Blandong Si Tukang Kayu, 2015 |
by pandu pramudita
Minggu pagi yang
tidak cerah mengawali hari. Awan mendung yang sudah nampak kelabu gelap
menghiasi langit Kutoarjo. Teringat berita cuaca yang mengatakan bahwa tidak
akan ada hujan sampai akhir tahun karena badai kering di samudra pasifik
membuat Blandong tidak surut melihat awan kelabu itu. Dengan bersenjatakan
kampak, golok, dan seutas tambang hijau menggulung, ia kemudian melihat sejenak
sebuah pohon petai yang telah menjulang tinggi melampaui atap-atap rumah di
sekitar yang merisaukan. Berdiri berdiam menatap pohon, kepalanya yang
menengada ke atas, matanya yang melirik sejenak ke arah sekitar pohon. Tiga
orang pemuda berdiri menemani tidak begitu dekat, mereka adalah
penghuni-penghuni rumah-rumah yang risau akan pohon-pohon petai tersebut.
Daun-daunnya yang kecil terkadang masuk ke sela-sela genteng sehingga ketika
datang awan kencang daun-daun tersebut masuk ke dalam rumah dan saat hujan
datang menjadi jalan air masuk ke rumah melalui sela-sela genteng-genteng itu.
terlebih, seorang pemuda diantaranya, ialah sang pemilik pohon petai itu juga
sudah mengatakan kalau pohon-pohon petai itu sudah dibeli oleh orang lain,
hanya saja sebelum orang itu menebang terjadi masalah pada dirinya dan
menghilang entah kemana tidak pernah ada kabar yang jelas. Sudah bertahun-tahun
pohon-pohon itu kemudian tidak banyak di rawat, dan juga sudah jarang berbuah,
dan justru hanya merisaukan.
Mungkin akal sang
Blandong sudah tertata. Sebuah tangga bambu kemudian diambil dan dan terpasang
di sebuah pohon petai yang tinggi itu. Tidak lebih dari setengah dari tinggi
pohon tangga itu terpasang namun sudah lebih baik dari pada memanjat dari bawah
menggunakan tangan kosong dengan belitan tambang di pinggang dan golok yang
diselipkan di sabuk bagian belakang blandong. Dengan memanjat layaknya koala,
perlahan tapi penuh kekuatan di otot-otot lengan dan kakinya, si blandong
kemudian kembali diam sejenak di atas pohon dengan menyelipkan kaki di sela
batang kayu yang menyabang dua dengan pantatnya yang terduduk di batang sebelah
dan tangannya yang memegang batang lainnya sekedang menjaga keseimbangan,
kepalanya menengada dan mengamati setiap batang, setiap cabang, dan ujung-ujung
ranting, dan sesekali menengok ke bawah ke arah atap rumah dan kawat listrik
bertegangan tinggi. Satu persatu cabang dan ranting yang menjulai sendiri di
potong dengan goloknya dan kemudian hanya terlihat gerombolan ranting-ranting
beserta dedaunan di kedua ujung cabang pohon petai itu.
Perhitungan yang
tepat adalah keahlian setiap mereka tukang kayu dalam memprediksi dimana
jatuhnya batang-batang kayu dan bagaimana ayunannya. Begitu juga dengan si
Blandong, dengan batas kepala kemudia goloknya mulai di ayunkan, perlahan tapi
dalam, hingga percikan kayu yang masih terlihat besar terlempar dari ayunannya
yang kedua dan seterusnya. Hanya perlahan-lahan si Blandong mengayunkan
goloknya dan akan berhenti sampai batang itu berbunyi retak meski lirih, karena
kemudian hanya kan di dorong perlahan-lahan juga, sampai terayun jatuh tegak
vertikal. Jika batang itu masih membujur jatuhnya akan menimpa genteng dan
kawat, dan parahnya akan mengancurkan genteng dan memutuskan kawat. Namun tidak
dengan kepiawaian si Blandong. Begitu pula dengan batang yang satunya, dengan
perhitungannya batang kayu itu jatuh dengan tidak membahayakan sekitar, meski
batang yang kedua ini sedikit menyerempet ke atap bagian pinggir rumah si
pemilik pohon. Terakhir dari batang kayu ini, bagian “bongkot” atau pangkal pohon yang ditebang dengan menggunakan
kampak. Sebelum Blandong mengayunkan kampaknya terlebih dahulu ia lilit dan ikat tambang itu ke bagian atas pohon petai itu kemudian diikatkan pula dengan pohon sebuah pohon alpukan di sisi sebelah barat, berjarak kurang lebih 6m, masih di dalam area kebun itu yang seluas 10x20 m persegi. Dengan keahlian tali-menali, Blandong mengamil sebatang kayu yang berdiameter ckup tebal, mungkin tebesar diameter lengannya, dan membuatnya sebagai sebuah katrol. Demikianlah Blandong si tukang kayu yang menguasai pengetahuan yang ia perlukan sebagai tukang kayu. Dengan ikatan kuat itu kemudian ia beranikan ayunan kampak menghantap sisi barat pangkal pohon itu. Tiga pemuda itu yang tadinya menonton kemudian berganti di sisi barat kebun, berdiri berbaris di alan, memegangi tali yang menarik pohon yang akan tumbang itu. Brakkkkk!!!, tumbang pohon satu tanpa ada hal yang membahayakan.
Kata pujian selalu si pemilik pohon itu bisikkan ke pada dua orang pemuda itu tentang aksi Blandong. Tapi nampaknya itu bukanlah akhir dari pujian itu kepada Blandong ketika Blandong menunjukkan keahliannya yang mengagetkan semua yang melihat sebuah batang kayu pohon petai kedua jatuh meluncur dengan mulus. Sebelum si Blandong menebang pohon petai yang kedua, yang sama berdiri menjulang tinggi di atas atap dan tepat di atas kawat listrik bertegangan tinggi, ia terlebih dahulu memanjat pohon kelapa yang jauh dari pohon petai itu. Ketiga pemuda itu berpikir pohon kelapa itu hanya sebagai patok penarik pohon petai yang di tumbangkan itu. Tanpa berkata dan hanya mengerjakan apa yang menjadi tugasnya, si Blandong kemudian meneruskan pekerjaannya sebagai penebang pohon. Satu persatu ranting yang tumbuh tidak beraturan dipangkas satu persatu, hingga sebuah cabang kecil tapi cukup panjang dan berat tampak menjulang, dan sangat berbahaya untuk memotongnya. Ketiga pemuda itu cukup heran ketika Blandong hanya mengaitkan tambang itudi sela cabang yang menyabang dua. "Mas, jangan di situ ya" teriak Blandong kepada salah seorang pemuda yang duduk di bawah pohon kelapa yang diikatkan tambang, pangkal dari tambang yang terikat di atas. Ayunan golok perlahan kemudian dihantamkan di bawah tambang yang melewati sela cabang itu. Dengan sedikit takut, ketiga pemuda itu saling berbisik, "apakah tidak mengenai kawat dan genteng jika tambangnya hanya dilewatkan begitu?". Preketek, zuuuuuuuuutzzz!!! "Edian" teriak seorang pemuda melihat cabang kayu yang bukannya jatuh tegak vertikal justru berayun kebawah mengikuti tambang yang membentang dari pohon itu sampai ke pohon kelapa. "Wah, padainya kamu" kata pemilik pohon. "Kalau tukang yang lain aku harus bayar 50 ribu untuk nyopot kawat listrik itu. Tidak ada tukang yang berani motong pohon itu kalau kawatnya tidak di copot dulu" lanjutnya. "Tidak main-main, Be, ini hasil nimba ilmu di Jepang" jawab si Blandong yang disambut sedikit tidak percaya oleh ketiga pemuda itu kalau Blandong pernah ke Jepang. Dan seperti cara Blandong menebang batang pohon pertama, demikian juga pohon petai yang kedua tumbang, dengan memanfaatkan sebuah kayu yang dijadikannya katrol penarik pohon agar ketika tumbang dapat di arahkan ket tempat yang aman.
1 comments:
Seorang tukang akan menampakkan kecakapan yang dia miliki, seperti Blandong yang memperlihatkan kecakapan tukang kayu. Dalam masyarakat Jawa, Blandong adalah istilah yang diperuntukkan bagi mereka yang bekerja sebagai tukang kayu.
Post a Comment