Beauty Sunrise

Ulat Sumeh Agawe Renaning Wong Akeh.

Rapuhnya tiang saka Kraton

Orang yang SABAR itu memiliki pengetahuan yang luas adalah orang yang tidak akan terombang-ambing oleh keadaan.

Good Morning Flamingo

Lakonana Disik Dadi lan Becike.

Pagar Keraton

Sejatinya itu tidak ada apa-apa, yang ada itu bukan.

Red Sunset

PERCAYA itu ibarat tali yang menghubungkan Tuhan Yang Maha Esa kepada umatnya.

Monday, August 31, 2015

Getaran Keris di Tanah Sabrang: Perang Video TKI/TKW dalam YouTube

Kersi, Senjata Tradisional Jawa (forpal.blogspot.com)

by pandu pramudita

Harga diri adalah harga mati, tidak dapat diusik, dan jika sekali diusik maka amarah akan merongrong, suara bak halilintar mengglegar di angkasa, mata bagai pisau yang tajam menusuk. Dalam kehidupan sosial, harga diri adalah sebuah harta terakhir yang akan dipertahankan. Baik dari rakyat jelata sampai orang gedongan, semua siap mempertahankan harga diri mereka masing-masing. Namun demikian, dengan adanya pemisahan masyarakat dalam etnis-etnis, dimana tata cara hidup mereka, atau budaya hidup mereka memiliki adat tersendiri, maka begitu juga letak harga diri mereka, yang memiliki titik letak masing-masing. Ada yang sama tapi ada juga yang berbeda. Bahkan untuk pria dan wanita juga memiliki letak harga dirinya masing-masing.

Berbicar mengenai harga diri ini, dan mengapa kemudian saya tertarik dengan pembicaraan mengenai harga diri, telah menjadi perbincangan hangat di antara teman-teman saya, yaitu video-video yang diunggah di internet oleh para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang sedang melakukan “perang video”, bahkan hal ini telah diangkat dalam sebuah komedi meski disajikan secara kiasan. Ngono opo yo ra penak?, yo penak, rumangsamu (Begitu apa ya tidak nyaman?, ya nyaman, kamu kira), adalah kalimat atau kata yang menjadi ciri khas dalam video tersebut. Dari bahasa tersebut sudah barang tentu kita akan dengan mudah menebak kalau orang tersebut atau orang-orang yang mengunggah video tersebut adalah orang Jawa. Menanggapi video-video tersebut, yang telah terunggah lebih dari 100 video, yang semula hanya diunggah di jejaring sosial yaitu facebook hingga masuk ke youtube, teman saya kemudian mengingatkan saya akan sebuah pertanyaan yang membuat sampai sekarang saya masih belum juga bisa menjawabnya, yaitu “Sekuat apa bahasa mengikat makna etnisitas? Mengapa sering terjadi ingatan tentang etnisitas lebih mudah lewat bahasa?”. Dugaan saya, pertanyaan-pertanyaan ini muncul dengan menggunakan di antara 2 paradigma, yaitu Struktural atau Fenomenologi, dimana kedua pertanyaan ini ditujukan untuk menyingkap identitas melalui bahasa yang digunakan. Bagi Struktural, bahasa adalah struktur yang dibangun dari pengetahuan masyarakat, sedang bagi Fenomenologi, bahasa hadir sebagai penyimpan ingatan pengetahuan masyarakat, sehingga tidak heran jika kedua sudut pandang ini sama-sama akan menujukan perhatiannya pada bahasa yang akan menyingkap identitas penggunanya. Namun di dalam tulisan ini saya tidak akan menyampaikan teori-teori tersebut, mungkin di kesempatan lain.

Saya tidak mengetahui sejarah munculnya video ini secara pasti, hanya mereka atau yang menyimak perkembangan video itu yang tahu barang kali. Namun dari unggahan-unggahan awal, saya sedikit menyimpulkan bahwa video ini berawal dari tiga pria yang mengunggah video kepada istri-istri mereka yang bekerja di luar negeri sebagai TKW. Dengan bahasa Jawa dan mimik muka yang jenaka dan banyak tertawa dengan hanya mulut yang menganga bak gua seorang pria yang saya pikir sebagai tokoh dan otak pertama bercakap di depan video dari ponsel yang menyapa istri-istrinya di luar negeri. Sapaan itu mungkin dikirim sebagai bentuk keluhan suami-suami kepada istri-istri mereka yang bekerja lama di luar negeri dan hanya sesekali pulang dalam waktu libur mereka. Kalimat-kalimat yang dilontarkan memang tidak ada yang mengandung penekanan bagi istri-istri mereka untuk segera pulang hanya candaan jika mereka nyaman jika istri mereka tidak ada di rumah dan dapat menghabiskan uang mereka. Istri-istri mereka pun tidak mau kalah menanggapai suami-suami itu, dengan bergaya dan balasan candaan jika disana pun mereka nyaman dan lebih banyak jalan-jalan, menikmati fasilitas-fasilitas umum yangg disediakan di negara itu.

Hanya saja tidak demikian tanggapan bagi mereka tenaga kerja Indonesia yang menonton kedua video itu. Justru prasangka negatif kemudian terlontar dalam bentuk unggahan-unggahan mereka. Saya juga tidak tahu secara pasti, siapa yang pertama menanggapi 2 video itu. Seorang wanita cantik dengan nada Jawa halus menaggapi video mengenai suami-suami itu dengan jenaka namun dia tidak hanya menanggapi video suami-istri itu, ia juga menceritakan kisah pribadinya, yang masih bercerita mengenai kehidupan TKI yang ia jalani. Namun lebih banyak lagi tanggapan-tanggapan negatif dan menekan, baik yang disampaikan secara perorangan atau ditemani beberapa kawan di samping kanan kiri sebagai pendukung pernyataan orang yang menjadi fokus utama video.

Meski tanggapan dan cara mereka mengekspresikan tanggapan itu berbeda-beda, tetapi kalimat “Opo ngono rumangsamu ora penak, yo penak, rumangsamu” tetap menjadi kalimat favorit. Dari lokasi orang yang menanggapi terbagi menjadi dua yaitu yang masih di dalam negeri dan di luar negeri. Dari jumlah orang, perorangan, dua orang, dan berkelompok. Meski demikian, hanya seorang yang kemudian menjadi wajah utama dalam video. Tapi, dari cara menanggapi, ada yang langsung menyampaikan maksud dari mereka mengunggah video, ada yang menggunakan drama, dan ada pula yang hanya bernyanyi. Dari segi hal yang ditanggapi kebanyakan mengenai materi yang mereka dapatkan dari hasil pekerjaan mereka, seperti banyak gaji, atau barang-barang yang mereka dapatkan dari hasil gaji, seperti ponsel, smartphone, sampai kendaraan. Meski demikian, tidak sedikit pula yang hanya meredakan agar tidak saling menyerang lewat video dengan memamerkan hasil mereka. Justru mereka mengatakan derita mereka di tanah orang, dimana makan hanya seadanya, juragan yang ini dan itu, ada pula yang sedang mengunggah saat akan mengirim uang ke keluarganya yang ada di kampung.

Melankolis menjadi latar dalam mereka menyampaikan perasaan itu. Tapi nampaknya hanyut dalam jenaka pukulan atau bantingan-bantingan yang terdengar lebih keras dari pada dayu mendayu jeritan. Memang secara sekilas saya tertawa, dan beberapa video harus ditambah berbahak-bahak, namun sebenarnya saya juga sekaligus miris melihat video-video ini. Saya justru heran dan tidak mengira ketika seorang wanita dengan bahasa yang ngoko tapi bernada lembut suara lirih, takut terdengar majikan, saya menduka dari latar dia mengambil video itu berada di sebuah gudang, atau ruang yang jauh dari pendengaran yang bebas berkeliaran. Namun wanita itu memang jelas bermaksud untuk melawan dari tanggapan istri-istri itu. Secara perlahan tapi pasti, dia menunjukkan satu persatu smartphone yang ia miliki, dan kemudian meunjukkan sebuah palu berukuran besar yang biasa untuk menghantam tembok. Dijajarlah alat-alat komunikasi itu di lantai dekat kaki sedikit jauh, kemudian dengan tangan yang memegang di bawah besi pemukul, tidak di pangkal tiangnya, ia ayunkan menghantam smartphone-smartphone itu dan memperlihatkan kacanya yang retak. Dia ingin menunjukkan bahwa dia juga bisa membeli alat-alat elektronik dengan mudah dengan gajinya sendiri. Saya tidak tahu apakah ini video pertama atau yang keberapa yang menunjukkan perusakan alat-alat elektronik yang dimiliki, karena banyak juga yang mengunggah video dan menunjukkan mereka merusak handphone, kamera, laptop, baik dengan cara dibanting, dipukul dengan palu, dibakar, ataupun direbus. Dengan bahasa yang jenaka, video-video itu menggugah canda bagi yang menonton sekaligus miris melihatnya. Selain TKI/TKW mengunggah video-video yang menunjukkan kenikmatan mereka merusak alat-alat komunikasi, ada juga yang menanggapi video-video yang telah beredar dengan tubuh mereka, beberapa mengandung unsur seksualitas, dan ada juga yang bernyanyi dan bergoyang “dumang”.

Menjadi miris ketika melihat video-video tersebut terunggah dengan gagah di tengah polemik kematian TKI/TKW di tanah orang yang sedang diusut oleh pemerintah agar mencapai penyelesaian. Harga diri adalah salah satu kehormatan bagi seorang manusia, terlebih dalam tradisi Jawa selama berabad-abad yang tersimpan dalam senjatanya berupa keris. Ekonomi yang menjadi sebuah materaliasi harga diri yang diusik oleh orang lain menjadi cambuk pertunjukkan. Tidak ada lagi makna yang melekat pada keris kecuali sebagai senjata, karena tidak lagi ada guna lain selain untuk melukai orang lain. Oleh sebab itu, keris dalam tradisi Jawa selalu disandang di bagian belakang tubuh si pemakai, disembunyikan. Bagi saya justru bukan karena orang Jawa suka “main belakang”, tetapi karena mereka tahu karena hanya image kekerasanlah yang melekat pada senjata itu. Jika keris sudah dipertontonkan, maka hanya akan ada orang yang terluka. Kata orang, luka di tubuh cepat-lambat akan sembuh dan mungkin juga akan hilang tidak membekas, tetapi luka di hati akan selalu membekas dan masih akan selalu terasa sakit. 

Jika ingin menonton "perang video" TKI/TKW itu, anda dapat klik di sini.

Blandong: Si Tukang Kayu yang Ahli dan Cerdas

Blandong Si Tukang Kayu, 2015

by pandu pramudita

Minggu pagi yang tidak cerah mengawali hari. Awan mendung yang sudah nampak kelabu gelap menghiasi langit Kutoarjo. Teringat berita cuaca yang mengatakan bahwa tidak akan ada hujan sampai akhir tahun karena badai kering di samudra pasifik membuat Blandong tidak surut melihat awan kelabu itu. Dengan bersenjatakan kampak, golok, dan seutas tambang hijau menggulung, ia kemudian melihat sejenak sebuah pohon petai yang telah menjulang tinggi melampaui atap-atap rumah di sekitar yang merisaukan. Berdiri berdiam menatap pohon, kepalanya yang menengada ke atas, matanya yang melirik sejenak ke arah sekitar pohon. Tiga orang pemuda berdiri menemani tidak begitu dekat, mereka adalah penghuni-penghuni rumah-rumah yang risau akan pohon-pohon petai tersebut. Daun-daunnya yang kecil terkadang masuk ke sela-sela genteng sehingga ketika datang awan kencang daun-daun tersebut masuk ke dalam rumah dan saat hujan datang menjadi jalan air masuk ke rumah melalui sela-sela genteng-genteng itu. terlebih, seorang pemuda diantaranya, ialah sang pemilik pohon petai itu juga sudah mengatakan kalau pohon-pohon petai itu sudah dibeli oleh orang lain, hanya saja sebelum orang itu menebang terjadi masalah pada dirinya dan menghilang entah kemana tidak pernah ada kabar yang jelas. Sudah bertahun-tahun pohon-pohon itu kemudian tidak banyak di rawat, dan juga sudah jarang berbuah, dan justru hanya merisaukan.

Mungkin akal sang Blandong sudah tertata. Sebuah tangga bambu kemudian diambil dan dan terpasang di sebuah pohon petai yang tinggi itu. Tidak lebih dari setengah dari tinggi pohon tangga itu terpasang namun sudah lebih baik dari pada memanjat dari bawah menggunakan tangan kosong dengan belitan tambang di pinggang dan golok yang diselipkan di sabuk bagian belakang blandong. Dengan memanjat layaknya koala, perlahan tapi penuh kekuatan di otot-otot lengan dan kakinya, si blandong kemudian kembali diam sejenak di atas pohon dengan menyelipkan kaki di sela batang kayu yang menyabang dua dengan pantatnya yang terduduk di batang sebelah dan tangannya yang memegang batang lainnya sekedang menjaga keseimbangan, kepalanya menengada dan mengamati setiap batang, setiap cabang, dan ujung-ujung ranting, dan sesekali menengok ke bawah ke arah atap rumah dan kawat listrik bertegangan tinggi. Satu persatu cabang dan ranting yang menjulai sendiri di potong dengan goloknya dan kemudian hanya terlihat gerombolan ranting-ranting beserta dedaunan di kedua ujung cabang pohon petai itu.

Perhitungan yang tepat adalah keahlian setiap mereka tukang kayu dalam memprediksi dimana jatuhnya batang-batang kayu dan bagaimana ayunannya. Begitu juga dengan si Blandong, dengan batas kepala kemudia goloknya mulai di ayunkan, perlahan tapi dalam, hingga percikan kayu yang masih terlihat besar terlempar dari ayunannya yang kedua dan seterusnya. Hanya perlahan-lahan si Blandong mengayunkan goloknya dan akan berhenti sampai batang itu berbunyi retak meski lirih, karena kemudian hanya kan di dorong perlahan-lahan juga, sampai terayun jatuh tegak vertikal. Jika batang itu masih membujur jatuhnya akan menimpa genteng dan kawat, dan parahnya akan mengancurkan genteng dan memutuskan kawat. Namun tidak dengan kepiawaian si Blandong. Begitu pula dengan batang yang satunya, dengan perhitungannya batang kayu itu jatuh dengan tidak membahayakan sekitar, meski batang yang kedua ini sedikit menyerempet ke atap bagian pinggir rumah si pemilik pohon. Terakhir dari batang kayu ini, bagian “bongkot” atau pangkal pohon yang ditebang dengan menggunakan kampak. Sebelum Blandong mengayunkan kampaknya terlebih dahulu ia lilit dan ikat tambang itu ke bagian atas pohon petai itu kemudian diikatkan pula dengan pohon sebuah pohon alpukan di sisi sebelah barat, berjarak kurang lebih 6m, masih di dalam area kebun itu yang seluas 10x20 m persegi. Dengan keahlian tali-menali, Blandong mengamil sebatang kayu yang berdiameter ckup tebal, mungkin tebesar diameter lengannya, dan membuatnya sebagai sebuah katrol. Demikianlah Blandong si tukang kayu yang menguasai pengetahuan yang ia perlukan sebagai tukang kayu. Dengan ikatan kuat itu kemudian ia beranikan ayunan kampak menghantap sisi barat pangkal pohon itu. Tiga pemuda itu yang tadinya menonton kemudian berganti di sisi barat kebun, berdiri berbaris di alan, memegangi tali yang menarik pohon yang akan tumbang itu. Brakkkkk!!!, tumbang pohon satu tanpa ada hal yang membahayakan.

Kata pujian selalu si pemilik pohon itu bisikkan ke pada dua orang pemuda itu tentang aksi Blandong. Tapi nampaknya itu bukanlah akhir dari pujian itu kepada Blandong ketika Blandong menunjukkan keahliannya yang mengagetkan semua yang melihat sebuah batang kayu pohon petai kedua jatuh meluncur dengan mulus. Sebelum si Blandong menebang pohon petai yang kedua, yang sama berdiri menjulang tinggi di atas atap dan tepat di atas kawat listrik bertegangan tinggi, ia terlebih dahulu memanjat pohon kelapa yang jauh dari pohon petai itu. Ketiga pemuda itu berpikir pohon kelapa itu hanya sebagai patok penarik pohon petai yang di tumbangkan itu. Tanpa berkata dan hanya mengerjakan apa yang menjadi tugasnya, si Blandong kemudian meneruskan pekerjaannya sebagai penebang pohon. Satu persatu ranting yang tumbuh tidak beraturan dipangkas satu persatu, hingga sebuah cabang kecil tapi cukup panjang dan berat tampak menjulang, dan sangat berbahaya untuk memotongnya. Ketiga pemuda itu cukup heran ketika Blandong hanya mengaitkan tambang itudi sela cabang yang menyabang dua. "Mas, jangan di situ ya" teriak Blandong kepada salah seorang pemuda yang duduk di bawah pohon kelapa yang diikatkan tambang, pangkal dari tambang yang terikat di atas. Ayunan golok perlahan kemudian dihantamkan di bawah tambang yang melewati sela cabang itu. Dengan sedikit takut, ketiga pemuda itu saling berbisik, "apakah tidak mengenai kawat dan genteng jika tambangnya hanya dilewatkan begitu?". Preketek, zuuuuuuuuutzzz!!! "Edian" teriak seorang pemuda melihat cabang kayu yang bukannya jatuh tegak vertikal justru berayun kebawah mengikuti tambang yang membentang dari pohon itu sampai ke pohon kelapa. "Wah, padainya kamu" kata pemilik pohon. "Kalau tukang yang lain aku harus bayar 50 ribu untuk nyopot kawat listrik itu. Tidak ada tukang yang berani motong pohon itu kalau kawatnya tidak di copot dulu" lanjutnya. "Tidak main-main, Be, ini hasil nimba ilmu di Jepang" jawab si Blandong yang disambut sedikit tidak percaya oleh ketiga pemuda itu kalau Blandong pernah ke Jepang. Dan seperti cara Blandong menebang batang pohon pertama, demikian juga pohon petai yang kedua tumbang, dengan memanfaatkan sebuah kayu yang dijadikannya katrol penarik pohon agar ketika tumbang dapat di arahkan ket tempat yang aman.

Sunday, August 30, 2015

Good Morning Flamingo Jatim Park

Good Morning Flamingo, Jatim Park, Indonesia, 2015
photographer by pandu pramudita

Wanita Berkerudung Merah

by: pandu pramudita

Sebenarnya catatan ini saya alami di pertengahan tahun 2014, hanya saja saya lupa menyimpan di file mana. Baru kali ini saya menemukan dan berkesempatan untuk mengunggahnya. Cerita Wanita Berkerudung Merah itu memperlihatkan mimik dan laku berbeda dengan maksud dari tindakannya. Hanya dengan terus-menerus merenungkannyalah kita dapat memahami apa yang dimaksud si wanita itu.

Seminggu itu, tradisi makan malam sebelum menjelang tidur tumbuh dalam kebiasaan saya. Jalanan yang mulai menyepi di jalanan Yogyakarta dini hari tak memberikan kesunyian bagi perut yang lapar menjelang mata terpejam. Nasi lempok dengan lauk ayam goreng dicampur pecel, tak lupa terong goreng yang disantap dengan sambal tomat yang pedas. Rasa pedas bercampur manis membuat saya lupa jika saya adalah seorang yang tidak tahan dengan pedas, kata orang adalah lidah Jawa yang suka manis. Seperti malam sebelumnya, malam ini pun saya berjalan menuju sebuah tenda pedagang kaki lima di sisi Jalan Kaliurang, dekat tempat saya tinggal di Yogyakarta. Dan seminggu itu pula, saya selalu membeli makanan dengan menu makanan yang sama di warung yang sama.

Seorang wanita berkerudung merah, berpakaian hitam, duduk menunggu di kursi pelanggan, menengok ke sepanjang jalan, barang kali akan ada pelanggan yang berjalan atau singgah di warung nasi lempoknya, dan seorang pria yang duduk di belakang gerobak berdiam tak memberikan suatu aksi yang lebih bagi dagangannya, tak tahu tidak seperti biasa ketika saya datang yang menyambut menanyakan pesanan kepada si pembeli. Selalu wanita berkerudung merah itu yang melayani setiap apa yang saya pesan dengan di dampingi pria itu yang hanya duduk tak beranjak dari kursinya. Pada waktu saya datang dan masuk ke tenda tersebut, terlihat dua pasang, laki-laki dan perempuan yang sedang menyantap pesanan mereka di meja pelanggan, yang memanjang dari selatan-utara, diterangi lampu putih. Seperti biasa, nasi lempok dengan lauk ayam dan terong goreng yang saya pesan pada wanita itu. Belum kelar pesanan saya matang, salah satu pasangan telah menyelesaikan makan malamnya dan membayar sejumlah uang pada wanita berkerudung merah, si pria tetap duduk di belakang gerobak. Setelah sepasang pelanggan itu pergi, si pria ingin beranjak pergi, mungkin akan memberesi piring kotor yang telah usai dipakai oleh pelanggan tadi untuk makan di situ, namun dengan seketika si wanita menarik bajunya dan menyeret untuk duduk kembali sambil berkata “tak saduk sampeyan (aku tendang (di bagian kaki) kamu)” dengan nada layaknya orang Lamongan. Pria itu hanya membalasnya dengan cengengesan (cengar-cengir). “Apa yang sedang terjadi?”, tanya saya dalam pikiran. Setelah si wanita usai menggoreng ayam dan terong yang saya pesan dan kemudian membungkusnya beserta nasi dan sambal, kemudia dia menghampiri saya untuk memberikan pesanan tersebut seraya menyebutkan harga pesanan tersebut. Lalu saya beranjak dari tempat duduk dan berjalan menghampiri seraya mengeluarkan uang dari dompet. Sekelebat saya melihat ke arah pria itu dengan heran, mengapa celana yang satunya panjang dan yang satunya digulung? Mataku terfokus di lututnya yang pada waktu itu dia angkat sedikit menyender di palang kursi yang didudukinya, kemudian aku melihat sebuah luka yang ada di lututnya, aku rasa luka itu baru namun sudah agak kering tapi masih kemerahan.

Ialah Wanita Berkerudung Merah yang mungkin terlihat sedikit garang dalam perkataan dan mungkin tindakannya, tetapi maksud di balik itu menunjukkan rasa kepeduliannya kepada pria itu, yang saya yakini bukanlah suami atau kekasihnya, tetapi orang yang membentu si wanita berjualan nasi lempok. Pada akhirnya, tindakan maupun perkataan orang yang terlihat di mata dan terdengar di telinga tidak selalu nampa seperti kenyataan yang utuh. Hanya dengan selalu berkesadaran, merenungkan, memikirkan terus-menerus dengan teliti pada setiap hal yang uncul di sekitar adalah kebijaksanaan dalam hati manusia.

Saturday, August 29, 2015

Karnaval Kutoarjo 2015: Mencoba Membangun Identitas di Jalan

Princess of Batik - Kutoarjo Carnaval, 2015
by: pandu pramudita

Karnaval, sebuah parade berjalan yang mebentuk sebuah barisan memanjang dan menampilkan sebuah identitas diri dalam jalan-jalan yang siap diakui oleh banyak pasang mata bola yang memandangnya. Karnaval adalah sebuah ajang perayaan eksistensi identitas suatu kelompok dalam masyarakat. Kegiatan ini telah lama muncul di berbagai negara dengan berbagai variasinya dengan garapan-garapan profesional, seperti di Rio de Janeiro, Brazil yang setiap tahunnya akan mempertontonkan identitas budaya dan seksualitas masyarakat Brazil di Rio. Berbagai fashion muncul di sana, dengan pernak-pernik yang tertempel pada tubuh-tubuh pelakunya. Keindahan tubuh ilahi yang dibalut dengan bulu-bulu maupun kain menjadi pusat-pusat perhatian masyarakatnya, dan juga berbagai variasi kendaraan yang dihiasi dengan berbagai bentuk yang unik. Tetapi karnaval juga tidak dibatasi hanya dalam bentuk-bentuk yang indah, juga dalam barisan serempak penuh dengan sahaja, yang telah dirintis oleh Adolf Hitler dengan barisan serempak tentara-tentara Nazi yang dipertontonkan kepada jutaan warga Jerman pada saat Perang Dunia II, memperlihatkan kesiapan negara ini bertempur dan siap menjadi juara perang dunia pada waktu itu, meski kemudian tokoh tersebut menghilang entah kemana, menjadi misteri. Kengerian yang diperlihatkan dalam darah-darah yang mengalir dari tubuh yang penuh sayatan pedang dan tetesan-tetesan air mata yang dipertontonkan dijalanan oleh mereka kaum Suni di negara Saudi Arabia pada saat mengenang meninggalnya cucu kesayangan Nabi Muhammad Saw. Di Indonesia sendiri, karnaval pun juga telah muncul dari zaman kerajaan. Salah satunya yang masih eksis di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Upacara Garebeg yang diadakan tiga kali dalam setahun, yaitu pada saat Maulud Nabi, 1 Syawal, dan hari raya Idul Adha. Tidak banyak masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat Jawa mengenal upacara-upacara demikian sebagai bentuk karnaval dimana kemudian keraton menunjukkan eksistensi identitas dan akan memperkuat pengakuan lembaga ini di dalam masyarakat Indonesia khususnya dalam masyarakat Jawa, terkhusus lagi masyarakat Yogyakarta.

Dalam masyarakat kekinian, identitas kemudian menjadi sebuah “minuman” yang bukan mereka konsumsi tetapi yang mereka sodorkan sedang “kehausan” itu berada dalam pengakuan identitas mereka oleh masyarakat sekitar. Jember Fashion Carnival (JFC), satu karnaval yang tergelar di Indonesia, mungkin yang terbesar di Indonesia, yang menyajikan identitas masyarakat dalam bentuk fashion yang kemudian dipertontonkan di jalan protokol di kota itu. Kemudian karnaval yang semacam ini saya maknai sebagai karnaval modern sedang seperti garebek adalah karnaval tradisional. Keduanya bagi saya memiliki kesamaan yaitu menunjukkan eksistensi identitas mereka kepada masyarakat sekitar, setidaknya masyarakat yang menonton karnaval itu. Agustus adalah momentum perayaan kemerdekaan, baik negara, lembaga, maupun individu. Kutoarjo, sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Purworejo tidak luput dari perayaan identitas ini. Hanya saja mungkin garapan yang sampai sekarang tidak lebih serius, karena tidak banyak identitas yang dapat dipahami dan justru hanyalah tontonan semata yang mungkin menjadi pernik pasangan mata di jalanan kota itu. Hanya beberapa lembaga yang menunjukkan keseriusan membangun identitas ini, dan itu hanyalah pada penggalangan beberapa barisan atau individu dalam lembaganya.

Karnaval, seperti yang kita ketahui, fashion kemudian akan menjadi sorotan utama oleh pasangan mata yang menonton. Sedang, kendaraan hias hanyalah ornamental pendukung saja sebagai wujud kemampuan lembaga dalam partisipasi di karnaval itu. Beberapa identitas yang kemudian terbaca seperti ketahanan batik, barisan kehormatan, kesenian, tarian, inner beauty, pengolaan sampah, dan gender hari ini. Ketahanan batik ini dimaksudkan sebagai identitas lembaga mereka yang menonjolkan kemampuan mereka mengolah maupun memproduksi batik, dan mungkin untuk menunjukkan batik hari ini. Barisan kehormatan muncul di setiap lembaga yang ikut dalam karnaval, dan terletak di barisan pertama mereka, yang menunjukkan bahwa lembaga mereka memberikan penghormatan pada negara dalam wujud bendera merah putih yang berkibar di ujung tiang yang diusung oleh barisan ini. Nampaknya, marching band hari ini telah muncul dalam barisan kehormatan, dimana lagu-lagu kebangsaan maupun deruman mengiringi kehikmatan barisannya. Dari berbagai usaha untuk menonjolkan kesenian, berbagai lembaga mencoba untuk memunculkan costum-costum kesenian, hanya saja bukankah kesenian itu akan muncul ketika bermain? Seperti hanlnya tarian yang mencoba dimainkan ketika barisan parade sedang berhenti menunggu dibukakan jalan. Kamera lebih banyak menyorot gadis-gadis yang berdandan anggun, yang mencoba menampilkan inner beauty mereka, beberapa menampilkannya dengan menghias diri dari pengolaan barang yang tidak terpakai. Ketika kamera mencoba menyorot para kaum adam, hanya identitas sementara merekalah yang muncul seperti mengubah gender atau mencoba meniru identitas yang sudah ada. Semoga tahun kedepan identitas-identitas itu digarap lebih serius karena kita tahu bahwa masyarakat haus akan identitas, dan bukan tontonan jalanan semata.
Ketahanan Batik
Batik Open-Line Girl - Kutoarjo Carnaval, 2015
Batik Girls - Kutoarjo Carnaval, 2015
Princess Escort of Batik - Kutoarjo Carnaval, 2015
Batik Spread Girl - Kutoarjo Carnaval, 2015

Barisan Kehormatan
The Great Man Flag - Kutoarjo Carnaval, 2015
First Line - Kutoarjo Carnaval, 2015
Beauty First Line - Kutoarjo Karnaval, 2015
Mayorettes Giving Honor - Kutoarjo Carnaval, 2015
Toner Marching Drum Girl - Kutoarjo Carnaval, 2015
Standing Marching Band Attitude - Kutoarjo Carnaval, 2015
Toner Marching Drum Girls - Kutoarjo Carnaval, 2015

Kesenian dan Tari
Sinden Show - Kutoarjo Carnaval, 2015
Dolalak Show - Kutoarjo Carnaval, 2015
Buto Face - Kutoarjo Carnaval, 2015
Buto Side - Kutoarjo Carnaval, 2015
Flag Dancing Girls - Kutoarjo Carnaval, 2015
Ayo Kerja Dancing - Kutoarjo Carnaval, 2015
Dancing and Singing Girls Line - Kutoarjo Carnaval, 2015
Associate Girls - Kutoarjo Carnaval, 2015
Flag Dancer Girls - Kutoarjo Carnaval, 2015
Flag Dancers - Kutoarjo Carnaval, 2015

Inner Beauty
Beauty Side - Kutoarjo Carnaval, 2015
Joke Lips - Kutoarjo Carnaval, 2015
Smiling side - Kutoarjo Carnaval, 2015
White Kebaya Girl - Kutoarjo Carnaval, 2015
Beauty Walk - Kutoarjo Carnaval, 2015
Main Mayorette - Kutoarjo Carnaval, 2015
Leopard Mayorette - Kutoarjo Carnaval, 2015
Mayorette Playing Stick - Kutoarjo Carnaval, 2015
Uncomplicated Mayorette - Kutoarjo Carnaval, 2015
Looking Eyes - Kutoarjo Carnaval, 2015
Walking Mayorette - Kutoarjo Carnaval, 2015
Still Silent - Kutoarjo Carnaval, 2015
Flag Mayorette - Kutoarjo Carnaval, 2015
Smile Batik Girl - Kutoarjo Carnaval, 2015
Green Star Girl - Kutoarjo Carnaval, 2015
Miss Long Hairs Wings - Kutoarjo Carnaval, 2015
Open Line Girl - Kutoarjo Carnaval, 2015
Ornamental Girls - Kutoarjo Carnaval, 2015
Purple Butterfly Wings - Kutoarjo Carnaval, 2015
Purple Flower Girl - Kutoarjo Carnaval, 2015
Self Confident Among - Kutoarjo Carnaval, 2015
Smilling White Bird - Kutoarjo Carnaval, 2015
Walking Peacock - Kutoarjo Carnaval, 2015
Butterfly Wings Walk - Kutoarjo Carnaval, 2015
Butterfly X Wings - Kutoarjo Carnaval, 2015
Princess Washing Soap - Kutoarjo Carnaval, 2015
Hijab Flog-Newspaper - Kutoarjo Carnaval, 2015

Identitas Hari Ini
Michael Jackson - Kutoarjo Carnaval, 2015
Gentle Mayorette - Kutoarjo Carnaval, 2015
Perverter Peoples - Kutoarjo Carnaval, 2015
Promotor Identity - Kutoarjo Carnaval, 2015
While Identity Today 1 - Kutoarjo Carnaval, 2015
While Identity Today 2 - Kutoarjo Carnaval, 2015
While Identity Today 3 - Kutoarjo Carnaval, 2015
While Identity Today 4 - Kutoarjo Carnaval, 2015
While Identity Today 5 - Kutoarjo Carnaval, 2015