Beauty Sunrise

Ulat Sumeh Agawe Renaning Wong Akeh.

Rapuhnya tiang saka Kraton

Orang yang SABAR itu memiliki pengetahuan yang luas adalah orang yang tidak akan terombang-ambing oleh keadaan.

Good Morning Flamingo

Lakonana Disik Dadi lan Becike.

Pagar Keraton

Sejatinya itu tidak ada apa-apa, yang ada itu bukan.

Red Sunset

PERCAYA itu ibarat tali yang menghubungkan Tuhan Yang Maha Esa kepada umatnya.

Monday, November 30, 2015

SELFIE DARI AKU UNTUK KALIAN: Antara Eksis, Narsis, dan Eksibisionis

by pandu pramudita

Telah menjadi populer seiring perkembangan teknologi komunikasi yang digabungkan dengan teknologi penangkap gambar yang dikenal dengan kamera, memberikan kemudahan untuk setiap orang mengabadikan momen-momen mereka tanpa harus memiliki kamera eksklusif. Di samping itu, perkembangan kamera digital dengan ukuran yang dapat digenggam dan harga terjangkau juga memberikan peluang untuk banyak orang memiliki sebuah alat pengabadian gambar. Pengabadian gambar kemudian menjadi sebuah hal yang booming dalam jagad teknologi, yang biasa disebut fotografi. Dalam tren photography ini, muncul satu gaya yang menjadi trend di berbagai kalangan, yaitu yang dikenal sebagai selfie. Selfie pada dasarnya adalah sebuah gaya fotografi dengan mengambil potret diri sendiri.

Salah satu hal yang mengitari gaya fotografi yang satu ini adalah bahwa hasil dari selfi jarang kemudian menjadi sebuah karya yang berwujud lembaran kertas yang ditempel di dinding dalam bingkai atau terpasang pada album-album foto. Hasil dari selfie ini kebanyakan langsung diteruskan pada media-media sosial, seperti facebook, whatsapp, blackberry messagger, twitter, instagram, dan lain sebagainya. Artinya bahwa, selfie ini kemudian dipamerkan langsung kepada mereka yang terhubung dengan media sosial dalam jaringan pertemanannya, atau langsung ke dunia maya yang dapat diakses oleh siapapun.

Selfie Eksis

“Aku selfie maka aku ada”, mungkin sebuah kalimat yang bisa menggambarkan tindakan yang mereka lakukan pada saat memotret diri sendiri dan menyebarkannya di media sosial. Arti keberadaan dirinya dia wujudkan pada potret diri yang kemudian disebarkan di media sosial. Biasanya mereka menyebutkan ketika dia ingin ber-selfie dengan “eksis dulu yuk”, “eksis dulu donk”, atau “eksis, tetep”, dan lain sebagainya. Dalam selfie, eksis dapat dipahami sebagai usaha seseorang untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa dirinya sedang melakukan sesuatu, bertemu seseorang atau orang-orang tertentu, ataupun berada di suatu tempat. Dengan kata lain bahwa dia ingin menunjukkan keberadaannya kepada orang lain dan menunjukkan bahwa dirinya itu ada.

Selfie Narsis

Meski tidak jauh kedengarannya dengan narsis, namun kedua hal ini, antara eksis dan narsis, memiliki perbedaan yang tajam. Bahwa narisis adalah upaya untuk menyukai, mencintai, dan membanggakan diri sendiri. Namun, nasis bukanlah egois, karena penekanan egois adalah memikirkan diri sendiri tanpa menghiraukan keberadaan orang lain, dan ini lebih pada perlawanan dari eksis, bukan narsis. Sedang narsis penekanannya pada dia ingin menunjukkan kepada dirinya sendiri bahwa ada sesuatu hal dari bagian dirinya yang dapat dibanggakan atau dia sukai. Jika dilihat pada selfie, bahwa tindakan narsis ini tidak untuk ditujukan kepada orang lain, justru dia ingin menunjukkan kepada dirinya sendiri. Antara eksis dan narsis perbedaanya bahwa, meski hasil selfie keduanya ditunjukkan kepada orang lain, narsis tidak memiliki harapan untuk ditanggapi oleh orang lain, dan dia juga tidak usah memikirkan apa yang akan dipikirkan orang lain, yang terpenting adala dirinya sendiri menyukai apa yang dia miliki. Secara positif, mereka yang memiliki narsistik, dia memiliki kepercayaan diri yang bagus, namun negatifnya adalah jika hal ini sering dilakukan maka justru dia menunjukkan ketersendiriannya.

Selfie Eksibision Salah Satu Artis-Penyanyi
Hal ketiga mengenai selfie adalah eksibisionis, dimana hal ini lebih pada seksualitas. Pada dasarnya eksibision itu adalah bagian dari narsistik, yang memiliki tujuan untuk menunjukkan sesuatu yang ada pada dirinya untuk orang lain demi kepuasan dirinya sendiri. Dikatakan sebagai sebuah seksualitas, karena pada dasarnya eksibisionis adalah suatu tindakan untuk memuaskan seksualitasnya dengan menunjukkan bagian intim tubuhnya kepada banyak orang. Pada dasarnya bagian yang ditunjukkan itu adalah bagian-bagian intim miliknya, seperti payudara, vagina, maupun penis. Namun demikian, dalam mereka menunjukkan bagian-bagian tubuhnya, meski sebagian ditunjukkan secara vulgar, banyak diantara mereka juga menunjukkannya dengan tertutup hanya saja tetap menampakkan bagian yang ditutupinya. Dalam foto-foto selfie eksibisionis, hal yang ditekankan adalah bahwa foto diambil dengan usaha sendiri tanpa ada orang lain yang terdapat di sekitarnya. Hal ini memberikan sebuah pemaknaan bahwa ini adalah sebuah usaha dirinya untuk menunjukkan bagian tubuhnya semata-mata memang ditujukan untuk dilihat oleh banyak orang.

Eksibisionis tidak akan tampak jika di dalam foto terlihat terpisah antara kamera dengan dirinya, karena hal ini memungkinkan ada orang lain di situ untuk mengambil foto mereka. Mengapa jika ada orang lain tidak dikatakan eksibisionis? Karena apa yang dia tunjukkan tidak menggambarkan ditujukan oleh orang banyak, tapi kepada orang yang mengambil gambar dirinya, jika demikian dia pada dasarnya melakukan seksualitas yang normal, hanya saja mungkin sedang penetrasi atau pemanasan seksualitas untuk merangsang hasrat. Selain itu, hanya dengan berfoto selfie terbuka di ruang terbuka tidak cukup diakatan eksibisionis. Dikatakan eksibisionis sepanjang keterbukaan tubuhnya dilihat oleh banyak orang, baik itu dilakukan di depan umum yang terdapat banyak orang, atau langsung dihadapan kamera yang kemudian disebarkan di media sosial.

Dalam eksibisionis, letak seksualitasnya adalah ketika dia bisa menunjukkan bagian tubuhnya kepada orang banyak maka dia akan mendapat kepuasa seksualitas. Namun hal ini bukan disebut narsis, karena dalam seksualitas narsis, yang menekankan kepuasan dirinya dari dirinya, dilakukan dengan masturbasi. Namun demikian, mastrubasi dikatakan narsis sejauh imajinasi yang memunculkan kepuasanya adalah dirinya sendiri bukan imajinasi atas lawan jenis lain dalam bentuk tangannya sendiri. Meski eksibisionis bukanlah narsis, tapi narsis adalah bagian dari awal untuk eksibision. 

Saya sendiri tidak dapat mengatakan bahwa selfie eksibisionis salah untuk dilakukan meski pada dasarnya dapat dikatakan sebagai penyimpangan seksualitas tapi tidak saya anggap sebagai penyimpangan sosial. Bagaimanapun seseorang memiliki hasrat seksualitasnya sendiri-sendiri. Namun demikian, bukan tanpa sebab mereka melakukan eksibisionis. Saya sendiri tidak dapat menilai sepihak, karena dimungkinkan sekali banyak hal yang mengitari mereka untuk terdorong melakukan eksibisionis. Salah satu hal yang mungkin bisa saya terima adalah bahwa dia tidak mampu untuk menyalurkan seksualitasnya atau tidak mendapat kepuasan seksualitas. Selain itu, intimidasi dari orang-orang disekitarnya terhadap tubuhnya yang menimbulkan rasa bangga akan bagian tubuhnya menjadi salah satu motivasi bagi mereka untuk melakukan eksibisionis. 

Pada kesempatan ini, gambar-gambar yang saya tampilkan adalah gambar-gambar selfie dari peremupuan Indonesia, yang tidak lain karena saya sendiri adalah seorang laki-laki yang tidak mampu membuang terlalu banyak kejijikan untuk memandang selfie yang dilakukan oleh para laki-laki lain. Namun, pada dasarnya, banyak juga diantara laki-laki yang melakukan selfie eksis, narsis, sampai eksibisionis. 

Selfie-selfie Eksibisionis Perempuan Indonesia

Friday, November 13, 2015

PETA POLITIK MASYARAKAT PURWOREJO


by pandu pramudita

Setting Sosial

Purworejo adalah sebuah daerah yang berada di wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Daerah perbatasan Purworejo terdiri dari tiga kondisi alam, di bagian selatan yang menjadi batas akhir kabupaten, yang sekaligus sebagai batas negara, membentang pesisir selatan pulau Jawa yang berhadapan dengan Samudera Hindia. Di bagian timur membentang ke utara Pegunungan Menoreh adalah batas antara Kabupaten Purworejo dan juga Provinsi Jawa Tengah dengan Yogyakarta, sedang batas di bagian utaranya juga berbatasan dengan Kabupaten Magelang. Pegunungan juga membentang di bagian utara yaitu Pegunungan Serayu, yang berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo. Sedang pada bagian barat Purworejo adalah dataran rendah. Dataran rendah ini juga menjadi bagian dari wilayah tengah Kabupaten Purworejo yang kemudian mewujud sebagai keunggulan Purworejo untuk membangun pertanian di daerah ini. Dua pegunungan menjadi sumber air yang mengalir menjadi sungai-sungai besar yang terpecah kecil-kecil, melintasi wilayah tengah dan juga dukungan sumber air dari daerah Wonosobo, yaitu yang berasal dari Waduk Wadaslintang, mengukuhkan pertanian menjadi dunia kehidupan masyarakat Purworejo. Maka tak akan sulit menemukan sawah di kabupaten ini, bahkan di setiap jalannya pasti akan melewati bentangan sawah-sawah. Bahkan di bagian selatan kabupaten ini muncul istilah mbulak kepik, yaitu bentangan sawah yang sangat luas yang memberi jarak yang cukup jauh antara satu desa dengan desa yang lain. Dua pegunungan ini juga mendukung tumbuhnya perkembunan di Kabupaten Purworejo. Dari dua pegunungan ini menumbuhkan dua jenis buah durian yang berbeda, dari bentuk dan rasa. Saya tidak akan berbicara banyak tentang durian ini, cukup pembaca lihat dan merasakannya secara langsung bagaimana perbedaan kedua jenis buah durian itu. Dan khusus di bagian Pegunungan Menoreh, kondisi alamnya cukup mendukung pertumbuhan peternakan kambing khas dari Kabupaten Purworejo, ialah Kambing Etawa, yang terkenal dengan tubuhnya yang gagah dan susunya yang berkhasiat.

Adanya dua pegunungan ini kemudian menjadi arti bagi kehidupan petani di Purworejo, baik di sektor pertanian, perkebunan, dan perternakan. Namun tidak demikian bagi masyarakat yang bergerak di sektor perikanan dan mereka yang berada di pesisir. Meski kondisi alam, khususnya sumber air yang baik, namun tidak dapat menunjang lebih baik untuk perikanan di Purworejo. Perjalanan perikanan Purworejo untuk menjadi sektor yang diunggulkan bagi petani masih cukup jauh, yang justru dikarenakan adanya perbedaan kondisi alam ini, antara dataran tinggi dan dataran rendah. Sedangkan bagi masyarakat di pesisir, karena mereka harus menghadapi gelombang laut pantai selatan yang begitu tinggi, sehingga meski mereka memiliki laut, tapi masyarakat setempat tidak bisa menumpukan hidup mereka di laut. Hanya wilayah tertentu saja yang berani menjadi nelayan karena kondisi pesisirnya yang mendukung, seperti di Jatimalang. Maka hanya disitulah berkembang Tempat Pelelangan Ikan (TPI).

Kabupaten Purworejo dilintasi jalan protokol, yaitu jalan yang menghubungkan antar daerah dan provinsi yang terletak di sisi selatan. Semua jalan protokol berada di sisi selatan Purworejo. Terdapat dua jalan protokol, yaitu yang melintasi kota yang menjadi jalan utama menghubungkan antara Kebumen-Magelang dan Kebumen-Yogyakarta, sedang jalan kedua melintasi daerah pesisir yang dikenal sebagai jalan Daendels yang menghubungkan langsung antara Yogyakarta dan Kebumen. Namun, akses jalan protokol di pesisir itu belum dapat mendukung laju perekonomian di daerah sekitarnya. Berbeda dengan yang berada di tengah, dimana sudah banyak berkembang pusat-pusat perekonomian, khususnya di Kutoarjo dan Purworejo. Perkembangan perekonomian di Kutoarjo selain didukung oleh jalan protokol yang menjadi akses utama mobilisasi darat juga berdiri sebuah stasiun kereta api. Sedangkan di Purworejo, meski tidak dilintasi jalan protokol – dalam hal ini jalan protokolo kemudian dialihkan melalui jalur lingkar, dimana yang ke Magelang melalui lingkar utara dan yang ke Yogyakarta melalui lingkar selatan –merupakan ibu kota kabupaten yang menjadi magnet bagi pengusaha sebagai pasar.

Namun demikian, tidak semua wilayah yang dilalui oleh akses besar ini dapat berkembang dengan baik, seperti halnya Banyuurip dimana di sana terdapat pusat trasnportasi umum, yaitu Terminal Purworejo. Perkembangan kendaraan pribadi, kemajuan pelayanan kereta api, dan perkembangan bisnis bus malam, memberikan dampak yang cukup besar bagi keberlangsungan terminal yang mulai ditinggalkan ini. Pada akhirnya, angkutan umum lebih banyak menunggu penumpang di pasar-pasar, baik mini bus maupun kopada. Berkaitan dengan perkembangan kota yang berpusat di dua kota, yaitu Kutoarjo dan Purworejo, sehingga penumpukan angkutan-angkutan umum tersebut juga akan terlihat di pasar-pasar kedua kota itu, Kutoarjo dengan Pasar Kutoarjo sedang Purworejo dengan Pasar Baledono. Adapun angkutan umum, khususnya angkudes atau yang di Purworejo dikenal sebagai kopada, yang menumpuk di kedua pasar itu, juga terbagi ke dalam dua wilayah. Pasar Baledono memberikan pusat akses angkutan umum untuk wilayah timur antara lain: Bener, Gebang, Loano, Kaligesing, Banyuurip, Bagelen, Purwodadi, Ngombol, Kemiri, dan Kutoarjo, sedang Pasar Kutoarjo memberikan pusat akses angkutan umum untuk wilayah barat antara lain: Bruno, Kemiri, Pituruh, Butuh, Grabag, Bayan, dan Purworejo.

Kabupaten Purworejo terbagi kedalam 16 kecamatan, yaitu Purworejo, Kutoarjo, Bener, Gebang, Loano, Kaligesing, Banyuurip, Bagelen, Purwodadi, Ngombol, Kemiri, Bruno, Pituruh, Butuh, Grabag, dan Bayan. Daerah-daerah yang berada di pegunungan yang digambarkan sebelumnya antara lain di wilayah kecamatan Bruno, Pituruh (bagian pertengahan ke utara), Kemiri (bagian pertengan ke utara), Gebang (bagian pertengan ke utara), Bener, Loano, Purworejo (sebagian kecil di sisi timur), Kaligesing, dan Bagelen. Wilayah pesisir hanya dimiliki oleh tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Grabag, Ngombol, dan Purwodadi. Sedangkan lainnya, yaitu Kecamatan Kutoarjo, Pituruh (bagian pertengahan ke selatan), Butuh, Kemiri (bagian pertengahan ke selatan), Gebang (sebagian kecil di sisi selatan), Bayan, Banyuurip, Purworejo, dan ketiga kecamatan yang memiliki pantai adalah dataran rendah. Dengan kondisi ini maka dapat dipahami mengapa pusat perekonomian Kabupaten Purworejo berada di bagian selatan, khususnya di Kutoarjo dan Purworejo yang berada di tengah antara daerah pegunungan dan pesisir, karena di wilayah ini terbentang dataran rendah yang dengan mudah untuk dibangun akses perekonomian berupa jalan protokol dan rel kereta api.

Sebagai pusat pemerintahan, Purworejo dirasa wilayah yang paling strategi untuk kabupaten ini, dimana kota ini dapat dengan mudah mengakses daerah sekitar, yaitu untuk ke Magelang, Kebumen, Wonosobo, dan DI. Yogyakarta. Wujud dari pusat pemerintahan ini adalah dengan berdirinya rumah dinas dan kantor bupati, dan gedung DPRD. Sedangkan sebagai kota berkembang kedua, yaitu Kutoarjo berdiri juga pusat pemerintahan, yaitu rumah dinas wakil bupati. Selain akses mobilisasi, memang pemilihan pusat-pusat pemerintahan ini sangat tepat juga sebagai kontrol perekonomian yang berkembang di kedua daerah itu. Namun demikian, apakah memang itu adalah pertimbangan utama pada saat mendirikan pusat pemerintahan atau tidak, saya tidak tahu, karena pendirian pusat pemerintahan di Purworejo adalah dikukuhkan oleh bupati pertamanya, ialah Raden Adipati Aryo Cakranegara I.  Sedangkan RAA. Cakranegara I, yang bernama sebelumnya yaitu Raden Ngabei Reso Diwiryo, diberi kekuasaan bupati sebagai hadiah dari pemerintahan Hindia Belanda karena berhasil mendesak perlawanan Pangeran Diponegoro sehingga P. Diponegoro harus menerima perjanjian dengan Belanda di Magelang yang berujung penangkapannya. Namun, adanya campur tangan pemerintahan Hindia Belanda nampaknya dapat membuka pandangan akses perekonomian, dimana pada waktu itu pemerintahan Hindia Belanda juga memiliki akses ekonomi ke Yogyakarta, Magelang, dan Banyumas, sehingga daerah Brengkelan, yang kini menjadi nama Purworejo, adalah tepat sebagai daerah strategis pusat pemerintahan.

Berbicara mengenai perlawanan Pangeran Diponegoro yang dikenal sebagai Perang Jawa memberikan keunikan tersendiri. Jika kita berbicara mengenai orang Jawa, apriori kita akan menggambarkan sebuah sosok yang akan mengenakan blangkon dikepala, sorjan, jarit, dan slempang dipinggang yang menggantungkan sebuah keris menyilang di belakang. Tapi gambaran ini nampak sulit digambarkan dalam Perang Jawa, dimana justru panglima-panglima perang Pangeran Diponegoro, termasuk dia, mengenakan sorban sebagai ikat kepala, jubah putih, hanya saja bersenjata keris yang terselip di pinggang, salah satunya adalah Sentot, panglima kavaleri dari Pangeran Diponegoro. Dalam hal ini kemudian dapat dipahami dua isu yang Diponegoro usung untuk mendapat dukungan dari rakyat, yaitu isu Jawa, dengan nama perang dan keris sebagai pusaka, dan Islam, dengan material lain dan tata cara spiritual yang ia lalukan. Di masa-masa akhir Diponegoro, sebelum ditangkap di Magelang, ia melakukan perlawanannya dengan basis wilayah di tanah Bagelen. Pergerakan Diponegoro di tanah Bagelen tidak dapat lepas dari situasi alam di wilayah ini, khususunya pada daerah pegunungannya dan tidak lepas juga dari dukungan seorang imam dari tanah ini, ialah Kyai Imam Puro. Kyai Imam Puro adalah seorang ulama yang menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Bagelen. Dalam hal ini, kemudian akan terasa berapa lama sudah penyebaran agama Islam di Purworjo hingga sekarang. Makam Kyai Imam Puro sendiri berada di Geger Menjangan, daerah pegunungan di wilayah Purworejo.

Perkembangan kesenian di Purworejo telah mencapai titik hak milik, khususnya kesenian Dolalak, atau juga yang dikenal sebagai angguk. Namun demikian, tidak hanya kesenian dolalak yang ditampilkan di wilayah Purworejo, terdapat kesenian-kesenian lainnya seperti jaran kepang (Kuda Lumping), wayang kulit, terbangan, dan masih banyak lagi lainnya. Apa yang saya maksud kesenian disini adalah bahwa tidak hanya sebuah seni pertunjukkan, tetapi secara dalam bahwa kesenian adalah pengetahuan yang disampaikan secara unik melalui gerak, musik, dan lagu, dan disampaikan secar tradisi atau turun-temurun dengan ketentuan adat atau pakem-pakem-nya. Sedang apa yang terpancar pertama kali dari kesenian-kesenian yang berkembang di Purworejo memberikan ciri khas Jawa. Namun jika diperhatikan lebih dalam lagi, bahwa nuansa Islam diantara musik dan lagu akan kentara. Seperti kesenian yang diunggulkan oleh masyarakat Purworejo, ialah dolalak, dimana misi pertama pertunjukkan kesenian ini adalah untuk menghibur masyarakat yang sedang bergotong-royong mengantarkan bedug (alat yang dapat mengeluarkan suara jika dipukul, terbuat dari kayu gelondong, berbentuk tabung, yaitu berlubang ditengahnya, dimana disetiap ujung-ujungnya ditutup dengan kulit hewan, khususnya dari kerbau, sebagai tempat untuk dipukul) dari desa Pendawa ke Purworejo, sehingga bedug ini juga dikenal dengan nama Bedug Pendawa. Bedug Pendawa dikenal sebagai bedug terbesar di dunia karena terbuat dari kayu jati utuh dengan lingkar yang cukup besar, yang tidak cukup untuk dipeluk dengan dua orang. Dengan kata lain, bahwa kesenian dolalak ini membawa misi Islam, mengantarkan alat pematok waktu solat lima waktu untuk masyarakat Purworejo dan sekitarnya, yang konon dahulu jika bedug ini di tabuh dapat terdengar di wilayah yang cukup jauh.

Namun demikian, kesenian dolalak hari ini juga sulit untuk dipahami sebagai kesenian yang membawa misi Islam karena memang gerak dan lagunya masih samar-samar untuk menunjukkan pengetahuan Islam-nya. Begitu juga dengan jaran kepang, gerak dan materialitasnya tidak memberikan nuansa Islam, namun dalam pembagian waktu tampil tidak akan lepas dari waktu sholat, khususnya sholat dzuhur yang menjadi waktu jeda antara penampilan pembukaan dan penutupannya. Selain itu juga, dibeberapa bagian lirik kita bisa memperhatikan mengenai peringatan waktu sholat. Meski demikian, kedua kesenian ini, dolalak dan kuda lumping lebih terlihat dengan pementasan seni kesurupannya dari pada pesan yang disampaikan. Hal ini agak mirip dengan keadaan pementasan wayang kulit, dimana wayang kulit yang kita kenal sampai hari ini adalah gubahan dari Sunan Kalijaga, salah satu Walisongo penyebar agama Islam di Jawa. Sayangnya, kesenian-kesenian ini adalah kesenian Islam yang sangat sulit dipahami melebih pentas penikmatan mata.

Berbeda halnya dengan kesenian-kesenian perkusi yang berkembang di daerah-daerah Purworejo, yang berwujud rebana, kendang, dan jidur. Meski terkadang mucul alat musik lainnya, tetapi alat-alat itu adalah alat pokok, dan ada juga yang tanpa menggunakan kendang. Berbagai nama juga muncul untuk memberikan identitas kesenian yang mereka bawakan, seperti jidur, terbangan, janjakan, qosidahan, dan lain sebagainya. Apapun itu namanya, kemudian kesenian perkusi ini terbagi menjadi dua aliran, yaitu yang terdiri dari rebana dan jidur dan yang dengan menggunakan kendang. Perbedaan yang mencolok juga terletak  ketika mereka menampilkan kesenian itu, dimana pakaian yang memiliki nilai Islam, pria menggunakan kopiah, berkoko, dan bersarung, sedang jika itu adalah wanita biasanya menggunakan jilbab dan menggunakan pakaian gamis. Sedangkan kesenian perkusi yang menggunakan kedang, biasanya terdapat idenitas Jawa yang masih melekat, seperti menggunakan blangkon, bersorjan, sedang bawahannya menggunakan sarung. Kedua kesenian ini tidak hanya menyajikan musik saja, tetapi juga diiringi dengan lagu atau nyanyian, yang keduanya akan memberikan nuansa Islam dalam lagu-lagunya yang diselingi juga dengan pengetahuan-pengetahuan setempat. Bagaimana pun bentuk kesenian itu, lirik-lirik yang disusun, bahwa kesenian ini pada dasarnya dibentuk dan dilestarikan oleh intelektual tradisional khususnya intelektual Islam setempat.

Kabupaten Purworejo dihuni oleh dua etnis, yaitu Jawa dan Cina/Tionghoa. Meski tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat warganya yang di luar etnis itu, seperti sunda, melayu, arab, atau yang lain sebagainya. Namun demikian, bahwa etnis yang disebutkan tersebut adalah etnis yang telah bernegosiasi dengan masyaraka Purworejo akan identitasnya melalui pementasan budaya di publik. Selain kesenian-kesenian yang telah disebutkan sebelumnya, dimana telah menunjukkan idenitas Jawa. Idenitas Jawa ini kemudian dikukuhkan kembali dengan mempertunjukkan budaya Bagelen dalam arak-arak pasukan Mataraman di jalan protokol ibu kota, bahwa diketahui Mataram adalah kerajaan Jawa yang sampai saat ini masih dikukuhkan keberadaannya. Sedang etnis Cina atau juga dikenal sebagai etnis Tionghoa, meski saya tidak tahu bagaimana cara membedakan keduanya, telah memiliki kebebasannya sejak tahun 2005, dimana hal ini diwujudkan di waktu tertentu, seperti Tahun Baru Imlek, yang menampilkan seni Barongsai di jalan-jalan teretentu. Meskipun tidak sebesar atau sekerap kesenian Jawa, kesenian dari etnis Cina ini kemudian berani muncul di publik. Artinya bahwa, selain masyarakat Jawa di Purworejo, bahwa Cina juga telah diperhitungkan dalam kehidupan masyarakat di Purworejo.

Mereka yang Terlupakan dalam Arena Politik Purworejo

Dari pemaparan di atas, pada dasarnya sudah jelas bagaimana kondisi persebaran kekuatan politik di dalam masyarakat Purworejo. Namun, dalam hal ini saya akan mempertajam sasaran apa yang saya maksud. Bahwa sangat penting memetakan kekuatan politik di Purworejo untuk menentukan arah pembangunan dan perekonomian daerah ini. Dalam hal ini, politik janganlah dibuat dangkal dengan mengikut sertakan pengertian politik dari partai-partai saat ini. Karena hal ini mudah dilihat dan dirasakan, bahwa setiap pemilu akan tiba, justru kampanye-kampanyelah yang disebarluaskan, bukan propaganda politik. Menjadi dua hal yang berbeda antara kampanye dan propaganda, dimana kampanye adalah sebuah usaha mengenalkan diri untuk mendapatkan dukungan suara politik, sedangkan propaganda adalah menyebarluaskan atau menerangkan sebuah ideologi yang berbasis dari pengetahuan daerah untuk dikembangkan sebagai kekuatan politik. Meski keduanya adalah sama-sama untuk mencapai kekuasaan politik dengan meraih dukungan suara politik, namun propaganda justru berusaha mencerdaskan masyarakat dengan turut menanggapi isu-isu yang mereka hadapi, baik sedang maupun yang akan dihadapi. Dan propaganda tidak dapat dilaksanakan jika mereka yang akan melakukan pengumpulan suara politik tidak mengetahui isu-isu yang berkembang di masyarakat yang ada di wilayah gerakan politiknya.

Pada dasarnya, partai politik sebelum pemilu tahun 1966, menjadi populer di kalangan mereka untuk membuat divisi propaganda, dimana orang-orang di dalamnya akan membuat sebuah pengumpulan pengetahuan dari daerah yang akan menjadi basis pergerakannya dan akan menyelaraskan dengan ideologi yang mereka usung, dan kemudian hal itulah yang akan mereka sebarkan pada masyarakat sasaran. Namun bagaimana dengan sekarang? Untuk memotong kompas, kampanye adalah menjadi cukup sebagai kegiatan peraihan suara politik, selebihnya diserahkan pada orang-orang parpolnya yang memiliki kekuasaan di daerah-daerah untuk menggali dukungan lebih dalam. Bagaimana caranya, saya tidak tahu, yang jelas mereka berbasis pada kekuasaan di daerahnya, baik berupa kekuasaan ekonomi, kesenian, atau lain sebagainya. Hal ini telah melompati berbagai kelompok sosial yang ada di masyarakat, terutama di Purworejo dalam kekuasaan politik.

Setidaknya terdapat 3 kategori pengelompokan kekuatan politik di Kabupaten Purworejo, yaitu kaum Purworejo, wong Purworejo, dan etnis Purworejo. Purworejo memiliki tiga kaum, yaitu kaum petani, kaum pedagang, dan kaum santri, tiga jenis wong Purworejo yaitu wong pasar, wong pereng, dan wong kidul, dan dua etnis yaitu Jawa dan Cina.

Kaum Petani, Pedagang, dan Santri

Saya menggunakan kata kaum disini karena bahwa istilah kaum lebih dekat dengan kelompok yang menyatukan diri mereka dalam ikatan kekerabatan. Begitu juga pada kaum petani dan kaum pedagang. Perlu diketahui bahwa petani adalah sebuah pekerjaan yang tidak membuka lowongan pekerjaan kepada masyarakat untuk membuka lahan dan bercocok tanam. Kebanyakan dan sangat mudah dipastikan bahwa pekerjaan petani berasal dari turun-temurun para orang tua dan sesepuh mereka. Disamping mereka punya atau tidak punya lahan garapan, bahwa kecakapan dan pengetahuan mengenai petani tidak dapat diperoleh hanya dengan belajar di lembaga-lembaga pendidikan, baik sekolah menengah atas maupun perguruan tinggi. Mereka harus secara turun-temurun mengerti pengetahuan petani dari tradisi-tradisi yang diikutinya. Sedangkan mereka yang belajar di sekolah menengah sampai perguruan tinggi hanya menciptakan elite-elitenya saja, sebagai penyuluh dan lain sebagainya yang tidak menyentuh langsung kehidupan petani.

Pembentukan kekerabatan ini kemudian memunculkan kekuatan politik di dalam masyarakat petani, dimana dasar dari kekuatan itu adalah rasa kekeluargaan antar sesama petani. Hal ini mewujud dalam tradisi-tradisi petani yang selalu melibatkan semua anggota petani untuk dapat memahami dan melaksanakan dengan tertib, seperti kapan mereka harus menanam dan memanen, dan siapa yang terlebih dahulu melaksanakan itu, karena hal ini akan memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalah hama saat panen tiba. Hal ini terjadi pada petani padi. Namun tidak berbeda dengan petani-petani lainnya, dengan tradisi-tradisi yang mereka bangun berdasarkan pengetahuan dan kebutuhan mereka masing-masing tentunya.

Tidak jauh berbeda juga dengan kaum pedagang. Meskipun pekerjaan pedagang lebih terbuka dari pada petani, namun bakat dalam pengetahuan dagang juga lebih banyak di dapatkan dari turun-temurun. Dikatakan lebih terbuka karena pengetahuan mengenai perdagangan dapat diakses oleh banyak orang, baik yang dari keturunan kaum pedagang maupun yang tidak, dan pengetahuan itu dapat dilakukan secara mandiri dengan memiliki modal, tentu saja. Namun demikian, kekuatan politik dari pedagang juga sangat diperhitungkan dalam masyarakat, karena merekalah yang memutar roda perekonomian daerah. Dalam hal ini masih belum dibedakan antara pedagang modern dan tradisional. Hanya saja, meski pedagang modern memiliki akses untuk memutarkan perekonomian lebih cepat namun kekuatan politik kaum pedagang modern masih jauh dari kekuatan politik kaum pedagang tradisional. Pedagang tradisional memiliki ikatan kekeluargaan yang lebih kental antar sesama pedagang dan yang kemudian menciptakan kekuatan politik di dalamnya. Hal ini terasa misal ketika seorang pedagang lombok diminta menyediakan lombok 2kg dan ternyata stoknya hanya sekitar 1,5 kg kurang, maka dia akan mencari pedagang lainnya untuk meminjam lombok 1kg untuk memenuhi pesanan pelanggannya sedang dia akan mengembalikan lombok itu kepada pemiliknya dengan bentuk uang hasil penjualannya. Relasi ini kemudian berubah menjadi saling dukung antar pedagang, baik yang memiliki kesamaan barang yang di jual maupun yang berbeda.

Kaum ketiga adalah kaum santri, yaitu mereka yang memiliki basis pengetahuan agama Islam. Persebaran ajaran agama Islan di Purworejo ini mungkin ada hubungannya dengan jasa kyai Imam Puro, namun tidak menutup kemungkinan ulama-ulama lain yang datang ke Purworejo. Di Purworejo sendiri juga banyak berdiri pondok-pondok pesantren. Namun demikian, kaum santri yang saya maksud bukanlah mereka yang tinggal di pondok pesantren, melainkan mereka yang mengukuhkan ajaran agama Islam di daerah-daerah. Seperti yang saya ungkap mengenai kesenian di Purworejo, bahwa banyak intelektual santri mengembangkan kesenian dalam bentuk musik dan lagu yang dapat dimainakan dengan mudah oleh masyarakat. Penciptaan kesenian dan melestarikannya adalah salah satu wujud keseriusan kaum santri dalam menyebarkan dan mengukuhkan ajaran Islam di daerah-daerah. Selain itu, basis kaum ini tidak hanya kembali ke pondok pesantren, juga diperhitungkan di setiap daerah hingga desa yang memiliki masjid yang menjadi pusat beribadah di wilayahnya, seperti terlihat pad amasjid-masjid yang mengadakan ibadah sholat Jumat dan sholat Id, pasti memiliki pengurus takmir. Di situlah kaum santri di daerah-daerah memperkuat basis mereka. Kekuatan santri ini juga sangat diperhitungkan dalam politik, karena kaum santri memiliki hegemoni di dalam masyarakat melalui penyebarluasan ajaran agamanya. Hegemoni yang dimiliki kaum santri ini dikatakan cukup besar karena mereka dipandang sebagai salah satu tokoh masyarakat yang dapat memecahkan permasalahan yang terdapat di daerah cangkupan wilayahnya. Selain itu, kaum santri yang kemudian dianggap sebagai pemuka agama yang kedudukannya setara dengan pemegang adat setempat diberi sebuah porsi tingkatan sosial atas di masyarakatnya.

Hubungan kekerabatan memiliki kekuatan politik yang cukup besar di Negara Indonesia secara umum, dan Purworejo secara khusus. Hal ini banyak bekerja pada saat pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan baik bersama, kelompok, maupun individu. Dasar dari pengambilan keputusan ini juga sangat terbuka dengan melalui musyawarah, terlebih jika didasari atas kekeluargaan. Namun kekeluargaan ini bukan diartikan dalam nepotisme, yang hanya memberikan pengaruh secara sepihak, tetapi lebih pada hegemoni dari pengetahuan yang disusun secara bersama. Yang menjadi pertimbangan kekuatan lainnya adalah, bahwa keadaan alam yang mendukung pertanian di Purworejo memberikan cangkupan kaum petani yang tersebar luas di berabagai daerah di Purworejo. Kaum pedagang Purworejo adalah mereka yang memiliki akses paling dekat dengan akses mobilitas di Purworejo, yaitu jalan protokol dan pusat transportasi. Meski kedua hal itu adalah yang mempengaruhi laju perekonomian untuk kaum pedagang, sudah dipastikan bahwa di masing-masing daerah di Purworejo memiliki pusat perekonomiannya masing-masing. Sedangkan kaum santri, adalah kaum yang secara eksklusif dapat masuk ke dalam kekuatan politik karena posisi mereka yang mencapai posisi hegemoni yang tinggi di masyarakat.

Wong Pasar, Wong Pereng, dan Wong Kidul

Berbeda dengan kekuatan politik yang dimiliki oleh kelompok kaum, dalam kolompok Wong di Purworejo, pergerakan mereka terbagi berdasarkan kewilayahan di dalam kehidupan sehari-hari. Juga berbeda dengan kelompok kaum yang memiliki identitas yang jelas. Bukan berarti kelompok wong tidak memiliki identitas yang jelas, tetapi mereka samar dalam mendeklarasikan diri sebagai kelompoknya. Setidaknya terdapat tiga kelompok wong, yaitu wong pasar, wong pereng, dan wong kidul.

Seperti namanya, wong pasar adalah kelompok masyarakat yang dalam kesehariannya berada di wilayah pasar, khususnya pasar tradisional. Wong pasar sendiri terdiri dari pedagang, tukang parkir, tukang becak, supir angkot, dan kuli angkut. Meski pedagang sendiri memiliki beberapa klasifikasi, seperti pedagang tetap yang berjualan di kios atau kapling, pedagang emperan, dan pedagang asonga, namun klasifikasi tersebut tidak banyak artinya dalam kekuatan politik bersama mereka, dimana mereka saling mendukung dan melengkapi saat roda perekonomian sedang berjalan di pasar itu. Memang pedagang adalah unsur pokok keberadaan pasar, tetapi tukang parkir sampai kuli angkut adalah unsur-unsur pedukung dalam keberlangsungan peningkatan laju perekonomian di pasar tersebut. Seperti halnya keberadaan pasar di Kutoarjo dan Purworejo, dimana antrian parkir angkutan umum dari berbagai daerah tujuan menandakan bahwa pasar tersebut adalah pasar yang memiliki tingkat perkembangan ekonomi yang baik. Kekuatan politik wong pasar ini terletak pada negosiasi keberlangsungan ekonomi daerah tentu saja. Bahwa pasar adalah tempat dimana laju barang di daerah setempat berlangsung dan itu yang memberikan kesejahteraan ekonomi di daerah tersebut. Dan apabila salah satu unsur itu hilang, kekacauan mungkin akan terjadi di dalam sitem perekonomian, terutama di pasar, yang akan berdampak pada perputaran ekonomi di daerah tersebut.

Wong Pasar ini memiliki basis kewilayahan dan pengetahuan yang jelas ketika mereka bergerak, berbeda dengan dua wong lainya, yaitu wong pereng dan wong kidul. Wong pereng dan wong kidul memang memiliki kewilayahan yang jelas, tetapi pengetahuan mereka tidak banyak memiliki kejelasan. Wong pereng yang dimaksud ialah masyarakat yang bertempat tinggal di bantaran atau di sekitar sungai meski tidak setiap bantaran sungai yang didiami oleh masyarakat menjadi wilayah wong pereng. Sedang wong kidul adalah mereka yang tinggal di selatan jauh dari rel kereta api dan mendekati pesisir. Meski juga saya tekankan tidak tiap masyarakat yang tinggal diantara selatan rel kereta api dan utara pesisir adalah wong kidul, tetapi basis wong kidul berada di antara kedua tempat itu. Saya katakan sebelumnya bahwa wong pereng dan wong kidul tidaklah memiliki pengetahuan yang jelas, karena apa yang mereka tonjolkan dalam hal ini bukan pengetahuan yang membentuk sebuah budaya, tapi tradisi dari unjuk kekuatan fisik. Dalam hal ini saya tidak sedang menjustifikasi bahwa wong pereng dan wong kidul adalah kelompok preman yang menggunakan kekuatan fisik meraih keuntungan untuk kehidupan mereka, tetapi bahwa mereka memiliki kekuatan politik dengan negosiasi kekuatan fisik. Hal ini terjadi apabila kelompok atau masyarakat mereka mengalami kerugian politik yang merambah pada perekonomian dan bidang-bidang lainnya, sehingga negosiasi politik mereka dengan menawarkan kekuatan fisik.

Jawa dan Cina

Kelompok ketiga yang berkembang di Purworejo adalah etnis Purworejo. Terdapat dua etnis yang hidup secara budaya di Purworejo. Tidak menutup kemungkinan bahwa di Purworejo juga hidup orang-orang dari luar etnis yang disebutkann itu. Namun demikian, hanya Jawa dan Cina-lah yang berani menegosiasikan budaya mereka di ruang publik Purworejo, sedang etnis lain tidak melakukan hal demikian. Bahwa secara sejarah, Purworejo yang semula dikenal sebagai tanah Bagelen adalah sebuah bagian dari rentetan sejarah kerajaan Mataram yang dikenal saat ini sebagai pusat peradaban Jawa. Sehingga tidak mengherankan jika Purworejo mengukuhkan sebagian besar etnisnya adalah dari Jawa. Kesenian-kesenian yang berkembang di daerah, yang tampil secara tunggal juga memberikan identitas yang kental dengan tradisi Jawa. Persebaran etnis Jawa ini mencakup seluruh wilayah di Kabupaten Purworejo. Etnis kedua yang hidup di Kabupaten Purworejo adalah etnis Cina. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa kini etnis Cina berani melakukan negosiasi idenitasnya di ruang publik. Salah satunya ketika merayakan imlek, dimana beberapa kali mereka menampilkan pertunjukan seni Barongsai di jalan-jalan kota.

Lalu, bagaimana persebaran kekuatan politik pada etnis-etnis tersebut? Adanya dua kekuatan politik dalam satu daerah, maka hal ini mengakibatkan dinamika yang lebih keras dari pada hanya satu etnis atau beberapa etnis. Dinamika yang keras ini berwujud pada tarik-menarik hingga perebutan kekuatan politik. Etnis Jawa dengan basis masyarakat dan pertaniannya sedang Cina dengan dominasi ekomoni yaitu memiliki penguasaan pusat-pusat perekonomia, seperti banyak deretan-deretan toko di kota dikuasai oleh Cina sebagai pemilik dari toko-toko tersebut. Maka tidak sulit menemukan pemukiman tempat tinggal etnis Cina diantara etnis Jawa, yaitu di pusat-pusat perekonomian kota, demikian juga etnis Cina yang berada di daerah. Namu demikian, etnis Jawa yang memiliki basis masyarakat dan persebaran yang lebih luas, dan memiliki berbagai golongan di antaranya, maka etnis Jawa memiliki kekuatan yang berimbang dengan etnis Cina. Sehingga, tarik-menarik kekuasaan politik dan usaha perebutannya tidak jarang menimbulkan sentimen etnisitas.

Sentimen ini kemudian muncul dalam dua istilah yang mencerminkan masing-masing, bahwa karena dominasi ekonomi, etnis Cina atau mereka yang memiliki perilaku seperti etnis Cina akan disebut dengan cino atau singkek, namun ada juga yang sebutan lebih halus, yaitu tacik (untuk perempuan tuan) dan koh (untuk laki-laki tua). Pada etnis Jawa sering muncul dengan sebutan wong kere (orang miskin atau orang yang memiliki daya beli rendah) atau wong ndeso (orang desa atau orang yang dianggap tidak tahu apa-apa), sedang sebutan yang sering didengar lebih halus adalah cah ayu (anak cantik atau wanita yang memiliki tabiat baik) atau cah bagus (anak ganteng atau laki-laki yang memiliki tabiat baik). Dalam sentimen ini, timbul dua pengertian, bahwa Cina adalah mereka yang memiliki ekonomi kelas menenga ke atas dan dianggap lebih tua sedang Jawa adalah mereka yang memiliki ekonomi kelas menengan ke bawah dan dianggap lebih muda.

Penutup

Kekuatan politik di Kabupaten Purworejo tersebar ke dalam kelompok-kelompok sosial, yaitu pada kaum Purworejo, wong Purworejo, dan etnis Purworejo. Namun demikian, terdapat juga golongan-golongan yang sulit untuk mencari akses politik yang pasti, yaitu mereka yang terdapat pada golongan karyawan, pegawai, buruh, dan pelajar. Karyawan adalah mereka yang bekerja baik secara tetap maupun sementara pada pemiliki usaha perekonomian dengan tingkat kesejahteraan menengah ke bawah, seperti karyawan kantoran, montir bengkel, pramuniaga (penjaga atau pelayan toko). Karayawan ini dekat juga dengan mereka yang tergolong buruh, namun buruh disini saya bedakan menjadi dua, yang pertama adalah mereka yang bekerja di industri khususnya di pabrik yang masih berdiri beberapa di Purworejo, dan pekerja serabutan yang tidak pasti seperti buruh bangunan, buruh cuci pakaian, dan pekerja rumah tangga. Buruh yang pertama, yaitu buruh pabrik, tidak cukup memiliki kekuatan politik karena sedikitnya industri besar yang berdiri di Purworejo memberikan persaingan di antara mereka untuk mendapatkan posisi kerja di dalam pabrik untuk kehidupan mereka. Sedang buruh yang keuda, yaitu buruh serabutan, karena ketidaktetapan mereka dalam bekerja, yang mengikuti arus perputaran ekonomi atas, tidak pada saat perekonomian berbutar di bawah, maka kekuatan mereka sangat lemah untuk negosiasi politik.

Pegawai dan pelajar sering digemborkan sebagai kaum intelektual di masyarakat. Namun, saya harus memberikan porsi mereka pada kekuatan politik yang samar. Pada golongan pegawai, baik struktural maupun fungsional, mereka memiliki kekuatan sendiri untuk menentukan politik mereka. Karena memiliki kekuatan memilih, maka kekuatan politik mereka tidak dapat mengalami penyatuan. Dalam hal ini saya tidak mencoba mengenang masa orba, tetapi pada kesatuan mereka yang tergabung dalam Korpri tidak memberikan banyak peluang untuk menyatukan kekuatan politik dalam negosiasi ke pemerintahan untuk pembangunan daerah dan kesejahteraan. Hanya mereka yang telah tergabung pada afiliasi gerakan politik tertentulah yang dapat bernegosiasi akan dirinya sendiri dan kelompoknya, selebihnya hanya akan mengikuti gelombang era pemerintahan.


Tidak jauh berbeda dengan kaum pelajar, dimana kekuatan politik mereka juga harus dikatakan samar. Secara hukum penduduk dapat memiliki akses politik jika mereka memiliki KTP sebagai bukti kewarganegaraan, sehingga ini diperkirakaan basis pelajar yang memiliki kekuatan politik berada pada kelas atas di sekolah menengah atas atau kejuruan sampai pada perguruan tinggi. Di Kabupaten Purworejo, terdapat puluhan sekolah menengah atas dan kejuruan, namun sedikit memiliki perguruan tinggi, yaitu hanya terdapat 6 perguruan tinggi dan semuanya tergolong swasta. Tidak seperti pegawai, kesamaran golongan terpelajar ini karena mereka tidak memiliki negosiasi dalam politik, karena sederhana, mereka tidak memiliki dinamika diskusi yang membentuk ideologi yang jelas untuk bernegosiasi dalam politik. Sehingga, kekuatan politik di kalangan pelajar Purworejo belum dapat menjadi salah satu peta politik di Purworejo.