Beauty Sunrise

Ulat Sumeh Agawe Renaning Wong Akeh.

Rapuhnya tiang saka Kraton

Orang yang SABAR itu memiliki pengetahuan yang luas adalah orang yang tidak akan terombang-ambing oleh keadaan.

Good Morning Flamingo

Lakonana Disik Dadi lan Becike.

Pagar Keraton

Sejatinya itu tidak ada apa-apa, yang ada itu bukan.

Red Sunset

PERCAYA itu ibarat tali yang menghubungkan Tuhan Yang Maha Esa kepada umatnya.

Saturday, October 17, 2015

ETNIS PURWOREJO: Dalam Peta Politik untuk Pilkada Purworejo


by pandu pramudita

Hari senin di minggu kedua bulan kesepuluh 2015, siang hari, saya memperoleh pesan singkat elektronik dimana esok saya diminta untuk hadir dalam acara “dialog interaktif” yang diadakan salah satu kelompok pemerintahan dengan mewakili atas nama DHC’45 (Dewan Harian Cabang ’45), sebuah bagian yang masih berada dalam lingkungan ke-pramuka-an. Kegiatan ini dibawahi oleh Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Purworejo, dimana “dialog interaktif” ini dibentuk oleh sebuah kelompok di dalam dinas itu, yaitu FPBI (Forum Persaudaraan Bangsa Indonesia) dimana tema yang mereka usung adalah “Harmonisasi Kehidupan Antar Etnis Memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia Menghadapi Pilkada Kabupaten Purworejo Tahun 2015”. Dalam kegiatan ini diisi oleh narasumber yang berasal dari FPBI, Kodim, dan Staf Ahli Bupati bagian Hukum dan Politik. Di awal saya membaca tema ini saya telah memiliki pertanyaan yang cukup mendasar dari apa yang akan dibicarakan di dalam “dialog interaktif” ini. Saya selalu memberikan tanda kutip dalam istilah “dialog interaktif” karena pada dasarnya itu seperti seminar, dan tidak ada percakapan yang interaktif di dalamnya, yang ada hanyalah tanya jawab antara peserta dan pemateri. Apa yang saya tangkap dalam tema itu kira-kira akan memberikan materi bahwa: keharmonisan kehidupan etnis yang ada di negara Indonesia akan membawa pengaruh pada keberhasilan Pilkada Purworejo 2015. Hal ini harus dipertanyakan lebih jauh, apakah kejadian-kejadian yang ada di wilayah Indonesia, khususnya kejadian dalam lingkup konflik yang berkenaan dengan isu SARA, memberikan pemicu pada kehidupan SARA di Purworejo sendiri? Kejadian disharmonisasi yang berkenaan dengan SARA di Purworejo mungkin pernah terjadi, dan terdapat beberapa, namun apakah itu adalah bawaan dari “luar sana”? Misalkan pernah terjadi perusakan sebuah toko kelontong di wilayah Kota Purworejo oleh sekolompok santri setempat karena seorang pelayan toko tersebut menyinggung perasaan dari seorang santri ketika membeli sesuatu di toko tersebut.

Dalam tema yang diusung itu, terdapat dua hal yang harus digaris bawahi, yang dikenal sebagai kata kunci, yaitu Harmonisasi Etnis dan Pilkada Kabupaten Purworejo. Apa yang disampaikan oleh pemateri, saya pada dasarnya tidak tahu secara persis apa yang dimaksud dengan Etnis yang mereka bicarakan, apa yang saya tangkap sebagai Etnis itu di sana adalah mengenai SARA: Suku, Agama, dan Ras. Suku adalah berkaitan dengan garis kebudayaan yang disusung, seperti Jawa, Sunda, Melayu, Bali, Batak, Asmat, Dayak, dsb. Adapun Agama adalah sebuah keyakinan yang dilembagakan dan diakui oleh pemerintah, dimana terdapat enam agama yang diakui, yaitu Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katolik, dan Konghuchu. Sedangkan, Ras adalah genetika yang dibawa sejak lahir dengan ciri-ciri fisik tertentu dan berasal dari kelompok besar dalam wilayah tertentu di dunia, seperti Kaukasoid, Mongoloid, Negroid, dsb. Namun, seperti yang kita sadari bersama, bahwa manusia memiliki sebuat sikap yang tidak hanya mencirikan identitas tunggal, bahwa seseorang dapat terlahir dengan genetika Kaukasoid, dengan budaya Jawa, dan beragama Islam, atau dia yang bergenetika Mongoloid, berbudaya Sunda, dan beragama Katolik, dan lain sebagainya. Maka kemudian etnis akan memberikan pengertian yang kompleks mengenai ketiga hal tersebut yang kemudian akan muncul dalam sebuah budaya yang dipahami oleh masyarakat, meski pada waktu-waktu tertentu akan muncul dalam keprivasian mereka. Namun yang menjadi pertanyaan besar saya adalah apakah Purworejo memiliki keragaman yang demikian sehingga dapat menimbulkan konflik yang cukup besar untuk masuk ke dalam konflik SARA?

Purworejo itu tidak meiliki keragaman yang cukup kental untuk membatasi setiap SARA yang dimiliki oleh penduduk Purworejo. Saya tidak menyangkal jika Purworejo didiami suku, agama, dan ras yang berbeda-beda, namun tidak ada satu perbedaanpun yang muncul secara ekslusif dari itu. Hal ini disebabkan karena telah ada sebuah kebudayaan pendahulunya yang disebut sebagai Bagelenan. Dan berbicara mengenai Pilkada Kabupaten Purworejo 2015, seharusnya pembicaraan ini muncul dalam bentuk pembicaraan peta politik dari etnis-etnis yang ada. Sedangkan etnis di Purworejo justru tidak memberikan banyak kekuasaan politik dalam setiap perbedaannya. Apa yang dimaksud politik dalam hal ini tidak dalam bingkai dangkal dan praktis, yaitu lebih pada ideologis dan mendalam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Saya tidak ingin membicarakan kepartaian yang kini hanyalah bualan belaka untuk memperoleh suara tapi sebuah kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat Purworejo yang memiliki kekuasaan disendi-sendi kehidupan mereka.

Etnis yang saya maksudkan justru lebih mendalam dari sekedar perbedaan SARA di Kabupaten Purworejo. Mereka muncul secara turun-temurun meski tidak memiliki legitimasi namun diakui dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini justru sedikit muncul dari peserta, yang diwakili oleh Raden Junaidi Jazuli dan seorang kakek yang saya tidak tahu namanya, dia peserta yang memiliki kesempatan terakhir berbicara, meski tidak secara frontal. Petani tidaklah dianggap hanya sebelah mata sebagai pekerjaan bercocok tanam, tetapi sebuah, apa yang disebut dengan “kaum”, yaitu kelompok yang memiliki kekuatan ketahanan pangan. Mereka mengungkapkan bahwa kini petani hanyalah dikerjakan oleh mereka secara turun-temurun, tidak didasarkan dalam sebuah keinginan dalam arti minat. Mungkin beliau-beliau mengatakan jika ini adalah sebuah kelemahan, karena dibandang sebagai bidang yang tidak diminati, tetapi disisi lain adalah sebuah kekuatan politik yang hanya diperoleh dari keturunan, sehingga ketika menciptakan sebuah kelompok petani mereka memiliki kekuatan dalam bentuk kekerabatan maupun kekeluargaan untuk mendukung sebuah kekuasaan. Hal ini muncul dalam budaya mereka, yaitu ketika mereka harus memulai tanam, mereka selalu bermusyawarah kapan dan siapa yang harus menanam pertamakali, karena akan berpengaruh penanggulangan hama wereng ketika mereka memanennya. Sedangkan tradisi yang mengikutinya adalah pementasan wayang maupun slametan.

Seperti yang saya utarakan, bahwa ini bukanlah sekedar pekerjaan semata, tapi adalah sebuah basis politik di masyarakat. Layaknya yang diungkapkan oleh seorang ahli Antropologi Amerika, yaitu Clifford Geertz, yang membagi basis kekuatan politik masyarakat dalam tiga golongan, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Hal ini mungkin tidak hanya muncul di Purworejo, tetapi juga muncul di wilayah-wilayah lain. Disamping kaum petani ada juga kaum pedagang. Selain itu juga ada yang muncul dalam kewilayahannya, yaitu wong kidul, wong pereng, dan wong pasar. Dan terakhir kaum yang sudah muncul pada saat berdirinya Purworejo yaitu kaum santri. Mungkin secara umum mereka dianggap sebagai kelompok sosial, tapi bagi saya mereka adalah etnis-etnis dalam masyarakat Purworejo, yang membagi penduduk Purworejo dalam basis politik mereka. Inilah yang saya maksud sebagai pemetaan politik, dan yang saya harapkan disampaikan dalam forum itu. Memang membutuhkan waktu panjang untuk mengetahui kekuatan politik dari masing-masing etnis itu, tetapi keseriusan dalam perpolitikan adalah sebuah hal yang harus dikerjakan juga. Saya akui bahwa pendapat saya adalah barulah sebuah kemungkinan yang harus dikaji secara panjang, dan saya pada dasarnya hanya memiliki data kasar secara pengalaman kehidupan bukan dalam dokumenter. Namun social sense saya cukup untuk memperkuat apa yang saya utarakan di atas.