Monday, August 31, 2015

Getaran Keris di Tanah Sabrang: Perang Video TKI/TKW dalam YouTube

Kersi, Senjata Tradisional Jawa (forpal.blogspot.com)

by pandu pramudita

Harga diri adalah harga mati, tidak dapat diusik, dan jika sekali diusik maka amarah akan merongrong, suara bak halilintar mengglegar di angkasa, mata bagai pisau yang tajam menusuk. Dalam kehidupan sosial, harga diri adalah sebuah harta terakhir yang akan dipertahankan. Baik dari rakyat jelata sampai orang gedongan, semua siap mempertahankan harga diri mereka masing-masing. Namun demikian, dengan adanya pemisahan masyarakat dalam etnis-etnis, dimana tata cara hidup mereka, atau budaya hidup mereka memiliki adat tersendiri, maka begitu juga letak harga diri mereka, yang memiliki titik letak masing-masing. Ada yang sama tapi ada juga yang berbeda. Bahkan untuk pria dan wanita juga memiliki letak harga dirinya masing-masing.

Berbicar mengenai harga diri ini, dan mengapa kemudian saya tertarik dengan pembicaraan mengenai harga diri, telah menjadi perbincangan hangat di antara teman-teman saya, yaitu video-video yang diunggah di internet oleh para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang sedang melakukan “perang video”, bahkan hal ini telah diangkat dalam sebuah komedi meski disajikan secara kiasan. Ngono opo yo ra penak?, yo penak, rumangsamu (Begitu apa ya tidak nyaman?, ya nyaman, kamu kira), adalah kalimat atau kata yang menjadi ciri khas dalam video tersebut. Dari bahasa tersebut sudah barang tentu kita akan dengan mudah menebak kalau orang tersebut atau orang-orang yang mengunggah video tersebut adalah orang Jawa. Menanggapi video-video tersebut, yang telah terunggah lebih dari 100 video, yang semula hanya diunggah di jejaring sosial yaitu facebook hingga masuk ke youtube, teman saya kemudian mengingatkan saya akan sebuah pertanyaan yang membuat sampai sekarang saya masih belum juga bisa menjawabnya, yaitu “Sekuat apa bahasa mengikat makna etnisitas? Mengapa sering terjadi ingatan tentang etnisitas lebih mudah lewat bahasa?”. Dugaan saya, pertanyaan-pertanyaan ini muncul dengan menggunakan di antara 2 paradigma, yaitu Struktural atau Fenomenologi, dimana kedua pertanyaan ini ditujukan untuk menyingkap identitas melalui bahasa yang digunakan. Bagi Struktural, bahasa adalah struktur yang dibangun dari pengetahuan masyarakat, sedang bagi Fenomenologi, bahasa hadir sebagai penyimpan ingatan pengetahuan masyarakat, sehingga tidak heran jika kedua sudut pandang ini sama-sama akan menujukan perhatiannya pada bahasa yang akan menyingkap identitas penggunanya. Namun di dalam tulisan ini saya tidak akan menyampaikan teori-teori tersebut, mungkin di kesempatan lain.

Saya tidak mengetahui sejarah munculnya video ini secara pasti, hanya mereka atau yang menyimak perkembangan video itu yang tahu barang kali. Namun dari unggahan-unggahan awal, saya sedikit menyimpulkan bahwa video ini berawal dari tiga pria yang mengunggah video kepada istri-istri mereka yang bekerja di luar negeri sebagai TKW. Dengan bahasa Jawa dan mimik muka yang jenaka dan banyak tertawa dengan hanya mulut yang menganga bak gua seorang pria yang saya pikir sebagai tokoh dan otak pertama bercakap di depan video dari ponsel yang menyapa istri-istrinya di luar negeri. Sapaan itu mungkin dikirim sebagai bentuk keluhan suami-suami kepada istri-istri mereka yang bekerja lama di luar negeri dan hanya sesekali pulang dalam waktu libur mereka. Kalimat-kalimat yang dilontarkan memang tidak ada yang mengandung penekanan bagi istri-istri mereka untuk segera pulang hanya candaan jika mereka nyaman jika istri mereka tidak ada di rumah dan dapat menghabiskan uang mereka. Istri-istri mereka pun tidak mau kalah menanggapai suami-suami itu, dengan bergaya dan balasan candaan jika disana pun mereka nyaman dan lebih banyak jalan-jalan, menikmati fasilitas-fasilitas umum yangg disediakan di negara itu.

Hanya saja tidak demikian tanggapan bagi mereka tenaga kerja Indonesia yang menonton kedua video itu. Justru prasangka negatif kemudian terlontar dalam bentuk unggahan-unggahan mereka. Saya juga tidak tahu secara pasti, siapa yang pertama menanggapi 2 video itu. Seorang wanita cantik dengan nada Jawa halus menaggapi video mengenai suami-suami itu dengan jenaka namun dia tidak hanya menanggapi video suami-istri itu, ia juga menceritakan kisah pribadinya, yang masih bercerita mengenai kehidupan TKI yang ia jalani. Namun lebih banyak lagi tanggapan-tanggapan negatif dan menekan, baik yang disampaikan secara perorangan atau ditemani beberapa kawan di samping kanan kiri sebagai pendukung pernyataan orang yang menjadi fokus utama video.

Meski tanggapan dan cara mereka mengekspresikan tanggapan itu berbeda-beda, tetapi kalimat “Opo ngono rumangsamu ora penak, yo penak, rumangsamu” tetap menjadi kalimat favorit. Dari lokasi orang yang menanggapi terbagi menjadi dua yaitu yang masih di dalam negeri dan di luar negeri. Dari jumlah orang, perorangan, dua orang, dan berkelompok. Meski demikian, hanya seorang yang kemudian menjadi wajah utama dalam video. Tapi, dari cara menanggapi, ada yang langsung menyampaikan maksud dari mereka mengunggah video, ada yang menggunakan drama, dan ada pula yang hanya bernyanyi. Dari segi hal yang ditanggapi kebanyakan mengenai materi yang mereka dapatkan dari hasil pekerjaan mereka, seperti banyak gaji, atau barang-barang yang mereka dapatkan dari hasil gaji, seperti ponsel, smartphone, sampai kendaraan. Meski demikian, tidak sedikit pula yang hanya meredakan agar tidak saling menyerang lewat video dengan memamerkan hasil mereka. Justru mereka mengatakan derita mereka di tanah orang, dimana makan hanya seadanya, juragan yang ini dan itu, ada pula yang sedang mengunggah saat akan mengirim uang ke keluarganya yang ada di kampung.

Melankolis menjadi latar dalam mereka menyampaikan perasaan itu. Tapi nampaknya hanyut dalam jenaka pukulan atau bantingan-bantingan yang terdengar lebih keras dari pada dayu mendayu jeritan. Memang secara sekilas saya tertawa, dan beberapa video harus ditambah berbahak-bahak, namun sebenarnya saya juga sekaligus miris melihat video-video ini. Saya justru heran dan tidak mengira ketika seorang wanita dengan bahasa yang ngoko tapi bernada lembut suara lirih, takut terdengar majikan, saya menduka dari latar dia mengambil video itu berada di sebuah gudang, atau ruang yang jauh dari pendengaran yang bebas berkeliaran. Namun wanita itu memang jelas bermaksud untuk melawan dari tanggapan istri-istri itu. Secara perlahan tapi pasti, dia menunjukkan satu persatu smartphone yang ia miliki, dan kemudian meunjukkan sebuah palu berukuran besar yang biasa untuk menghantam tembok. Dijajarlah alat-alat komunikasi itu di lantai dekat kaki sedikit jauh, kemudian dengan tangan yang memegang di bawah besi pemukul, tidak di pangkal tiangnya, ia ayunkan menghantam smartphone-smartphone itu dan memperlihatkan kacanya yang retak. Dia ingin menunjukkan bahwa dia juga bisa membeli alat-alat elektronik dengan mudah dengan gajinya sendiri. Saya tidak tahu apakah ini video pertama atau yang keberapa yang menunjukkan perusakan alat-alat elektronik yang dimiliki, karena banyak juga yang mengunggah video dan menunjukkan mereka merusak handphone, kamera, laptop, baik dengan cara dibanting, dipukul dengan palu, dibakar, ataupun direbus. Dengan bahasa yang jenaka, video-video itu menggugah canda bagi yang menonton sekaligus miris melihatnya. Selain TKI/TKW mengunggah video-video yang menunjukkan kenikmatan mereka merusak alat-alat komunikasi, ada juga yang menanggapi video-video yang telah beredar dengan tubuh mereka, beberapa mengandung unsur seksualitas, dan ada juga yang bernyanyi dan bergoyang “dumang”.

Menjadi miris ketika melihat video-video tersebut terunggah dengan gagah di tengah polemik kematian TKI/TKW di tanah orang yang sedang diusut oleh pemerintah agar mencapai penyelesaian. Harga diri adalah salah satu kehormatan bagi seorang manusia, terlebih dalam tradisi Jawa selama berabad-abad yang tersimpan dalam senjatanya berupa keris. Ekonomi yang menjadi sebuah materaliasi harga diri yang diusik oleh orang lain menjadi cambuk pertunjukkan. Tidak ada lagi makna yang melekat pada keris kecuali sebagai senjata, karena tidak lagi ada guna lain selain untuk melukai orang lain. Oleh sebab itu, keris dalam tradisi Jawa selalu disandang di bagian belakang tubuh si pemakai, disembunyikan. Bagi saya justru bukan karena orang Jawa suka “main belakang”, tetapi karena mereka tahu karena hanya image kekerasanlah yang melekat pada senjata itu. Jika keris sudah dipertontonkan, maka hanya akan ada orang yang terluka. Kata orang, luka di tubuh cepat-lambat akan sembuh dan mungkin juga akan hilang tidak membekas, tetapi luka di hati akan selalu membekas dan masih akan selalu terasa sakit. 

Jika ingin menonton "perang video" TKI/TKW itu, anda dapat klik di sini.

1 comments:

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com
Unknown said...

Bagi orang Jawa, yang mengerti bahasa yang digunakan dalam video itu akan merasa jenaka melihatnya. Tetapi jika harus dilihat lebih jauh lagi, akan terasa miris, sedang ketika lebih dekat akan terasa sedih. Melankolis dalam balutan jenaka, wujud keprihatinan dan perjuangan di tanah orang yang tersakiti. Ini bukanlah karya sastra, sebuah realita kehidupan di sebagian mereka pekerja di luar negeri.