by: pandu pramudita
Sebenarnya catatan
ini saya alami di pertengahan tahun 2014, hanya saja saya lupa menyimpan di file
mana. Baru kali ini saya menemukan dan berkesempatan untuk mengunggahnya. Cerita
Wanita Berkerudung Merah itu memperlihatkan mimik dan laku berbeda dengan
maksud dari tindakannya. Hanya dengan terus-menerus merenungkannyalah kita
dapat memahami apa yang dimaksud si wanita itu.
Seminggu itu, tradisi
makan malam sebelum menjelang tidur tumbuh dalam kebiasaan saya. Jalanan yang
mulai menyepi di jalanan Yogyakarta dini hari tak memberikan kesunyian bagi perut yang
lapar menjelang mata terpejam. Nasi lempok dengan lauk ayam goreng dicampur pecel, tak lupa terong goreng yang
disantap dengan sambal tomat yang pedas. Rasa pedas bercampur manis membuat saya lupa
jika saya adalah seorang yang tidak tahan dengan pedas, kata orang adalah lidah Jawa yang suka manis. Seperti malam
sebelumnya, malam ini pun saya berjalan menuju sebuah tenda pedagang kaki lima
di sisi Jalan Kaliurang, dekat tempat saya tinggal di Yogyakarta. Dan seminggu
itu pula, saya selalu membeli makanan dengan menu makanan yang sama di warung yang sama.
Seorang wanita
berkerudung merah, berpakaian hitam, duduk menunggu di kursi pelanggan,
menengok ke sepanjang jalan, barang kali akan ada pelanggan yang berjalan atau
singgah di warung nasi lempoknya, dan seorang pria yang duduk di belakang
gerobak berdiam tak memberikan suatu aksi yang lebih bagi dagangannya, tak
tahu tidak seperti biasa ketika saya datang yang menyambut menanyakan pesanan
kepada si pembeli. Selalu wanita berkerudung merah itu yang melayani
setiap apa yang saya pesan dengan di dampingi pria itu yang hanya duduk tak
beranjak dari kursinya. Pada waktu saya datang dan masuk ke tenda tersebut,
terlihat dua pasang, laki-laki dan perempuan yang sedang menyantap pesanan
mereka di meja pelanggan, yang memanjang dari selatan-utara, diterangi lampu putih.
Seperti biasa, nasi lempok dengan lauk ayam dan terong goreng yang saya pesan
pada wanita itu. Belum kelar pesanan saya matang, salah satu pasangan telah
menyelesaikan makan malamnya dan membayar sejumlah uang pada wanita berkerudung
merah, si pria tetap duduk di belakang gerobak. Setelah sepasang pelanggan itu
pergi, si pria ingin beranjak pergi, mungkin akan memberesi piring kotor yang
telah usai dipakai oleh pelanggan tadi untuk makan di situ, namun dengan
seketika si wanita menarik bajunya dan menyeret untuk duduk kembali sambil
berkata “tak saduk sampeyan (aku
tendang (di bagian kaki) kamu)” dengan nada layaknya orang Lamongan. Pria itu hanya
membalasnya dengan cengengesan (cengar-cengir). “Apa
yang sedang terjadi?”, tanya saya dalam pikiran. Setelah si wanita usai menggoreng ayam dan terong
yang saya pesan dan kemudian membungkusnya beserta nasi dan sambal, kemudia dia
menghampiri saya untuk memberikan pesanan tersebut seraya menyebutkan harga
pesanan tersebut. Lalu saya beranjak dari tempat duduk dan berjalan
menghampiri seraya mengeluarkan uang dari dompet. Sekelebat saya melihat ke arah pria
itu dengan heran, mengapa celana yang satunya panjang dan yang satunya
digulung? Mataku terfokus di lututnya yang pada waktu itu dia angkat sedikit
menyender di palang kursi yang didudukinya, kemudian aku melihat sebuah luka
yang ada di lututnya, aku rasa luka itu baru namun sudah agak kering tapi masih kemerahan.
Ialah Wanita Berkerudung Merah yang mungkin terlihat sedikit garang dalam perkataan dan mungkin tindakannya, tetapi maksud di balik itu menunjukkan rasa kepeduliannya kepada pria itu, yang saya yakini bukanlah suami atau kekasihnya, tetapi orang yang membentu si wanita berjualan nasi lempok. Pada akhirnya, tindakan maupun perkataan orang yang terlihat di mata dan terdengar di telinga tidak selalu nampa seperti kenyataan yang utuh. Hanya dengan selalu berkesadaran, merenungkan, memikirkan terus-menerus dengan teliti pada setiap hal yang uncul di sekitar adalah kebijaksanaan dalam hati manusia.
1 comments:
Sikapmu adalah cerminan dari dirimu. Sekasar apapun wanita berkerudung merah, akan tetap mengenang di hati pria itu, karena bukan perasaan benci yang dia berikan, justru rasa kepeduliannya.
Post a Comment