Setting Sosial
Purworejo
adalah sebuah daerah yang berada di wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Daerah
perbatasan Purworejo terdiri dari tiga kondisi alam, di bagian selatan yang
menjadi batas akhir kabupaten, yang sekaligus sebagai batas negara, membentang
pesisir selatan pulau Jawa yang berhadapan dengan Samudera Hindia. Di bagian
timur membentang ke utara Pegunungan Menoreh adalah batas antara Kabupaten
Purworejo dan juga Provinsi Jawa Tengah dengan Yogyakarta, sedang batas di
bagian utaranya juga berbatasan dengan Kabupaten Magelang. Pegunungan juga
membentang di bagian utara yaitu Pegunungan Serayu, yang berbatasan dengan
Kabupaten Wonosobo. Sedang pada bagian barat Purworejo adalah dataran rendah.
Dataran rendah ini juga menjadi bagian dari wilayah tengah Kabupaten Purworejo
yang kemudian mewujud sebagai keunggulan Purworejo untuk membangun pertanian di
daerah ini. Dua pegunungan menjadi sumber air yang mengalir menjadi sungai-sungai besar yang terpecah
kecil-kecil, melintasi wilayah tengah dan juga dukungan
sumber air dari daerah Wonosobo, yaitu yang berasal dari Waduk Wadaslintang,
mengukuhkan pertanian menjadi dunia kehidupan masyarakat Purworejo. Maka tak
akan sulit menemukan sawah di kabupaten ini, bahkan di setiap jalannya pasti
akan melewati bentangan sawah-sawah. Bahkan di bagian selatan kabupaten ini
muncul istilah mbulak kepik, yaitu
bentangan sawah yang sangat luas yang memberi jarak yang cukup jauh antara satu
desa dengan desa yang lain. Dua pegunungan ini juga mendukung tumbuhnya
perkembunan di Kabupaten Purworejo. Dari dua pegunungan ini menumbuhkan dua
jenis buah durian yang berbeda, dari bentuk dan rasa. Saya tidak akan berbicara
banyak tentang durian ini, cukup pembaca lihat dan merasakannya secara langsung
bagaimana perbedaan kedua jenis buah durian itu. Dan khusus di bagian
Pegunungan Menoreh, kondisi alamnya cukup mendukung pertumbuhan peternakan
kambing khas dari Kabupaten Purworejo, ialah Kambing Etawa, yang terkenal
dengan tubuhnya yang gagah dan susunya yang berkhasiat.
Adanya
dua pegunungan ini kemudian menjadi arti bagi kehidupan petani di Purworejo,
baik di sektor pertanian, perkebunan, dan perternakan. Namun tidak demikian
bagi masyarakat yang bergerak di sektor perikanan dan mereka yang berada di pesisir.
Meski kondisi alam, khususnya sumber air yang baik, namun tidak dapat menunjang
lebih baik untuk perikanan di Purworejo. Perjalanan perikanan Purworejo untuk
menjadi sektor yang diunggulkan bagi petani masih cukup jauh, yang justru
dikarenakan adanya perbedaan kondisi alam ini, antara dataran tinggi dan
dataran rendah. Sedangkan bagi masyarakat di pesisir, karena mereka harus
menghadapi gelombang laut pantai selatan yang begitu tinggi, sehingga meski
mereka memiliki laut, tapi masyarakat setempat tidak bisa menumpukan hidup
mereka di laut. Hanya wilayah tertentu saja yang berani menjadi nelayan karena
kondisi pesisirnya yang mendukung, seperti di Jatimalang. Maka hanya disitulah
berkembang Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Kabupaten
Purworejo dilintasi jalan protokol, yaitu jalan yang menghubungkan antar daerah
dan provinsi yang terletak di sisi selatan. Semua jalan protokol berada di sisi
selatan Purworejo. Terdapat dua jalan protokol, yaitu yang melintasi kota yang
menjadi jalan utama menghubungkan antara Kebumen-Magelang dan
Kebumen-Yogyakarta, sedang jalan kedua melintasi daerah pesisir yang dikenal
sebagai jalan Daendels yang menghubungkan langsung antara Yogyakarta dan
Kebumen. Namun, akses jalan protokol di pesisir itu belum dapat mendukung laju
perekonomian di daerah sekitarnya. Berbeda dengan yang berada di tengah, dimana
sudah banyak berkembang pusat-pusat perekonomian, khususnya di Kutoarjo dan
Purworejo. Perkembangan perekonomian di Kutoarjo selain didukung oleh jalan
protokol yang menjadi akses utama mobilisasi darat juga berdiri sebuah stasiun
kereta api. Sedangkan di Purworejo, meski tidak dilintasi jalan protokol –
dalam hal ini jalan protokolo kemudian dialihkan melalui jalur lingkar, dimana
yang ke Magelang melalui lingkar utara dan yang ke Yogyakarta melalui lingkar
selatan –merupakan ibu kota kabupaten yang
menjadi magnet bagi pengusaha sebagai pasar.
Namun
demikian, tidak semua wilayah yang dilalui oleh akses besar ini dapat
berkembang dengan baik, seperti halnya
Banyuurip dimana di sana terdapat pusat trasnportasi umum, yaitu Terminal
Purworejo. Perkembangan kendaraan pribadi, kemajuan pelayanan kereta api, dan perkembangan
bisnis bus malam, memberikan dampak yang cukup besar bagi keberlangsungan
terminal yang mulai ditinggalkan
ini. Pada akhirnya, angkutan umum lebih banyak menunggu penumpang di
pasar-pasar, baik mini bus maupun kopada. Berkaitan dengan perkembangan kota
yang berpusat di dua kota, yaitu Kutoarjo dan Purworejo, sehingga penumpukan
angkutan-angkutan umum tersebut juga akan terlihat di pasar-pasar kedua kota
itu, Kutoarjo dengan Pasar Kutoarjo sedang Purworejo dengan Pasar Baledono.
Adapun angkutan umum, khususnya angkudes atau yang di Purworejo dikenal sebagai
kopada, yang menumpuk di kedua pasar
itu, juga terbagi ke dalam dua
wilayah. Pasar Baledono memberikan pusat akses angkutan umum untuk wilayah
timur antara lain: Bener, Gebang, Loano, Kaligesing, Banyuurip, Bagelen,
Purwodadi, Ngombol, Kemiri, dan Kutoarjo, sedang Pasar Kutoarjo memberikan
pusat akses angkutan umum untuk wilayah barat antara lain: Bruno, Kemiri,
Pituruh, Butuh, Grabag, Bayan, dan Purworejo.
Kabupaten
Purworejo terbagi kedalam 16 kecamatan, yaitu Purworejo, Kutoarjo, Bener,
Gebang, Loano, Kaligesing, Banyuurip, Bagelen, Purwodadi, Ngombol, Kemiri,
Bruno, Pituruh, Butuh, Grabag, dan Bayan. Daerah-daerah yang berada di
pegunungan yang digambarkan sebelumnya antara lain di wilayah kecamatan Bruno,
Pituruh (bagian pertengahan ke utara), Kemiri (bagian pertengan ke utara),
Gebang (bagian pertengan ke utara), Bener, Loano, Purworejo (sebagian kecil di
sisi timur), Kaligesing, dan Bagelen. Wilayah pesisir hanya dimiliki oleh tiga
kecamatan, yaitu Kecamatan Grabag, Ngombol, dan Purwodadi. Sedangkan lainnya,
yaitu Kecamatan Kutoarjo, Pituruh (bagian pertengahan ke selatan), Butuh,
Kemiri (bagian pertengahan ke selatan), Gebang (sebagian kecil di sisi selatan),
Bayan, Banyuurip, Purworejo, dan ketiga kecamatan yang memiliki pantai adalah
dataran rendah. Dengan kondisi ini maka dapat dipahami mengapa pusat
perekonomian Kabupaten Purworejo berada di bagian selatan, khususnya di
Kutoarjo dan Purworejo yang berada di
tengah antara daerah pegunungan dan pesisir,
karena di wilayah ini terbentang dataran rendah yang dengan mudah untuk
dibangun akses perekonomian berupa jalan protokol dan rel kereta api.
Sebagai
pusat pemerintahan, Purworejo dirasa wilayah yang paling strategi untuk
kabupaten ini, dimana kota ini dapat dengan mudah mengakses daerah sekitar,
yaitu untuk ke Magelang, Kebumen, Wonosobo, dan DI. Yogyakarta. Wujud dari
pusat pemerintahan ini adalah dengan berdirinya rumah dinas dan kantor bupati,
dan gedung DPRD. Sedangkan sebagai kota berkembang kedua, yaitu Kutoarjo
berdiri juga pusat pemerintahan, yaitu rumah dinas wakil bupati. Selain akses
mobilisasi, memang pemilihan pusat-pusat pemerintahan ini sangat tepat juga
sebagai kontrol perekonomian yang berkembang di kedua daerah itu. Namun demikian, apakah memang itu adalah pertimbangan utama
pada saat mendirikan pusat pemerintahan atau tidak, saya tidak tahu, karena
pendirian pusat pemerintahan di Purworejo adalah dikukuhkan oleh bupati
pertamanya, ialah Raden Adipati Aryo Cakranegara I. Sedangkan RAA. Cakranegara I, yang bernama
sebelumnya yaitu Raden Ngabei Reso Diwiryo, diberi kekuasaan bupati sebagai
hadiah dari pemerintahan Hindia Belanda karena berhasil mendesak perlawanan
Pangeran Diponegoro sehingga P. Diponegoro harus menerima perjanjian dengan
Belanda di Magelang yang berujung penangkapannya. Namun, adanya campur tangan
pemerintahan Hindia Belanda nampaknya dapat membuka pandangan akses perekonomian,
dimana pada waktu itu pemerintahan Hindia Belanda juga memiliki akses ekonomi
ke Yogyakarta, Magelang, dan Banyumas, sehingga daerah Brengkelan, yang kini
menjadi nama Purworejo, adalah tepat sebagai daerah strategis pusat
pemerintahan.
Berbicara mengenai perlawanan Pangeran Diponegoro yang
dikenal sebagai Perang Jawa memberikan keunikan tersendiri. Jika kita berbicara
mengenai orang Jawa, apriori kita akan menggambarkan sebuah sosok yang akan
mengenakan blangkon dikepala, sorjan, jarit, dan slempang dipinggang yang
menggantungkan sebuah keris menyilang di belakang. Tapi gambaran ini nampak
sulit digambarkan dalam Perang Jawa, dimana justru panglima-panglima perang
Pangeran Diponegoro, termasuk dia, mengenakan sorban sebagai ikat kepala, jubah
putih, hanya saja bersenjata keris yang terselip di pinggang, salah satunya
adalah Sentot, panglima kavaleri dari Pangeran Diponegoro. Dalam hal ini
kemudian dapat dipahami dua isu yang Diponegoro usung untuk mendapat dukungan
dari rakyat, yaitu isu Jawa, dengan nama perang dan keris sebagai pusaka, dan
Islam, dengan material lain dan tata cara spiritual yang ia lalukan. Di
masa-masa akhir Diponegoro, sebelum ditangkap di Magelang, ia melakukan
perlawanannya dengan basis wilayah di tanah Bagelen. Pergerakan Diponegoro di
tanah Bagelen tidak dapat lepas dari situasi alam di wilayah ini, khususunya
pada daerah pegunungannya dan tidak lepas juga dari dukungan seorang imam dari
tanah ini, ialah Kyai Imam Puro. Kyai Imam Puro adalah seorang ulama yang
menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Bagelen. Dalam hal ini, kemudian akan
terasa berapa lama sudah penyebaran agama Islam di Purworjo hingga sekarang.
Makam Kyai Imam Puro sendiri berada di Geger Menjangan, daerah pegunungan di
wilayah Purworejo.
Perkembangan kesenian di Purworejo telah mencapai
titik hak milik, khususnya kesenian Dolalak,
atau juga yang dikenal sebagai angguk.
Namun demikian, tidak hanya kesenian dolalak yang ditampilkan di wilayah
Purworejo, terdapat kesenian-kesenian lainnya seperti jaran kepang (Kuda Lumping), wayang kulit, terbangan, dan masih banyak lagi lainnya. Apa yang saya maksud
kesenian disini adalah bahwa tidak hanya sebuah seni pertunjukkan, tetapi
secara dalam bahwa kesenian adalah pengetahuan yang disampaikan secara unik
melalui gerak, musik, dan lagu, dan disampaikan secar tradisi atau
turun-temurun dengan ketentuan adat atau pakem-pakem-nya.
Sedang apa yang terpancar pertama kali dari kesenian-kesenian yang berkembang
di Purworejo memberikan ciri khas Jawa. Namun jika diperhatikan lebih dalam
lagi, bahwa nuansa Islam diantara musik dan lagu akan kentara. Seperti kesenian
yang diunggulkan oleh masyarakat Purworejo, ialah dolalak, dimana misi pertama
pertunjukkan kesenian ini adalah untuk menghibur masyarakat yang sedang
bergotong-royong mengantarkan bedug
(alat yang dapat mengeluarkan suara jika dipukul, terbuat dari kayu gelondong,
berbentuk tabung, yaitu berlubang ditengahnya, dimana disetiap ujung-ujungnya
ditutup dengan kulit hewan, khususnya dari kerbau, sebagai tempat untuk dipukul)
dari desa Pendawa ke Purworejo, sehingga bedug ini juga dikenal dengan nama
Bedug Pendawa. Bedug Pendawa dikenal sebagai bedug terbesar di dunia karena
terbuat dari kayu jati utuh dengan lingkar yang cukup besar, yang tidak cukup
untuk dipeluk dengan dua orang. Dengan kata lain, bahwa kesenian dolalak ini
membawa misi Islam, mengantarkan alat pematok waktu solat lima waktu untuk
masyarakat Purworejo dan sekitarnya, yang konon dahulu jika bedug ini di tabuh
dapat terdengar di wilayah yang cukup jauh.
Namun demikian, kesenian dolalak hari ini juga sulit
untuk dipahami sebagai kesenian yang membawa misi Islam karena memang gerak dan
lagunya masih samar-samar untuk menunjukkan pengetahuan Islam-nya. Begitu juga
dengan jaran kepang, gerak dan
materialitasnya tidak memberikan nuansa Islam, namun dalam pembagian waktu
tampil tidak akan lepas dari waktu sholat, khususnya sholat dzuhur yang menjadi
waktu jeda antara penampilan pembukaan dan penutupannya. Selain itu juga,
dibeberapa bagian lirik kita bisa memperhatikan mengenai peringatan waktu
sholat. Meski demikian, kedua kesenian ini, dolalak dan kuda lumping lebih
terlihat dengan pementasan seni kesurupannya dari pada pesan yang disampaikan.
Hal ini agak mirip dengan keadaan pementasan wayang kulit, dimana wayang kulit
yang kita kenal sampai hari ini adalah gubahan dari Sunan Kalijaga, salah satu
Walisongo penyebar agama Islam di Jawa. Sayangnya, kesenian-kesenian ini adalah
kesenian Islam yang sangat sulit dipahami melebih pentas penikmatan mata.
Berbeda halnya dengan kesenian-kesenian perkusi yang
berkembang di daerah-daerah Purworejo, yang berwujud rebana, kendang, dan
jidur. Meski terkadang mucul alat musik lainnya, tetapi alat-alat itu adalah
alat pokok, dan ada juga yang tanpa menggunakan kendang. Berbagai nama juga
muncul untuk memberikan identitas kesenian yang mereka bawakan, seperti jidur, terbangan, janjakan, qosidahan, dan lain sebagainya. Apapun
itu namanya, kemudian kesenian perkusi ini terbagi menjadi dua aliran, yaitu
yang terdiri dari rebana dan jidur dan yang dengan menggunakan kendang.
Perbedaan yang mencolok juga terletak
ketika mereka menampilkan kesenian itu, dimana pakaian yang memiliki
nilai Islam, pria menggunakan kopiah, berkoko, dan bersarung, sedang jika itu
adalah wanita biasanya menggunakan jilbab dan menggunakan pakaian gamis.
Sedangkan kesenian perkusi yang menggunakan kedang, biasanya terdapat idenitas
Jawa yang masih melekat, seperti menggunakan blangkon, bersorjan, sedang
bawahannya menggunakan sarung. Kedua kesenian ini tidak hanya menyajikan musik
saja, tetapi juga diiringi dengan lagu atau nyanyian, yang keduanya akan
memberikan nuansa Islam dalam lagu-lagunya yang diselingi juga dengan
pengetahuan-pengetahuan setempat. Bagaimana pun bentuk kesenian itu,
lirik-lirik yang disusun, bahwa kesenian ini pada dasarnya dibentuk dan
dilestarikan oleh intelektual tradisional khususnya intelektual Islam setempat.
Kabupaten Purworejo dihuni oleh dua etnis, yaitu Jawa
dan Cina/Tionghoa. Meski tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat warganya yang
di luar etnis itu, seperti sunda, melayu, arab, atau yang lain sebagainya.
Namun demikian, bahwa etnis yang disebutkan tersebut adalah etnis yang telah
bernegosiasi dengan masyaraka Purworejo akan identitasnya melalui pementasan
budaya di publik. Selain kesenian-kesenian yang telah disebutkan sebelumnya,
dimana telah menunjukkan idenitas Jawa. Idenitas Jawa ini kemudian dikukuhkan
kembali dengan mempertunjukkan budaya Bagelen dalam arak-arak pasukan Mataraman
di jalan protokol ibu kota, bahwa diketahui Mataram adalah kerajaan Jawa yang
sampai saat ini masih dikukuhkan keberadaannya. Sedang etnis Cina atau juga
dikenal sebagai etnis Tionghoa, meski saya tidak tahu bagaimana cara membedakan
keduanya, telah memiliki kebebasannya sejak tahun 2005, dimana hal ini
diwujudkan di waktu tertentu, seperti Tahun Baru Imlek, yang menampilkan seni
Barongsai di jalan-jalan teretentu. Meskipun tidak sebesar atau sekerap
kesenian Jawa, kesenian dari etnis Cina ini kemudian berani muncul di publik.
Artinya bahwa, selain masyarakat Jawa di Purworejo, bahwa Cina juga telah
diperhitungkan dalam kehidupan masyarakat di Purworejo.
Mereka yang Terlupakan dalam Arena Politik Purworejo
Dari pemaparan di atas, pada dasarnya sudah jelas
bagaimana kondisi persebaran kekuatan politik di dalam masyarakat Purworejo.
Namun, dalam hal ini saya akan mempertajam sasaran apa yang saya maksud. Bahwa
sangat penting memetakan kekuatan politik di Purworejo untuk menentukan arah
pembangunan dan perekonomian daerah ini. Dalam hal ini, politik janganlah
dibuat dangkal dengan mengikut sertakan pengertian politik dari partai-partai
saat ini. Karena hal ini mudah dilihat dan dirasakan, bahwa setiap pemilu akan
tiba, justru kampanye-kampanyelah yang disebarluaskan, bukan propaganda
politik. Menjadi dua hal yang berbeda antara kampanye dan propaganda, dimana
kampanye adalah sebuah usaha mengenalkan diri untuk mendapatkan dukungan suara
politik, sedangkan propaganda adalah menyebarluaskan atau menerangkan sebuah
ideologi yang berbasis dari pengetahuan daerah untuk dikembangkan sebagai
kekuatan politik. Meski keduanya adalah sama-sama untuk mencapai kekuasaan
politik dengan meraih dukungan suara politik, namun propaganda justru berusaha
mencerdaskan masyarakat dengan turut menanggapi isu-isu yang mereka hadapi,
baik sedang maupun yang akan dihadapi. Dan propaganda tidak dapat dilaksanakan
jika mereka yang akan melakukan pengumpulan suara politik tidak mengetahui isu-isu
yang berkembang di masyarakat yang ada di wilayah gerakan politiknya.
Pada dasarnya, partai politik sebelum pemilu tahun
1966, menjadi populer di kalangan mereka untuk membuat divisi propaganda,
dimana orang-orang di dalamnya akan membuat sebuah pengumpulan pengetahuan dari
daerah yang akan menjadi basis pergerakannya dan akan menyelaraskan dengan
ideologi yang mereka usung, dan kemudian hal itulah yang akan mereka sebarkan
pada masyarakat sasaran. Namun bagaimana dengan sekarang? Untuk memotong
kompas, kampanye adalah menjadi cukup sebagai kegiatan peraihan suara politik,
selebihnya diserahkan pada orang-orang parpolnya yang memiliki kekuasaan di
daerah-daerah untuk menggali dukungan lebih dalam. Bagaimana caranya, saya
tidak tahu, yang jelas mereka berbasis pada kekuasaan di daerahnya, baik berupa
kekuasaan ekonomi, kesenian, atau lain sebagainya. Hal ini telah melompati
berbagai kelompok sosial yang ada di masyarakat, terutama di Purworejo dalam
kekuasaan politik.
Setidaknya terdapat 3 kategori pengelompokan kekuatan
politik di Kabupaten Purworejo, yaitu kaum Purworejo, wong Purworejo, dan etnis Purworejo. Purworejo memiliki tiga kaum,
yaitu kaum petani, kaum pedagang, dan kaum santri, tiga jenis wong Purworejo yaitu wong pasar, wong pereng, dan wong kidul, dan dua etnis yaitu Jawa
dan Cina.
Kaum Petani, Pedagang, dan Santri
Saya menggunakan kata kaum disini karena bahwa istilah
kaum lebih dekat dengan kelompok yang menyatukan diri mereka dalam ikatan
kekerabatan. Begitu juga pada kaum petani dan kaum pedagang. Perlu diketahui
bahwa petani adalah sebuah pekerjaan yang tidak membuka lowongan pekerjaan
kepada masyarakat untuk membuka lahan dan bercocok tanam. Kebanyakan dan sangat
mudah dipastikan bahwa pekerjaan petani berasal dari turun-temurun para orang
tua dan sesepuh mereka. Disamping mereka punya atau tidak punya lahan garapan,
bahwa kecakapan dan pengetahuan mengenai petani tidak dapat diperoleh hanya
dengan belajar di lembaga-lembaga pendidikan, baik sekolah menengah atas maupun
perguruan tinggi. Mereka harus secara turun-temurun mengerti pengetahuan petani
dari tradisi-tradisi yang diikutinya. Sedangkan mereka yang belajar di sekolah
menengah sampai perguruan tinggi hanya menciptakan elite-elitenya saja, sebagai
penyuluh dan lain sebagainya yang tidak menyentuh langsung kehidupan petani.
Pembentukan kekerabatan ini kemudian memunculkan
kekuatan politik di dalam masyarakat petani, dimana dasar dari kekuatan itu
adalah rasa kekeluargaan antar sesama petani. Hal ini mewujud dalam
tradisi-tradisi petani yang selalu melibatkan semua anggota petani untuk dapat
memahami dan melaksanakan dengan tertib, seperti kapan mereka harus menanam dan
memanen, dan siapa yang terlebih dahulu melaksanakan itu, karena hal ini akan
memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalah hama saat panen tiba. Hal ini
terjadi pada petani padi. Namun tidak berbeda dengan petani-petani lainnya,
dengan tradisi-tradisi yang mereka bangun berdasarkan pengetahuan dan kebutuhan
mereka masing-masing tentunya.
Tidak jauh berbeda juga dengan kaum pedagang. Meskipun
pekerjaan pedagang lebih terbuka dari pada petani, namun bakat dalam
pengetahuan dagang juga lebih banyak di dapatkan dari turun-temurun. Dikatakan
lebih terbuka karena pengetahuan mengenai perdagangan dapat diakses oleh banyak
orang, baik yang dari keturunan kaum pedagang maupun yang tidak, dan
pengetahuan itu dapat dilakukan secara mandiri dengan memiliki modal, tentu
saja. Namun demikian, kekuatan politik dari pedagang juga sangat diperhitungkan
dalam masyarakat, karena merekalah yang memutar roda perekonomian daerah. Dalam
hal ini masih belum dibedakan antara pedagang modern dan tradisional. Hanya
saja, meski pedagang modern memiliki akses untuk memutarkan perekonomian lebih
cepat namun kekuatan politik kaum pedagang modern masih jauh dari kekuatan
politik kaum pedagang tradisional. Pedagang tradisional memiliki ikatan
kekeluargaan yang lebih kental antar sesama pedagang dan yang kemudian
menciptakan kekuatan politik di dalamnya. Hal ini terasa misal ketika seorang
pedagang lombok diminta menyediakan lombok 2kg dan ternyata stoknya hanya
sekitar 1,5 kg kurang, maka dia akan mencari pedagang lainnya untuk meminjam
lombok 1kg untuk memenuhi pesanan pelanggannya sedang dia akan mengembalikan
lombok itu kepada pemiliknya dengan bentuk uang hasil penjualannya. Relasi ini
kemudian berubah menjadi saling dukung antar pedagang, baik yang memiliki
kesamaan barang yang di jual maupun yang berbeda.
Kaum ketiga adalah kaum santri, yaitu mereka yang
memiliki basis pengetahuan agama Islam. Persebaran ajaran agama Islan di
Purworejo ini mungkin ada hubungannya dengan jasa kyai Imam Puro, namun tidak
menutup kemungkinan ulama-ulama lain yang datang ke Purworejo. Di Purworejo
sendiri juga banyak berdiri pondok-pondok pesantren. Namun demikian, kaum
santri yang saya maksud bukanlah mereka yang tinggal di pondok pesantren,
melainkan mereka yang mengukuhkan ajaran agama Islam di daerah-daerah. Seperti
yang saya ungkap mengenai kesenian di Purworejo, bahwa banyak intelektual
santri mengembangkan kesenian dalam bentuk musik dan lagu yang dapat dimainakan
dengan mudah oleh masyarakat. Penciptaan kesenian dan melestarikannya adalah
salah satu wujud keseriusan kaum santri dalam menyebarkan dan mengukuhkan
ajaran Islam di daerah-daerah. Selain itu, basis kaum ini tidak hanya kembali
ke pondok pesantren, juga diperhitungkan di setiap daerah hingga desa yang
memiliki masjid yang menjadi pusat beribadah di wilayahnya, seperti terlihat
pad amasjid-masjid yang mengadakan ibadah sholat Jumat dan sholat Id, pasti
memiliki pengurus takmir. Di situlah kaum santri di daerah-daerah memperkuat
basis mereka. Kekuatan santri ini juga sangat diperhitungkan dalam politik,
karena kaum santri memiliki hegemoni di dalam masyarakat melalui penyebarluasan
ajaran agamanya. Hegemoni yang dimiliki kaum santri ini dikatakan cukup besar
karena mereka dipandang sebagai salah satu tokoh masyarakat yang dapat
memecahkan permasalahan yang terdapat di daerah cangkupan wilayahnya. Selain
itu, kaum santri yang kemudian dianggap sebagai pemuka agama yang kedudukannya
setara dengan pemegang adat setempat diberi sebuah porsi tingkatan sosial atas
di masyarakatnya.
Hubungan kekerabatan memiliki kekuatan politik yang
cukup besar di Negara Indonesia secara umum, dan Purworejo secara khusus. Hal
ini banyak bekerja pada saat pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan
baik bersama, kelompok, maupun individu. Dasar dari pengambilan keputusan ini
juga sangat terbuka dengan melalui musyawarah, terlebih jika didasari atas
kekeluargaan. Namun kekeluargaan ini bukan diartikan dalam nepotisme, yang
hanya memberikan pengaruh secara sepihak, tetapi lebih pada hegemoni dari
pengetahuan yang disusun secara bersama. Yang menjadi pertimbangan kekuatan
lainnya adalah, bahwa keadaan alam yang mendukung pertanian di Purworejo
memberikan cangkupan kaum petani yang tersebar luas di berabagai daerah di
Purworejo. Kaum pedagang Purworejo adalah mereka yang memiliki akses paling
dekat dengan akses mobilitas di Purworejo, yaitu jalan protokol dan pusat
transportasi. Meski kedua hal itu adalah yang mempengaruhi laju perekonomian
untuk kaum pedagang, sudah dipastikan bahwa di masing-masing daerah di
Purworejo memiliki pusat perekonomiannya masing-masing. Sedangkan kaum santri,
adalah kaum yang secara eksklusif dapat masuk ke dalam kekuatan politik karena
posisi mereka yang mencapai posisi hegemoni yang tinggi di masyarakat.
Wong Pasar, Wong Pereng, dan Wong Kidul
Berbeda dengan kekuatan politik yang dimiliki oleh
kelompok kaum, dalam kolompok Wong di Purworejo, pergerakan mereka
terbagi berdasarkan kewilayahan di dalam kehidupan sehari-hari. Juga berbeda
dengan kelompok kaum yang memiliki
identitas yang jelas. Bukan berarti kelompok wong tidak memiliki identitas yang jelas, tetapi mereka samar dalam
mendeklarasikan diri sebagai kelompoknya. Setidaknya terdapat tiga kelompok wong, yaitu wong pasar, wong pereng, dan wong
kidul.
Seperti namanya, wong
pasar adalah kelompok masyarakat yang
dalam kesehariannya berada di wilayah pasar, khususnya pasar tradisional. Wong pasar sendiri terdiri dari
pedagang, tukang parkir, tukang becak, supir angkot, dan kuli angkut. Meski
pedagang sendiri memiliki beberapa klasifikasi, seperti pedagang tetap yang
berjualan di kios atau kapling, pedagang emperan, dan pedagang asonga, namun
klasifikasi tersebut tidak banyak artinya dalam kekuatan politik bersama
mereka, dimana mereka saling mendukung dan melengkapi saat roda perekonomian
sedang berjalan di pasar itu. Memang pedagang adalah unsur pokok keberadaan
pasar, tetapi tukang parkir sampai kuli angkut adalah unsur-unsur pedukung
dalam keberlangsungan peningkatan laju perekonomian di pasar tersebut. Seperti
halnya keberadaan pasar di Kutoarjo dan Purworejo, dimana antrian parkir
angkutan umum dari berbagai daerah tujuan menandakan bahwa pasar tersebut
adalah pasar yang memiliki tingkat perkembangan ekonomi yang baik. Kekuatan
politik wong pasar ini terletak pada
negosiasi keberlangsungan ekonomi daerah tentu saja. Bahwa pasar adalah tempat
dimana laju barang di daerah setempat berlangsung dan itu yang memberikan
kesejahteraan ekonomi di daerah tersebut. Dan apabila salah satu unsur itu
hilang, kekacauan mungkin akan terjadi di dalam sitem perekonomian, terutama di
pasar, yang akan berdampak pada perputaran ekonomi di daerah tersebut.
Wong Pasar ini memiliki basis kewilayahan dan
pengetahuan yang jelas ketika mereka bergerak, berbeda dengan dua wong lainya, yaitu wong pereng dan wong kidul.
Wong pereng dan wong kidul memang memiliki kewilayahan yang jelas, tetapi
pengetahuan mereka tidak banyak memiliki kejelasan. Wong pereng yang dimaksud ialah masyarakat yang bertempat tinggal
di bantaran atau di sekitar sungai meski tidak setiap bantaran sungai yang
didiami oleh masyarakat menjadi wilayah wong
pereng. Sedang wong kidul adalah
mereka yang tinggal di selatan jauh dari rel kereta api dan mendekati pesisir.
Meski juga saya tekankan tidak tiap masyarakat yang tinggal diantara selatan
rel kereta api dan utara pesisir adalah wong
kidul, tetapi basis wong kidul
berada di antara kedua tempat itu. Saya katakan sebelumnya bahwa wong pereng dan wong kidul tidaklah memiliki pengetahuan yang jelas, karena apa
yang mereka tonjolkan dalam hal ini bukan pengetahuan yang membentuk sebuah
budaya, tapi tradisi dari unjuk kekuatan fisik. Dalam hal ini saya tidak sedang
menjustifikasi bahwa wong pereng dan wong kidul adalah kelompok preman yang
menggunakan kekuatan fisik meraih keuntungan untuk kehidupan mereka, tetapi
bahwa mereka memiliki kekuatan politik dengan negosiasi kekuatan fisik. Hal ini
terjadi apabila kelompok atau masyarakat mereka mengalami kerugian politik yang
merambah pada perekonomian dan bidang-bidang lainnya, sehingga negosiasi
politik mereka dengan menawarkan kekuatan fisik.
Jawa dan Cina
Kelompok ketiga yang berkembang di Purworejo adalah
etnis Purworejo. Terdapat dua etnis yang hidup secara budaya di Purworejo.
Tidak menutup kemungkinan bahwa di Purworejo juga hidup orang-orang dari luar
etnis yang disebutkann itu. Namun demikian, hanya Jawa dan Cina-lah yang berani
menegosiasikan budaya mereka di ruang publik Purworejo, sedang etnis lain tidak
melakukan hal demikian. Bahwa secara sejarah, Purworejo yang semula dikenal
sebagai tanah Bagelen adalah sebuah bagian dari rentetan sejarah kerajaan
Mataram yang dikenal saat ini sebagai pusat peradaban Jawa. Sehingga tidak
mengherankan jika Purworejo mengukuhkan sebagian besar etnisnya adalah dari
Jawa. Kesenian-kesenian yang berkembang di daerah, yang tampil secara tunggal
juga memberikan identitas yang kental dengan tradisi Jawa. Persebaran etnis
Jawa ini mencakup seluruh wilayah di Kabupaten Purworejo. Etnis kedua yang
hidup di Kabupaten Purworejo adalah etnis Cina. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, bahwa kini etnis Cina berani melakukan negosiasi idenitasnya di
ruang publik. Salah satunya ketika merayakan imlek, dimana beberapa kali mereka
menampilkan pertunjukan seni Barongsai di jalan-jalan kota.
Lalu, bagaimana persebaran kekuatan politik pada
etnis-etnis tersebut? Adanya dua kekuatan politik dalam satu daerah, maka hal
ini mengakibatkan dinamika yang lebih keras dari pada hanya satu etnis atau
beberapa etnis. Dinamika yang keras ini berwujud pada tarik-menarik hingga
perebutan kekuatan politik. Etnis Jawa dengan basis masyarakat dan pertaniannya
sedang Cina dengan dominasi ekomoni yaitu memiliki penguasaan pusat-pusat
perekonomia, seperti banyak deretan-deretan toko di kota dikuasai oleh Cina
sebagai pemilik dari toko-toko tersebut. Maka tidak sulit menemukan pemukiman
tempat tinggal etnis Cina diantara etnis Jawa, yaitu di pusat-pusat
perekonomian kota, demikian juga etnis Cina yang berada di daerah. Namu
demikian, etnis Jawa yang memiliki basis masyarakat dan persebaran yang lebih
luas, dan memiliki berbagai golongan di antaranya, maka etnis Jawa memiliki
kekuatan yang berimbang dengan etnis Cina. Sehingga, tarik-menarik kekuasaan
politik dan usaha perebutannya tidak jarang menimbulkan sentimen etnisitas.
Sentimen ini kemudian muncul dalam dua istilah yang
mencerminkan masing-masing, bahwa karena dominasi ekonomi, etnis Cina atau
mereka yang memiliki perilaku seperti etnis Cina akan disebut dengan cino atau singkek, namun ada juga yang sebutan lebih halus, yaitu tacik (untuk perempuan tuan) dan koh (untuk laki-laki tua). Pada etnis
Jawa sering muncul dengan sebutan wong
kere (orang miskin atau orang yang memiliki daya beli rendah) atau wong ndeso (orang desa atau orang yang
dianggap tidak tahu apa-apa), sedang sebutan yang sering didengar lebih halus
adalah cah ayu (anak cantik atau
wanita yang memiliki tabiat baik) atau cah
bagus (anak ganteng atau laki-laki yang memiliki tabiat baik). Dalam
sentimen ini, timbul dua pengertian, bahwa Cina adalah mereka yang memiliki
ekonomi kelas menenga ke atas dan dianggap lebih tua sedang Jawa adalah mereka
yang memiliki ekonomi kelas menengan ke bawah dan dianggap lebih muda.
Penutup
Kekuatan politik di Kabupaten Purworejo tersebar ke
dalam kelompok-kelompok sosial, yaitu pada kaum Purworejo, wong Purworejo, dan etnis Purworejo. Namun demikian, terdapat juga
golongan-golongan yang sulit untuk mencari akses politik yang pasti, yaitu mereka
yang terdapat pada golongan karyawan, pegawai, buruh, dan pelajar. Karyawan
adalah mereka yang bekerja baik secara tetap maupun sementara pada pemiliki
usaha perekonomian dengan tingkat kesejahteraan menengah ke bawah, seperti
karyawan kantoran, montir bengkel, pramuniaga (penjaga atau pelayan toko). Karayawan
ini dekat juga dengan mereka yang tergolong buruh, namun buruh disini saya
bedakan menjadi dua, yang pertama adalah mereka yang bekerja di industri
khususnya di pabrik yang masih berdiri beberapa di Purworejo, dan pekerja
serabutan yang tidak pasti seperti buruh bangunan, buruh cuci pakaian, dan
pekerja rumah tangga. Buruh yang pertama, yaitu buruh pabrik, tidak cukup
memiliki kekuatan politik karena sedikitnya industri besar yang berdiri di Purworejo
memberikan persaingan di antara mereka untuk mendapatkan posisi kerja di dalam
pabrik untuk kehidupan mereka. Sedang buruh yang keuda, yaitu buruh serabutan,
karena ketidaktetapan mereka dalam bekerja, yang mengikuti arus perputaran
ekonomi atas, tidak pada saat perekonomian berbutar di bawah, maka kekuatan
mereka sangat lemah untuk negosiasi politik.
Pegawai dan pelajar sering digemborkan sebagai kaum
intelektual di masyarakat. Namun, saya harus memberikan porsi mereka pada
kekuatan politik yang samar. Pada golongan pegawai, baik struktural maupun
fungsional, mereka memiliki kekuatan sendiri untuk menentukan politik mereka.
Karena memiliki kekuatan memilih, maka kekuatan politik mereka tidak dapat
mengalami penyatuan. Dalam hal ini saya tidak mencoba mengenang masa orba,
tetapi pada kesatuan mereka yang tergabung dalam Korpri tidak memberikan banyak
peluang untuk menyatukan kekuatan politik dalam negosiasi ke pemerintahan untuk
pembangunan daerah dan kesejahteraan. Hanya mereka yang telah tergabung pada afiliasi
gerakan politik tertentulah yang dapat bernegosiasi akan dirinya sendiri dan
kelompoknya, selebihnya hanya akan mengikuti gelombang era pemerintahan.
Tidak jauh berbeda dengan kaum pelajar, dimana
kekuatan politik mereka juga harus dikatakan samar. Secara hukum penduduk dapat
memiliki akses politik jika mereka memiliki KTP sebagai bukti kewarganegaraan,
sehingga ini diperkirakaan basis pelajar yang memiliki kekuatan politik berada
pada kelas atas di sekolah menengah atas atau kejuruan sampai pada perguruan
tinggi. Di Kabupaten Purworejo, terdapat puluhan sekolah menengah atas dan
kejuruan, namun sedikit memiliki perguruan tinggi, yaitu hanya terdapat 6 perguruan
tinggi dan semuanya tergolong swasta. Tidak seperti pegawai, kesamaran golongan
terpelajar ini karena mereka tidak memiliki negosiasi dalam politik, karena
sederhana, mereka tidak memiliki dinamika diskusi yang membentuk ideologi yang
jelas untuk bernegosiasi dalam politik. Sehingga, kekuatan politik di kalangan
pelajar Purworejo belum dapat menjadi salah satu peta politik di Purworejo.