mereka, seperti banyak gaji, atau
barang-barang yang mereka dapatkan dari hasil gaji, seperti ponsel, smartphone,
sampai kendaraan. Meski demikian, tidak sedikit pula yang hanya meredakan agar
tidak saling menyerang lewat video dengan memamerkan hasil mereka. Justru
mereka mengatakan derita mereka di tanah orang, dimana makan hanya seadanya,
juragan yang ini dan itu, ada pula yang sedang mengunggah saat akan mengirim
uang ke keluarganya yang ada di kampung.
Melankolis menjadi
latar dalam mereka menyampaikan perasaan itu. Tapi nampaknya hanyut dalam
jenaka pukulan atau bantingan-bantingan yang terdengar lebih keras dari pada
dayu mendayu jeritan. Memang secara sekilas saya tertawa, dan beberapa video
harus ditambah berbahak-bahak, namun sebenarnya saya juga sekaligus miris
melihat video-video ini. Saya justru heran dan tidak mengira ketika seorang
wanita dengan bahasa yang ngoko tapi bernada lembut suara lirih, takut
terdengar majikan, saya menduka dari latar dia mengambil video itu berada di
sebuah gudang, atau ruang yang jauh dari pendengaran yang bebas berkeliaran.
Namun wanita itu memang jelas bermaksud untuk melawan dari tanggapan
istri-istri itu. Secara perlahan tapi pasti, dia menunjukkan satu persatu
smartphone yang ia miliki, dan kemudian meunjukkan sebuah palu berukuran besar
yang biasa untuk menghantam tembok. Dijajarlah alat-alat komunikasi itu di
lantai dekat kaki sedikit jauh, kemudian dengan tangan yang memegang di bawah
besi pemukul, tidak di pangkal tiangnya, ia ayunkan menghantam
smartphone-smartphone itu dan memperlihatkan kacanya yang retak. Dia ingin
menunjukkan bahwa dia juga bisa membeli alat-alat elektronik dengan mudah dengan
gajinya sendiri. Saya tidak tahu apakah ini video pertama atau yang keberapa yang
menunjukkan perusakan alat-alat elektronik yang dimiliki, karena banyak juga
yang mengunggah video dan menunjukkan mereka merusak handphone, kamera, laptop,
baik dengan cara dibanting, dipukul dengan palu, dibakar, ataupun direbus.
Dengan bahasa yang jenaka, video-video itu menggugah canda bagi yang menonton
sekaligus miris melihatnya. Selain TKI/TKW mengunggah video-video yang
menunjukkan kenikmatan mereka merusak alat-alat komunikasi, ada juga yang menanggapi
video-video yang telah beredar dengan tubuh mereka, beberapa mengandung unsur
seksualitas, dan ada juga yang bernyanyi dan bergoyang “dumang”.
Menjadi miris ketika
melihat video-video tersebut terunggah dengan gagah di tengah polemik kematian
TKI/TKW di tanah orang yang sedang diusut oleh pemerintah agar mencapai penyelesaian.
Harga diri adalah salah satu kehormatan bagi seorang manusia, terlebih dalam
tradisi Jawa selama berabad-abad yang tersimpan dalam senjatanya berupa keris. Ekonomi yang menjadi sebuah
materaliasi harga diri yang diusik oleh orang lain menjadi cambuk pertunjukkan.
Tidak ada lagi makna yang melekat pada keris
kecuali sebagai senjata, karena tidak lagi ada guna lain selain untuk melukai
orang lain. Oleh sebab itu, keris
dalam tradisi Jawa selalu disandang di bagian belakang tubuh si pemakai,
disembunyikan. Bagi saya justru bukan karena orang Jawa suka “main belakang”,
tetapi karena mereka tahu karena hanya image
kekerasanlah yang melekat pada senjata itu. Jika keris sudah dipertontonkan, maka hanya akan ada orang yang terluka.
Kata orang, luka di tubuh cepat-lambat akan sembuh dan mungkin juga akan hilang
tidak membekas, tetapi luka di hati akan selalu membekas dan masih akan selalu
terasa sakit.
Jika ingin menonton "perang video" TKI/TKW itu, anda dapat klik di sini.
1 comments:
Bagi orang Jawa, yang mengerti bahasa yang digunakan dalam video itu akan merasa jenaka melihatnya. Tetapi jika harus dilihat lebih jauh lagi, akan terasa miris, sedang ketika lebih dekat akan terasa sedih. Melankolis dalam balutan jenaka, wujud keprihatinan dan perjuangan di tanah orang yang tersakiti. Ini bukanlah karya sastra, sebuah realita kehidupan di sebagian mereka pekerja di luar negeri.
Post a Comment