Hari
senin di minggu kedua bulan kesepuluh 2015, siang hari, saya memperoleh pesan
singkat elektronik dimana esok saya diminta untuk hadir dalam acara “dialog
interaktif” yang diadakan salah satu kelompok pemerintahan dengan mewakili atas
nama DHC’45 (Dewan Harian Cabang ’45), sebuah bagian yang masih berada dalam
lingkungan ke-pramuka-an. Kegiatan ini dibawahi oleh Dinas Kesatuan Bangsa dan
Politik Kabupaten Purworejo, dimana “dialog interaktif” ini dibentuk oleh
sebuah kelompok di dalam dinas itu, yaitu FPBI (Forum Persaudaraan Bangsa
Indonesia) dimana tema yang mereka usung adalah “Harmonisasi Kehidupan Antar
Etnis Memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia Menghadapi Pilkada
Kabupaten Purworejo Tahun 2015”. Dalam kegiatan ini diisi oleh narasumber yang
berasal dari FPBI, Kodim, dan Staf Ahli Bupati bagian Hukum dan Politik. Di
awal saya membaca tema ini saya telah memiliki pertanyaan yang cukup mendasar
dari apa yang akan dibicarakan di dalam “dialog interaktif” ini. Saya selalu
memberikan tanda kutip dalam istilah “dialog interaktif” karena pada dasarnya
itu seperti seminar, dan tidak ada percakapan yang interaktif di dalamnya, yang
ada hanyalah tanya jawab antara peserta dan pemateri. Apa yang saya tangkap
dalam tema itu kira-kira akan memberikan materi bahwa: keharmonisan kehidupan
etnis yang ada di negara Indonesia akan membawa pengaruh pada keberhasilan
Pilkada Purworejo 2015. Hal ini harus dipertanyakan lebih jauh, apakah
kejadian-kejadian yang ada di wilayah Indonesia, khususnya kejadian dalam
lingkup konflik yang berkenaan dengan isu SARA, memberikan pemicu pada
kehidupan SARA di Purworejo sendiri? Kejadian disharmonisasi yang berkenaan
dengan SARA di Purworejo mungkin pernah terjadi, dan terdapat beberapa, namun
apakah itu adalah bawaan dari “luar sana”? Misalkan pernah terjadi perusakan
sebuah toko kelontong di wilayah Kota Purworejo oleh sekolompok santri setempat
karena seorang pelayan toko tersebut menyinggung perasaan dari seorang santri
ketika membeli sesuatu di toko tersebut.
Dalam
tema yang diusung itu, terdapat dua hal yang harus digaris bawahi, yang dikenal
sebagai kata kunci, yaitu Harmonisasi Etnis dan Pilkada Kabupaten Purworejo.
Apa yang disampaikan oleh pemateri, saya pada dasarnya tidak tahu secara persis
apa yang dimaksud dengan Etnis yang mereka bicarakan, apa yang saya tangkap
sebagai Etnis itu di sana adalah mengenai SARA: Suku, Agama, dan Ras. Suku
adalah berkaitan dengan garis kebudayaan yang disusung, seperti Jawa, Sunda,
Melayu, Bali, Batak, Asmat, Dayak, dsb. Adapun Agama adalah sebuah keyakinan
yang dilembagakan dan diakui oleh pemerintah, dimana terdapat enam agama yang
diakui, yaitu Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katolik, dan Konghuchu. Sedangkan,
Ras adalah genetika yang dibawa sejak lahir dengan ciri-ciri fisik tertentu dan
berasal dari kelompok besar dalam wilayah tertentu di dunia, seperti Kaukasoid,
Mongoloid, Negroid, dsb. Namun, seperti yang kita sadari bersama, bahwa manusia
memiliki sebuat sikap yang tidak hanya mencirikan identitas tunggal, bahwa
seseorang dapat terlahir dengan genetika Kaukasoid, dengan budaya Jawa, dan
beragama Islam, atau dia yang bergenetika Mongoloid, berbudaya Sunda, dan
beragama Katolik, dan lain sebagainya. Maka kemudian etnis akan memberikan
pengertian yang kompleks mengenai ketiga hal tersebut yang kemudian akan muncul
dalam sebuah budaya yang dipahami oleh masyarakat, meski pada waktu-waktu
tertentu akan muncul dalam keprivasian mereka. Namun yang menjadi pertanyaan
besar saya adalah apakah Purworejo memiliki keragaman yang demikian sehingga
dapat menimbulkan konflik yang cukup besar untuk masuk ke dalam konflik SARA?
Purworejo
itu tidak meiliki keragaman yang cukup kental untuk membatasi setiap SARA yang
dimiliki oleh penduduk Purworejo. Saya tidak menyangkal jika Purworejo didiami
suku, agama, dan ras yang berbeda-beda, namun tidak ada satu perbedaanpun yang
muncul secara ekslusif dari itu. Hal ini disebabkan karena telah ada sebuah kebudayaan
pendahulunya yang disebut sebagai Bagelenan. Dan berbicara mengenai Pilkada
Kabupaten Purworejo 2015, seharusnya pembicaraan ini muncul dalam bentuk
pembicaraan peta politik dari etnis-etnis yang ada. Sedangkan etnis di
Purworejo justru tidak memberikan banyak kekuasaan politik dalam setiap
perbedaannya. Apa yang dimaksud politik dalam hal ini tidak dalam bingkai
dangkal dan praktis, yaitu lebih pada ideologis dan mendalam dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat. Saya tidak ingin membicarakan kepartaian yang kini
hanyalah bualan belaka untuk memperoleh suara tapi sebuah kekuatan yang
dimiliki oleh masyarakat Purworejo yang memiliki kekuasaan disendi-sendi
kehidupan mereka.
Etnis
yang saya maksudkan justru lebih mendalam dari sekedar perbedaan SARA di
Kabupaten Purworejo. Mereka muncul secara turun-temurun meski tidak memiliki
legitimasi namun diakui dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini justru sedikit
muncul dari peserta, yang diwakili oleh Raden Junaidi Jazuli dan seorang kakek
yang saya tidak tahu namanya, dia peserta yang memiliki kesempatan terakhir
berbicara, meski tidak secara frontal. Petani tidaklah dianggap hanya sebelah
mata sebagai pekerjaan bercocok tanam, tetapi sebuah, apa yang disebut dengan
“kaum”, yaitu kelompok yang memiliki kekuatan ketahanan pangan. Mereka
mengungkapkan bahwa kini petani hanyalah dikerjakan oleh mereka secara
turun-temurun, tidak didasarkan dalam sebuah keinginan dalam arti minat.
Mungkin beliau-beliau mengatakan jika ini adalah sebuah kelemahan, karena
dibandang sebagai bidang yang tidak diminati, tetapi disisi lain adalah sebuah
kekuatan politik yang hanya diperoleh dari keturunan, sehingga ketika
menciptakan sebuah kelompok petani mereka memiliki kekuatan dalam bentuk
kekerabatan maupun kekeluargaan untuk mendukung sebuah kekuasaan. Hal ini
muncul dalam budaya mereka, yaitu ketika mereka harus memulai tanam, mereka
selalu bermusyawarah kapan dan siapa yang harus menanam pertamakali, karena
akan berpengaruh penanggulangan hama wereng ketika mereka memanennya. Sedangkan
tradisi yang mengikutinya adalah pementasan wayang maupun slametan.
Seperti
yang saya utarakan, bahwa ini bukanlah sekedar pekerjaan semata, tapi adalah
sebuah basis politik di masyarakat. Layaknya yang diungkapkan oleh seorang ahli
Antropologi Amerika, yaitu Clifford Geertz, yang membagi basis kekuatan politik
masyarakat dalam tiga golongan, yaitu abangan,
santri, dan priyayi. Hal ini mungkin tidak hanya muncul di Purworejo, tetapi
juga muncul di wilayah-wilayah lain. Disamping kaum petani ada juga kaum
pedagang. Selain itu juga ada yang muncul dalam kewilayahannya, yaitu wong kidul, wong pereng, dan wong pasar.
Dan terakhir kaum yang sudah muncul pada saat berdirinya Purworejo yaitu kaum
santri. Mungkin secara umum mereka dianggap sebagai kelompok sosial, tapi bagi
saya mereka adalah etnis-etnis dalam masyarakat Purworejo, yang membagi
penduduk Purworejo dalam basis politik mereka. Inilah yang saya maksud sebagai pemetaan politik, dan yang saya harapkan disampaikan dalam forum itu. Memang membutuhkan
waktu panjang untuk mengetahui kekuatan politik dari masing-masing etnis itu,
tetapi keseriusan dalam perpolitikan adalah sebuah hal yang harus dikerjakan
juga. Saya akui bahwa pendapat saya adalah barulah sebuah kemungkinan yang
harus dikaji secara panjang, dan saya pada dasarnya hanya memiliki data kasar
secara pengalaman kehidupan bukan dalam dokumenter. Namun social sense saya cukup
untuk memperkuat apa yang saya utarakan di atas.