Monday, August 31, 2015

Blandong: Si Tukang Kayu yang Ahli dan Cerdas

Blandong Si Tukang Kayu, 2015

by pandu pramudita

Minggu pagi yang tidak cerah mengawali hari. Awan mendung yang sudah nampak kelabu gelap menghiasi langit Kutoarjo. Teringat berita cuaca yang mengatakan bahwa tidak akan ada hujan sampai akhir tahun karena badai kering di samudra pasifik membuat Blandong tidak surut melihat awan kelabu itu. Dengan bersenjatakan kampak, golok, dan seutas tambang hijau menggulung, ia kemudian melihat sejenak sebuah pohon petai yang telah menjulang tinggi melampaui atap-atap rumah di sekitar yang merisaukan. Berdiri berdiam menatap pohon, kepalanya yang menengada ke atas, matanya yang melirik sejenak ke arah sekitar pohon. Tiga orang pemuda berdiri menemani tidak begitu dekat, mereka adalah penghuni-penghuni rumah-rumah yang risau akan pohon-pohon petai tersebut. Daun-daunnya yang kecil terkadang masuk ke sela-sela genteng sehingga ketika datang awan kencang daun-daun tersebut masuk ke dalam rumah dan saat hujan datang menjadi jalan air masuk ke rumah melalui sela-sela genteng-genteng itu. terlebih, seorang pemuda diantaranya, ialah sang pemilik pohon petai itu juga sudah mengatakan kalau pohon-pohon petai itu sudah dibeli oleh orang lain, hanya saja sebelum orang itu menebang terjadi masalah pada dirinya dan menghilang entah kemana tidak pernah ada kabar yang jelas. Sudah bertahun-tahun pohon-pohon itu kemudian tidak banyak di rawat, dan juga sudah jarang berbuah, dan justru hanya merisaukan.

Mungkin akal sang Blandong sudah tertata. Sebuah tangga bambu kemudian diambil dan dan terpasang di sebuah pohon petai yang tinggi itu. Tidak lebih dari setengah dari tinggi pohon tangga itu terpasang namun sudah lebih baik dari pada memanjat dari bawah menggunakan tangan kosong dengan belitan tambang di pinggang dan golok yang diselipkan di sabuk bagian belakang blandong. Dengan memanjat layaknya koala, perlahan tapi penuh kekuatan di otot-otot lengan dan kakinya, si blandong kemudian kembali diam sejenak di atas pohon dengan menyelipkan kaki di sela batang kayu yang menyabang dua dengan pantatnya yang terduduk di batang sebelah dan tangannya yang memegang batang lainnya sekedang menjaga keseimbangan, kepalanya menengada dan mengamati setiap batang, setiap cabang, dan ujung-ujung ranting, dan sesekali menengok ke bawah ke arah atap rumah dan kawat listrik bertegangan tinggi. Satu persatu cabang dan ranting yang menjulai sendiri di potong dengan goloknya dan kemudian hanya terlihat gerombolan ranting-ranting beserta dedaunan di kedua ujung cabang pohon petai itu.

Perhitungan yang tepat adalah keahlian setiap mereka tukang kayu dalam memprediksi dimana jatuhnya batang-batang kayu dan bagaimana ayunannya. Begitu juga dengan si Blandong, dengan batas kepala kemudia goloknya mulai di ayunkan, perlahan tapi dalam, hingga percikan kayu yang masih terlihat besar terlempar dari ayunannya yang kedua dan seterusnya. Hanya perlahan-lahan si Blandong mengayunkan goloknya dan akan berhenti sampai batang itu berbunyi retak meski lirih, karena kemudian hanya kan di dorong perlahan-lahan juga, sampai terayun jatuh tegak vertikal. Jika batang itu masih membujur jatuhnya akan menimpa genteng dan kawat, dan parahnya akan mengancurkan genteng dan memutuskan kawat. Namun tidak dengan kepiawaian si Blandong. Begitu pula dengan batang yang satunya, dengan perhitungannya batang kayu itu jatuh dengan tidak membahayakan sekitar, meski batang yang kedua ini sedikit menyerempet ke atap bagian pinggir rumah si pemilik pohon. Terakhir dari batang kayu ini, bagian “bongkot” atau pangkal pohon yang ditebang dengan menggunakan kampak. Sebelum Blandong mengayunkan kampaknya terlebih dahulu ia lilit dan ikat tambang itu ke bagian atas pohon petai itu kemudian diikatkan pula dengan pohon sebuah pohon alpukan di sisi sebelah barat, berjarak kurang lebih 6m, masih di dalam area kebun itu yang seluas 10x20 m persegi. Dengan keahlian tali-menali, Blandong mengamil sebatang kayu yang berdiameter ckup tebal, mungkin tebesar diameter lengannya, dan membuatnya sebagai sebuah katrol. Demikianlah Blandong si tukang kayu yang menguasai pengetahuan yang ia perlukan sebagai tukang kayu. Dengan ikatan kuat itu kemudian ia beranikan ayunan kampak menghantap sisi barat pangkal pohon itu. Tiga pemuda itu yang tadinya menonton kemudian berganti di sisi barat kebun, berdiri berbaris di alan, memegangi tali yang menarik pohon yang akan tumbang itu. Brakkkkk!!!, tumbang pohon satu tanpa ada hal yang membahayakan.

Kata pujian selalu si pemilik pohon itu bisikkan ke pada dua orang pemuda itu tentang aksi Blandong. Tapi nampaknya itu bukanlah akhir dari pujian itu kepada Blandong ketika Blandong menunjukkan keahliannya yang mengagetkan semua yang melihat sebuah batang kayu pohon petai kedua jatuh meluncur dengan mulus. Sebelum si Blandong menebang pohon petai yang kedua, yang sama berdiri menjulang tinggi di atas atap dan tepat di atas kawat listrik bertegangan tinggi, ia terlebih dahulu memanjat pohon kelapa yang jauh dari pohon petai itu. Ketiga pemuda itu berpikir pohon kelapa itu hanya sebagai patok penarik pohon petai yang di tumbangkan itu. Tanpa berkata dan hanya mengerjakan apa yang menjadi tugasnya, si Blandong kemudian meneruskan pekerjaannya sebagai penebang pohon. Satu persatu ranting yang tumbuh tidak beraturan dipangkas satu persatu, hingga sebuah cabang kecil tapi cukup panjang dan berat tampak menjulang, dan sangat berbahaya untuk memotongnya. Ketiga pemuda itu cukup heran ketika Blandong hanya mengaitkan tambang itudi sela cabang yang menyabang dua. "Mas, jangan di situ ya" teriak Blandong kepada salah seorang pemuda yang duduk di bawah pohon kelapa yang diikatkan tambang, pangkal dari tambang yang terikat di atas. Ayunan golok perlahan kemudian dihantamkan di bawah tambang yang melewati sela cabang itu. Dengan sedikit takut, ketiga pemuda itu saling berbisik, "apakah tidak mengenai kawat dan genteng jika tambangnya hanya dilewatkan begitu?". Preketek, zuuuuuuuuutzzz!!! "Edian" teriak seorang pemuda melihat cabang kayu yang bukannya jatuh tegak vertikal justru berayun kebawah mengikuti tambang yang membentang dari pohon itu sampai ke pohon kelapa. "Wah, padainya kamu" kata pemilik pohon. "Kalau tukang yang lain aku harus bayar 50 ribu untuk nyopot kawat listrik itu. Tidak ada tukang yang berani motong pohon itu kalau kawatnya tidak di copot dulu" lanjutnya. "Tidak main-main, Be, ini hasil nimba ilmu di Jepang" jawab si Blandong yang disambut sedikit tidak percaya oleh ketiga pemuda itu kalau Blandong pernah ke Jepang. Dan seperti cara Blandong menebang batang pohon pertama, demikian juga pohon petai yang kedua tumbang, dengan memanfaatkan sebuah kayu yang dijadikannya katrol penarik pohon agar ketika tumbang dapat di arahkan ket tempat yang aman.

1 comments:

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com
Unknown said...

Seorang tukang akan menampakkan kecakapan yang dia miliki, seperti Blandong yang memperlihatkan kecakapan tukang kayu. Dalam masyarakat Jawa, Blandong adalah istilah yang diperuntukkan bagi mereka yang bekerja sebagai tukang kayu.