By: Pandu Pramudita
Hari
Kamis, 18 Juni 2015, seperti hari menegangkan lainnya, harap-harap cemas,
menanti kelulusan tes AcEPT, satu versi tes toefl dari perguruan tinggi
terkemuka di Indonesia yang berdiri di tanah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Karena dengan modal tes inilah saya bisa memenuhi syarat untuk mengikuti sidang
tesis. Semua persyaratan bisa saya penuhi diawal acc, hanya saja terganjal dengan belum terpenuhinya skor tes ini.
Maka sangat wajar bagi saya jika saya harus mencemaskan hasil tes bahasa
inggris ini, dimana tes inilah yang akan menentukan cepat lambatnya saya
bertahan di UGM (Universitas Gajah Mada) ini. Namun kabar gembira pertama saya
dapatkan setelah pagi yang masih petang, ketika saya membuka pengumuman itu lewat
online meski sebenarnya saya masih
ragu apakah itu skor saya atau bukan. Pasalnya skor yang saya dapatkan adalah
ambang batas dari skor minimal. 209 adalah angka kramat yang harus saya peroleh
untuk mendapatkan pintu masa depan selanjutnya. Memang benar, modal untuk
mencapai tujuan adalah dengan belajar sedang modal belajar itu hanya satu,
tidak lain adalah sabar. Dengan kesabaran, menapaki tahap demi tahap maka akan
sampai pada apa yang menjadi tujuan kita. Begitu juga dengan perolehan angka
kramat itu. Sebelum saya mendaftar program S-2 ini, sekali saya mengikuti tes
rutin AcEPT namun pada waktu itu saya hanya memperoleh skor 160 sekian – saya
tidak ingat persisnya berapa, apakah 163, 164, atau 165, karena saya tahu saya
tidak mencapai skor minimal lantas saya tidak mengambil sertifikatnya. Yang
saya ingat adalah skor itu setara dengan 410 skor toefl dari batas skor 450.
Bahkan untuk standar S-1 UGM saya tidak lulus. Setelah tes itu, saya tetap
mengikuti ujian masuk, dimana salah satu tesnya adalah AcEPT. Skor meningkat
tapi tidak berarti, karena masih jauh dari standar, yaitu 165. Skor 209 saya
peroleh kali keempat setelah tesis saya di-acc
oleh dosen pembimbing, dimana pertama meningkat menjadi 184, kemudian 203, dan
205. Jika semua dapat dinilai dengan angka, memang betapa mudahnya kita menilai
diri sendiri, seberapa jauhkan kita sudah meningkat? Tapi kenyataannya, kita
tidak hidup dalam angka-angka, jauh lebih banyak hal yang tidak dapat
diwujudkan dengan angka, semisal seberapa jauhkah tingkat kesabaran kita?
Modal
angka 209, dengan langkah percaya diri, saya berangkat ke Yogyakarta. Semangat
semakin bertambah ketika saya menerima selembar kertas berukuran panjang
sejengkal lebih sedikit dengan lebar setengah dari jarak ujung jari telunjuk
dan ujung jempol ketika dibentang, sertifikat AcEPT dengan terbubuhnya angka
209 yang disertai rincian skor yang membentuk angka itu. Kabar gembira ini
kemudian saya sampaikan kepada orang-orang yang selama ini mendukung saya,
kedua orang tua, kekasih, dan seorang teman. Hanya empat orang? Setidaknya
merekalah yang benar-benar ada di sisi saya ketika saya sedang berjuang. Tidak
ada yang utama dari keempat orang tersebut, karena masing-masing dari mereka
memberikan dukungan yang berbeda dari perjuangan saya. Kedua orang tua yang mendukung
dari sisi finansial dan moral yang disokong juga oleh kekasih saya, sedang
seorang teman saya selain moral juga tempat saya berdiskusi, mencurahkan apa
yang menjadi kepusingan saya, teman penyusun strategi “perang”. Di hari itu
pula, setelah saya memberikan kabar baik ini, saya menuju kampus, menemui
petugas akademik fakultas untuk meminta persyaratan yang dapat saya ambil
setelah skor bahasa inggri saya itu lulus dan dilanjutkan menuju langkah penuh
percaya diri ke lantai 3, kantor sekretaris jurusan yang akan melanjutkan
berkas-berkas saya untuk dapat didaftarkan sidang tesis. Tidak ada lagi kendala
lain yang menghalangi saya untuk dapat mengikuti sidang tesis. Saya pulang
dengan sedikit berbangga hati. Sedikit? Ya, karena saya harus tetap menanti
kapan hari ujian itu dijadwalkan, karena saya harus berdebar menghadapi ujian
itu. Meski kemudian dengan tidak saya duga, karena saya kira kabar itu akan
saya dapatkan seminggu kemudian, pada hari jumat siang saya dihubungi oleh
sekretaris jurusan untuk mengikuti sidang tesis yang dijadwalkan pada hari
Selasa tanggal 23 Juni 2015. Langsung saja, kabar ini saya lanjutkan ke
orang-orang terdekat saya tadi. Salah satunya kepada kekasih saya, August Lely.
Seminggu
yang lalu, saya dan Bunda Lely, begitulah panggilan sayang saya kepada
kekasihku, kami merencanakan untuk jalan-jalan seminggu penuh, pada minggu
keempat bulan Juni itu, karena memang sudah lama sekali kami tidak berjumpa
karena jarak yang teramat jauh. Namun, karena kesibukannya sebagai tenaga
pendidik sekaligus tenaga sekolah untuk mengurus beberapa kegiatan di
sekolahnya, ia harus mengurungkan niatnya bermain ke Jogja, kota awal dari
hubungan yang sebentar lagi akan kami lanjutkan ke jengjang rumah tangga.
Karena hal itu juga saya kemudian tidak begitu berharap banyak, dengan kata
lain saya masih berharap kedatangannya. Namun, seingat saya, dulu saya juga
pernah megatakan kepada Bunda Lely bahwa dia tidak perlu datang pada saat saya
ujian tesis, cukup pada saat saya wisuda saja. Kemudian pada malam minggunya, Bunda
Lely bertanya mengenai jam berapa saya ujian, dengan terbesit harapan dia datang
saya menjawab dengan lengkap, jam 11 di ruang sidang jurusan sosiologi, lantai
3, fakultas ilmu sosial dan politik UGM.
Minggu
malam, saya sedang belajar, memberi tanda setiap bab yang akan saya bicarakan.
Sampai pada ponsel saya berbunyi, tanda sms masuk, dari kakak angkat saya yang
menanyakan kesibukan malam itu. Saya mengatakan sedang belajar. Dia meminta
saya untuk ke Kemiri. Entah urusan apa yang menyeret saya untuk ke Kemiri.
Dalam pikiran saya, jangan-jangan Bunda Lely sudah ada di sana. Dengan sedikit
senyam-senyum saya menggunakan celana panjang dan berjalan menuju ke lemari
bawah tangga untuk mengambil jaket yang tergantung disana. Ibu kemudian
bertanya kepada saya, mengenai tujuan saya, dan saya jawab mas Dika menyuruh
saya ke Kemiri. Karena mulut saya sedikit tersungging sehingga ibu kembali
bertanya “ada apa?”, dan saya menjawab “tidak apa-apa”. “GR” itulah yang biasa
orang utarakan kepada seseorang yang terburu-buru berprasangka sebuah
keuntungan atau hal baik akan datang kepadanya. Begitu juga saya. Dalam perjalanan
saya juga berpikiran, dimana saya akan bertemu dengan Bunda Lely, apakah di
Kemiri ada sebuah rumah makan dimana saya akan bertemu dengannya? Pemikiran
saya tidak tanpa alasan, mengingat mereka dekat, leli dan keluarga mas Dika,
dan kemungkinan bisa bekerja sama untuk mengejutkan saya. Tapi ternyata benar,
itu hanya ke-GR-an saya, karena ternyata saya diminta mas Dika untuk
membantunya menata kios pakaian yang baru saja dia sewa.
Senin
pagi, saya berangkat ke Jogja, menuju ke tempat kos teman, untuk bermalam
disana, agar di hari saya ujian tidak terburu-buru. Karena biasanya, dalam
ujian, mahasiswa menyediakan makanan atau menitipkan sejumlah uang kepada admin
jurusan untuk menyediakan makanan, maka saya memutuskan untuk ke kampus bersama
teman saya, dimana dia juga memiliki urusan serupa, ia akan mendaftar ujian.
Karena urusan kami sudah selesai, kami tidak tahu lagi mau kemana, maka kami
memutuskan untuk tetap di kampus, duduk-duduk sambil berbincang. Teringat teman
perempuan, Rhyme namanya, teman yang kami jadikan curhatan mengenai persiapan
ujian. Kemudian saya diminta Lukmanovski untuk menghubungi Rhyme. Salah satu
penggalan percakapan kami, saya menanyakan keberadaan dia pada waktu itu. Dia
berkata sedang di kos, dan saya diminta Lukmanovski untuk menanyakan alamat
kosnya, pikir Lukmanovski karena tidak tahu mau apalagi, kami ingin main ke
sana sambil ngobrol-ngobrol. Tapi Rhyme melarang kami untuk berkunjung, karena
dia sedang ingin bermalas-malasan. Namun, terbesit dalam pikiran saya,
jangan-jangan Bunda Lely sedang di kosnya Rima, mengingat Bunda Lely dan Rhyme
akan sangat mudah akrab, Rhyme dengan orang yang terbuka berteman dan Bunda
Lely yang dapat berbincang dengan siapapun. Kemudian saya bertanya, apakah dia
di kos sendirian atau ada orang lain? Tapi dia menjawab hanya sendiri. Rhyme
bukanlah orang yang pintar berbohong sehingga saya tidak banyak berharap bahwa Bunda
Lely akan ada disana meski tetap saja pikiran saya mencoba meraba kejutana itu
dibersamai Rima. Karena gagal menemukan tempat membuang waktu, kemudian kami
berpikir untuk ke toko-toko peralatan kantor mencari penjepit kertas berukuran
besar untuk Lukmanovskiovski, mengingat tesis Lukmanovski setebal hampir satu
rim dan tidak banyak klip kertas yang dapat menggigit kertas setebal itu. Koperasi
kampus menjadi lokasi pertama yang kami kunjungi. Terlihat sebua rumah tingkat
sedikit mewah, teringat disitu dulu adalah rumah kost adik kelas Bunda Lely,
kemudian pertanyaan menduga-duga terngiang dikepala “jangan-jangan Bunda Lely
di sana, ditempat adik kelasnya”. Tapi bayangan itu segera saya redam untuk
memfokuskan ke pencarian klip kertas, yang akhirnya kami temukan di toko ketiga
yang kami kunjungi. Malam hari sebelum hari “pengadilan terakhir”, pikiran ini
tidak banyak lagi terfokus dalam ujian besok pagi. Masih bertanya-tanya dan
bahkan meranang sebuah kalimat yang akan saya lontarkan kepadanya ketiga Bunda
Lely benar-benar memberikan kejutan “Aku bertanya-tanya, kapankah kejutan itu
akan muncul?”. Sedikit mengobrol dengan teman kemudian kantuk harus saya
paksakan agar besok pagi saya siap “bertempur” menghadapi pertanyaan-pertanyaan
“para dewa”.
Keesokan
hari, hari dimana “pengadilan terakhir” akan segera dijatuhkan. Mungkin “terpaksa”,
saya menyentuh air-air pagi untuk membasahi sekujur tubuh. Siraman air mungkin
mengglontorkan busa-busa sabun yang ada di tubuh, tetapi tidak merontokkan
pikiran saya kepada Bunda Lely. Justru saya tidak banyak terfokus mengenai
apa-apa yang akan saya hadapi dalam ujian tesis, pikiran saya hanya tertuju
pada Bunda Lely. Bahkan sebelum saya masuk ke ruang sidang, hanya sekali saya
membuka transkrip tesis saya, dan itupun malam hari tadi. Menunggu waktu sidang,
saya ditemani oleh Lukmanovski di kursi tunggu jurusan dengan kalimat-kalimat
penggoda dari Lukmanovski mencoba merontokkan kepercayaan diri menghadapi
sidang tesis. Namun nampakkan dia tidak pandai untuk merontokkan kepercayaan
diri saya, karena pada waktu itu justru bukan tesis yang saya pikirkan tetapi Bunda
Lely. Dengan tetap berpikiran Bunda Lely akan datang, saya duduk menghadap
jendela yang dapat menembuskan pandangan ke muka tangga lantai ketiga, berharap
akan muncul muka Bunda Lely dari bawah tangga itu dan saya dapat melihat
kemunculannya. Mungkin karena mereka tidak mengetahui struktur tata letak
ruangan di kampus UGM khususnya Fisipol, Putri, adik kelas Bunda Lely, melongok
dari bawah tangga dan saya mengetahui kehadirannya, sontak saya langsung
berdiri dan melongok ke jendela melihat siapakah yang ada di bawah sana. Benar saja
dugaanku, Bunda Lely telah datang memberikan dukungan batin kepada saya dalam
menghadapi sidang tesis. Seharusnya saya yang terkejut dalam keadaan itu,
tetapi justru mereka, Putri dan Bunda Lely lah yang terkejut karena saya sudah
tahu akan kehadiran mereka, ditambah saya bercerita bahwa saya sedang
menduga-duga kehadiran Bunda Lely. Setelah sidang tesis saya berakhir, Bunda
Lely bercerita bahwa sebenarnya dia masih sulit membagi waktu di sana, sampai
hari minggu dia tidak terpikirkan untuk dapat datang ke sidang tesis saya, dan
hari senin siang dia bertekat untuk pulang dan melanjutkan perjalanan menuju
Yogyakarta, menuju belahan hatinya yang sedang memikirkan kedatangannya.
1 comments:
Satu romansa kehidupan yang dialami oleh sepasang kekasih yang terikat oleh batin. Meski mulut tidak berbicara, batin tidak akan menipun.
Post a Comment